Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Pilkada Serentak
Kab/Kota: Boyolali, Karet
Partai Terkait
Mencegah Biaya Politik Mahal
Espos.id Jenis Media: Kolom
Mantan Bupati Boyolali sekaligus politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Seno Samodro, menyebut pemilihan kepala daerah (pilkada) Kabupaten Boyolali pada 2024 kali ini berbiaya politik paling mahal.
Pilkada 2024 paling mahal karena high cost ketika berhubungan dengan masyarakat. Tentu tidak bijak menyalahkan masyarakat soal tingginya ongkos pilkada. Realitas tersebut adalah wujud dinamika politik.
Ongkos politik itu berwujud kontestan jor-joran memberi amplop “sangu” untuk warga sampai tingkat RW saat kampanye dan biaya lain yang membuat ongkos pilkada tak setara dibandingkan gaji yang bakal diperoleh ketika terpilih dan menjabat kepala daerah.
Realitas politik menunjukkan masyarakat Indonesia secara umum menerjemahkan hak suara masih sebatas sebagai komoditas. Mayoritas warga menggunakan hak pilih dengan harapan mendapatkan imbalan uang yang tentu makin mahal.
Kencenderungan itu membuat demokrasi di Indonesia sangat mahal dan cenderung tidak masuk akal. Gejala ini tidak boleh dibiarkan. Politik transaksional yang mendorong demokrasi menjauh dari substansi harus selekasnya dikoreksi.
Harus ada terobosan mengakhiri — atau paling tidak meminimalkan — biaya politik mahal sebagaimana yang terjadi dalam pemilu dan pilkada 2024. Data Kementerian Dalam Negeri beberapa waktu lalu menunjukkan dalam sekali pencalonan kepala daerah, biaya yang perlu dipersiapkan kontestan Rp25 miliar sampai Rp30 miliar.
Di Kabupaten Boyolali pada pilkada 2024, Seno Samodro menyebut biaya politik lebih dari Rp60 miliar. Temuan KPK jauh lebih besar. Berdasar studi yang dilakukan lembaga anti-rasuah itu, modal pencalonan dalam kontestasi jabatan politik di lembaga legislatif dan eksekutif bisa mencapai Rp150 miliar.
High cost politics niscaya menghasilkan oligarki. Mereka mengendalikan politik melalui biaya yang diberikan kepada kandidat wakil rakyat atau kandidat pemimpin eksekutif. Inilah yang kemudian disebut demokrasi semu, seolah-olah demokrasi.
Daerah tidak dipimpin orang-orang yang kompeten dengan hati nurani untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk kekuasaan dan mencari kekayaan. Koreksi dan pembenahan harus segera dilakukan bersama-sama. Partai politik menjadi aktor utama.
Partai seharusnya menjadi agen pendidikan politik yang hadir setiap saat di tengah rakyat, memberikan penyadaran bahaya politik uang, bukan hanya hadir saat butuh suara rakyat dan malah menjadi aktor politik uang.
Undang-undang politik harus segera direvisi dengan pengaturan jelas tentang dana kampanye. Ide pembiayaan partai politik oleh negara — sehingga bisa diaudit dan proporsional — layak didiskusikan lagi.
Yang perlu digarisbawahi, undang-undang pemilu dan pilkada yang disusun aktor-aktor pemilu atau politikus tidak seharusnya menjadi undang-undang yang merefleksikan kepentingan mereka sehingga menghasilkan banyak pasal karet dan ambigu.
Perkuat juga peran Badan Pengawasan Pemilu dalam undang-undang sehingga mereka tidak menjadi macan ompong atas regukasi yang minim keberpihakan pada mereka dalam hal kinerja, kewenangan, maupun anggaran. Tentu masih banyak regulasi yang harus dibenahi agar demokrasi kita menuju substansi, bukan hanya transaksional.
Sentimen: neutral (0%)