Sentimen
Undefined (0%)
27 Nov 2024 : 07.46
Informasi Tambahan

Event: Pilkada Serentak

Kab/Kota: Boyolali

Kasus: kecelakaan

Partai Terkait

Seno Samodro Terang-terangan Sebut Biaya Pilkada 2024 Paling Mahal karena Ini

27 Nov 2024 : 07.46 Views 3

Espos.id Espos.id Jenis Media: Solopos

Seno Samodro Terang-terangan Sebut Biaya Pilkada 2024 Paling Mahal karena Ini

Esposin, BOYOLALI -- Mantan Bupati Boyolali dua periode (2010-2020), Seno Samodro, menyebut Pilkada 2024 kali ini paling mahal dengan biaya tinggi.

Alasannya karena biaya untuk bertemu dengan masyarakat di Pilkada 2024 sangat mahal.

Ia menyebut para kontestan jor-joran memberi logistik untuk calon pemilih menjadikan biaya politik menjadi mahal. 

"Jujur ini Pilkada paling mahal, entek e akeh banget [habisnya banyak sekali], luar biasa," kata Seno ditemui seusai mencoblos di TPS 5 Siswodipuran, Boyolali, Rabu (27/11/2024).

Seno yang menjadi Bupati Boyolali diusung PDIP tidak ingin menyalahkan masyarakat soal tingginya ongkos Pilkada. 

Menurutnya, hal tersebut adalah dinamika politik.

"Masyarakat Indonesia secara umum menerjemahkan masih sebatas itu, jadi sangat mahal demokrasi di Indonesia, enggak masuk akal" kata dia.

Ia mengatakan saat pengalamannya sebagai bupati, gajinya per bulan Rp200 juta. 

Dikali masa jabatan lima tahun atau 60 bulan hanya sekitar Rp12 miliar.

"Sementara biayanya ini [Pilkada 2024], waduh waduh waduh. Ngeri," kata dia.

Ia membeberkan lima tahun yang lalu, biaya Pilkada melawan kotak kosong sekitar Rp60 miliar. 

Saat ini telah naik 10%-15% dari biaya Pilkada 2019 yang melawan kotak kosong.

Penyebab kenaikan ongkos Pilkada, sebut dia, karena ada masyarakat yang saat dia hadir tepuk tangan akan tetapi ketika Seno pulang berharap amplop.

“Enggak ada RT-RW yang tanpa amplop. Apa maneh sak desa, sak kecamatan Rp1 miliar ora cukup. Kalau 22 kecamatan sudah bisa Rp40 miliar-Rp50 miliar, belum produksinya. Mengerikan, tapi untuk kami sudah memenangi Pemilu berkali-kali, tabungan kami cukup untuk menghadapi gejolak mahalnya sebuah perjalanan kampanye,” kata dia.

Walaupun memiliki amunisi dari kemenangan pemilihan sebelumnya, Seno mengaku kas PDIP sekarang kosong. 

Ia tak mau mengatakan pihaknya jor-joran akan tetapi ketika pihak lawan menyebarkan logistik ke masyarakat tapi tidak diimbangi atau sebaliknya, maka pihaknya bakal ketinggalan.

“Nanti kami akan evaluasi untuk Bappilu PDIP Boyolali, ke depan jangan begitu lah. Enggak ada bupati yang sanggup membayar nutup cost itu, harus gotong royong, dan untuk pertama kalinya fraksi PDIP harus mengeluarkan uang yang besar sekali. Saya prihatin sebegitu sederhananya demokrasi diterjemahkan, kaya tos-tosan duit, mboten sae,” kata dia.

Setelah ada evaluasi, Seno menyebut lima tahun yang akan datang PDIP Boyolali memiliki ide besar untuk menekan biaya Pilkada hampir 50% dari biaya yang sekarang. 

Ide tersebut masih ia simpan dan bakal diluncurkan lima tahun lagi.

 “Saya tidak suka politik yang sedemikian high cost, mahal. Duit e pira, gajine pira, ora petuk,” kata dia.

Ia menyebut triliunan rupiah uang beredar di Indonesia untuk biaya Pilkada. 

Menurutnya hal tersebut terlalu mahal. Ia berharap ongkos demokrasi bisa murah.

Ia berharap petinggi di Jakarta bisa merumuskan demokrasi yang lebih sederhana. Seno menyebut demokrasi saat ini seperti kiu-kiu.

Koe nyalonke kopral, kene ngetokne sersan. Ini demokrasi macam apa, demokrasi kiu-kiu. Koe nyalonke bintang telu, kene bintang papat. Logikanya itu, mengapa harus ada Pemilu, biar penguasanya bukan militer dan polisi. Lha kowe nyalonke bintang telu karo papat, kui jenenge dlogok,” kata dia.

Ia mempertanyakan bagaimana seorang jenderal bakal mengerti demokrasi karena mereka dilahirkan dari sistem komando yang tidak memiliki sistem demokrasi.

“Esensi hakikat demokrasi itu menumbuhkan tapuk pimpinan negara dipimpin oleh sipil. Sipil di atas militer, adanya demokrasi biar tidak dipegang junta militer,” kata dia.

Ia mencontohkan di Amerika pernah memiliki presiden dari militer yaitu Eisenhower karena imbalan atas jasanya dalam perang dunia. 

Namun, setelah puluhan tahun masyarakat Amerika menyesal dan dianggap sebagai kecelakaan demokrasi karena mencalonkan presiden dari kalangan jenderal.

“Bagaimana jenderal akan mengerti demokrasi, wong dia dididik untuk sistem komando. Sementara aspirasi dari bawah, mendengarkan suara rakyat, suara rakyat adalah suara Tuhan, vox populi, vox dei,” kata dia. 

Sentimen: neutral (0%)