Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Katolik, Kristen
Event: Pilkada Serentak, Rezim Orde Baru
Kab/Kota: Yogyakarta
Tokoh Terkait
Belajar dari Pemilu Daerah 1957
Espos.id Jenis Media: Kolom
Menarik bahwa pada Pemilu Daerah 1957 jelas sekali betapa partai-partai politik yang semula adalah jajaran elite sipil yang berpendidikan dan sangat terbuka, setelah melihat hasil Pemilu 1955, mereka menjadi was-was dan khawatir terutama terhadap elite partai politik lain yang jauh lebih muda, cakap berorganisasi, dan sangat bersih alias antikorupsi.
Mereka terutama khawatir terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai-partai kawakan seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Majelis Syuro Muslimun Indonesia (Masyumi), Partai Nahdlatul Ulama (NU), bahkan Partai Katolik dan Partai Kristen tampak mulai ketakutan.
Sesudah tahun 1957-1958, demi menyelamatkan karier politik, mereka mendekati Bung Karno dan memandang tentara justru sebagai savior atau semacam benteng terhadap PKI. Hal inilah yang mengakibatkan perhatian para elite partai politik menjadi terpecah dalam konflik yang ujung-ujungnya berbau sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dan bermuara pada kekerasan.
Sejarah mencatat bahwa Pemilu 1957 itu memang luar biasa. Itu adalah pemilihan daerah pertama dalam suatu negara baru (Daniel S. Lev, Membangun Republik, 2017). Catatan itu memberi sebuah apresiasi sejarah terhadap Republik Indonesia (RI) yang baru berumur lebih dari lima tahun (1945-1957), namun dapat menyelenggarakan suatu hajatan politik yang amat penting dan menentukan.
Penting untuk diketahui bahwa sejak diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, RI masih sibuk mencari bentuk dan gaya pemerintahan yang tepat. Masuk akal jika Bung Karno sebagai Presiden Pertama RI berupaya keras mengatur tidak hanya kalangan elite sipil dalam beragam partai politik dan kabinet, tetapi juga para elite tentara, termasuk dalam Pemilu Daerah 1957 yang memilih anggota-anggota DPRD.
Ternyata memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bung Karno cukup kewalahan dalam menghadapi sepak terjang kaum elite, terutama dari pimpinan tentara. Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah saksi sejarah yang menunjukkan bahwa elite tentara juga punya kepentingan, perasaan, dan pikiran politik.
Sebuah peristiwa yang tergolong sebagai aksi/tindakan ”makar” karena saat itu sepasukan tentara Angkatan Darat di bawah komando A.H. Nasution mengarahkan moncong tank ke Istana Presiden. Sebagai pihak yang punya sumbangsih besar terhadap berdirinya RI, wajar para elite tentara merasa mampu untuk memimpin negara baru ini.
Meski belum berpengalaman, baik secara diplomatis maupun akademis, kalangan elite yang lebih muda daripada para pemimpin sipil seperti Bung Karno atau Bung Hatta justru berpandangan bahwa elite sipil tidak bisa apa-apa. Atau, yang paling jelas, mereka tidak bisa memimpin dengan disiplin dan tegas karena dianggap terlalu banyak omong dengan ide-ide yang seolah-olah berperikemanusiaan.
Dengan pandangan itu, elite tentara menolak sekadar ditempatkan sebagai barisan penjaga ”keamanan dan ketertiban” yang hanya mengurusi masalah pemberontakan demi pemberontakan. Mereka menuntut peran yang lebih menantang untuk dapat berkompetisi di panggung politik bersama-sama dengan para elite sipil.
Itulah mengapa sesudah peristiwa 17 Oktober 1952 para pemimpin tentara tetap bersikeras tidak menerima pengangkatan Bambang Utoyo sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) baru yang menggantikan Nasution. Di sinilah awal mula krisis yang membawa RI ke sistem demokrasi terpimpin lantaran sistem parlementer akhirnya dibubarkan.
Di bawah kondisi politik tersebut, Pemilu Daerah 1957 diselenggarakan. Pemilu pertama yang diadakan pada Juni dan Juli 1957 itu memunculkan PKI sebagai pemenang. Di Pulau Jawa dan Sumatra Selatan, PNI mendapat 25%, Masyumi mendapat 19%, NU mendapat 25%, dan PKI mendapat 31%.
Yang menarik bahwa pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara adalah rakyat Indonesia yang tahu betul apa yang akan dipilih. Tak mengherankan PNI yang dikenal sebagai partai para priayi ternyata mampu dikalahkan oleh PKI. Jadi, pemilu ini adalah yang paling mengejutkan.
Bukan saja lantaran rakyat dapat memilih tanpa tekanan, gangguan, apalagi ancaman, tetapi bahwa omong kosong jika dikatakan Indonesia tidak memiliki kebudayaan yang mampu menyokong pemilu, menyokong Republik Indonesia, dan menyokong demokrasi.
Masalahnya adalah cita-cita membangun Republik Indonesia yang dirintis dalam pemilu pertama lepas kontrol dari rakyat Indonesia. Dengan kata lain, dalam pemilu-pemilu berikutnya, termasuk pemilihan kepala daerah langsung atau pilkada pada masa kini, lembaga-lembaga pemerintahlah yang memegang kendali luar biasa.
Ironisnya, kekerasan yang membuat orang takut justru menjadi semakin efektif dan operatif ketika partisipasi rakyat dalam pemilu semakin dipersempit. Buktinya, sejak demokrasi terpimpin diterapkan sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, keadaan semakin kacau.
Timbullah semacam street violence yang menghalalkan orang untuk main politik dengan saling pukul dan bunuh-membunuh, apalagi sesudah Orde Baru, ratusan ribu orang mati dalam sistem politik yang dibuat sangat efesien, namun justru menimbulkan chaos di mana-mana.
Di situ semua orang terpaksa mencari nafkahnya sendiri, meski ada aturan yang membuat segalanya menjadi sangat operatif. Kini, sesudah lebih dari 67 tahun tahun Pemilu Daerah pertama berlalu, apakah pilkada yang diselenggarakan pada 17 November 2024 masih dapat diharapkan sebagai, mengutip pendapat Bug Karno, “penyambung lidah rakyat”?
Jika ditengok pada pengalaman pilkada sebelumnya cukup jelas bahwa suasana politik yang tercipta adalah lebih membuat orang menjadi lebih fanatik dan/atau radikal, bahkan tak jarang malah apatis dan/atau diplomatis, daripada nasionalis.
Untuk membuat pemilu yang mampu mengajak dan meyakinkan orang agar memilih sesuai dengan cita-cita para pembangun Republik Indonesia diperlukan suatu sistem politik yang betul-betul bisa dikontrol.
Dengan kata lain, lembaga-lembaga yang saat ini hanya dimiliki pemerintah saja tidak bisa tidak perlu dipegang atau dikendalikan oleh rakyat Indonesia lagi. Republik yang baik sangat tergantung pada lembaga-lembaga, termasuk tentara, yang dapat dikontrol oleh rakyat atau masyarakat sipil.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 26 November 2024. Penulis adalah peneliti di Lembaga Studi Realino Sanata Dharma Yogyakarta)
Sentimen: neutral (0%)