Sentimen
Undefined (0%)
23 Nov 2024 : 00.15

Renovasi Gapura Batas Kota Boyolali Dinilai Abaikan Sejarah

23 Nov 2024 : 00.15 Views 2

Espos.id Espos.id Jenis Media: Solopos

Renovasi Gapura Batas Kota Boyolali Dinilai Abaikan Sejarah

Espos.id, BOYOLALI - Pengamat dan pegiat sejarah menyayangkan pemugaran gapura batas kota Boyolali yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Boyolali melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR). Renovasi itu dinilai merusak nilai peninggalan sejarah. Gapura batas kota Boyolali tersebut berada di Jl. Pandanaran dan masuk di wilayah Kelurahan Siswodipuran, dan terletak di perbatasan Kecamatan Boyolali dan Mojosongo.

Salah satu pengamat sekaligus pegiat sejarah Boyolali, Muhammad Faiz, menyampaikan walau gapura batas kota Boyolali belum ditetapkan sebagai cagar budaya, akan tetapi memenuhi kriterianya. Terlebih, gapura tersebut adalah peninggalan Kasunanan Surakarta yang bahkan usianya lebih tua dari Indonesia. “Soalnya kita semua tahu memang itu gapura tua, ada prasasti ada sumber primernya yang menjelaskan kapan dia dibangun dan spesifikasinya apa,” kata dia saat dihubungi espos.id, Jumat (22/11/2024).

Ia menjelaskan gapura tersebut didirikan pada 1936 untuk memperingati ulang tahun Sinuhun Pakubuwana X dan merupakan hadiar dari anak-anaknya. Pria 26 tahun yang saat ini menempuh studi Magister jurusan History of Art and Archaeology, SOAS University of London tersebut mengatakan gapura yang dilengkapi prasasti tidak banyak di Soloraya.

“Yang saya tahu, gapura tersebut sayangnya belum ditetapkan sebagai cagar budaya. Mungkin karena Boyolali baru punya TACB [Tim Ahli Cagar Budaya] tapi belum ditetapkan, kedua karena enggak ada yang menokohkan. Jadi orang yang tahu spesifikasinya baru-baru ini,” kata dia. Ia mengatakan gapura batas kota bisa sekali menjadi cagar budaya karena memiliki nilai penting tidak hanya sejarah kabupaten tapi karesidenan bahkan provinsi. Ada juga nilai pendidikan yang bisa digali karena ada prasasti yang mirip di Masjid Agung Solo dan gapura lain yang dibangun semasa PB X.

“Sayangnya ada kelakuan yang gegabah oleh Pemkab dengan merenovasi gapura tersebut,” kata dia.

Menurutnya, renovasi yang dilakukan juga aneh dan tidak sesuai dengan bentuk seharusnya. Seharusnya, ketika belum ditetapkan menjadi cagar budaya bisa dirawat seperti biasa. Renovasi dengan cara menempelkan batu bata hias seperti yang dilakukan pada gapura itu malah menyamarkan keaslian gapura batas kota yang merupakan peninggalan era PB X.

“Harusnya ada studi atau kajiannya dulu [sebelum dipugar atau direnovasi], tidak hanya melibatkan Pemkab tapi juga sama TACB dan instansi terkait. Enggak bisa serampangan, CB [cagar budaya] jangan dibiarkan, kalau mau direnovasi harus sesuai bentuk aslinya. Jangan diberi bata merah yang sekarang, itu enggak masanya banget, malah jadi seperti bangunan baru. Mungkin niatnya biar seperti Majapahitan bukan gaya Surakarta,” kata dia.

Sementara itu, Kepala DPUPR Boyolali, Ahmad Gojali, menyampaikan dalam melakukan pemugaran gapura batas kota pihaknya tidak melakukan perubahan bentuk maupun struktur. “Kami tetap mempertahankan bentuk dan struktur gapura yang lama. Tidak mengubah wujud asli. Bagian yang retak dan pecah diperbaiki dengan adukan beton. Gapura dilapisi dengan bata tempel,” kata dia.

Ia mengatakan proyek pemugaran gapura batas kota senilai Rp69.231.000 termasuk pekerjaan memperbaiki trotoar dan kantin dekat dengan gapura. Proyek pemugaran tersebut dilaksanakan pada 24 Oktober-7 Desember 2024. Gojali menjelaskan pemugaran dilaksanakan karena gapura sudah pecah dan retak di beberapa bagian. Terdapat pula lumut dan warna yang sudah kusam. “Bangunan gapura tersebut dipugar dengan tetap mengangkat konsep klasik atau kuno menggunakan material bata tempel terakota,” kata dia.

Sebelumnya, pegiat sejarah Mbo’ja Lali, Ody Dasa Fitranto, menyampaikan prasasti yang dibuat pada era PB X hanya ada dua yaitu berada di wilayah Nagaraagung yaitu Boyolali dan Kota Gede.  “Gapura [batas kota] berinskripsi ini istimewa, karena sampai saat ini hanya ditemukan dua buah gapura berinskripsi terkait PB X yang terletak di luar Kuthanagara, yaitu di Boyolali ini dan 1 lagi di Kotagede. Seperti yang diketahui, wilayah Boyolali termasuk Nagaragung dari Kasunanan Surakarta,” jelasnya beberapa waktu lalu.

Ody menyebut persebaran prasasti era Pakubuwono X meliputi wilayah Kuthanagara yaitu Solo, Nagaragung yaitu Kabupaten Boyolali dan Kotagede, dan Mancanagara Kilen atau Cilacap. Sedangkan di wilayah Sokawati, Mancanagara timur, dan pasisir belum ditemukan prasasti PB X. “Berdasar kajian yang dilakukan oleh mas Rendra Agusta dari Sraddha Sala, dijelaskan bahwa telah dibangun berbagai gapura terkait dengan Sunan PB X, yaitu berupa Gapura Batas Kutanegara, baik yang berinskripsi bagian timur di Jurug, barat di Kleco, dan selatan di Grogol,” ujarnya.

Ada juga gapura yang tidak berinskripsi pada bagian utara di Kandangsapi, selatan di Kwarasan atau Tanjunganom, barat di Makamhaji, dan timur di Mojo. Ada pula gapura kompleks keraton, baik yang berinskripsi di belakang beteng dan di Pasar Klewer atau Slompretan. Lalu yang tidak berinkripsi yaitu Gapura Gladag dan Gapura Alun-alun Kidul.

Ody menjelaskan inskripsi atau tulisan pada prasasti yang dibuat pada era PB X bertujuan sebagai peringatan pendirian suatu bangunan, sebagai peringatan ulang tahun atau wiyosan dalem, maupun peringatan naik tahta atau jumenengan dalem. Terkait alasan gapura diletakkan di Boyolali, ia mengaku belum tahu secara jelas. Dia menduga karena Boyolali memiliki keistimewaan terkait adanya beberapa pesanggrahan yang berkaitan dengan PB X. 

Sentimen: neutral (0%)