Sentimen
Taman dan Tata Ruang Kota
Espos.id Jenis Media: Kolom
Betapa bahagia warga atau siapa pun yang tinggal di Melbourne. Kota di bagian selatan Benua Australia itu selalu terpilih dalam 30 tahun terakhir sebagai kota yang paling sehat, kota toleran, dan tentu saja kota pendidikan.
Dengan populasi penduduk sekitar satu juta jiwa dan memiliki ratusan taman, Melbourne dianggap memiliki tingkat kesehatan yang terbaik bukan hanya di Australia, tapi juga di dunia. Kita bertanya, kenapa bisa begitu?
Salah satu jawabannya karena Melbourne memiliki ratusan taman kota. Setiap jarak kurang dari lima ratus meter, atau tepatnya tiga ratus meter, terdapat hamparan taman dan pepohonan. Taman dan pepohonan ini jugalah yang membuat berbagai jenis burung bisa disaksikan.
Di antara ratusan taman itu, di sepanjang jalan kita menyaksikan ribuan jenis tanaman bunga yang begitu indah mengisi pemandangan saling berganti menurut musim. Sesungguhnya taman bukan hanya di Melbourne.
Pemerintah Australia, khususnya pemerintah daerah, memiliki politik tata ruang yang mengharuskan kota menciptakan ruang-ruang publik berupa taman. Alasan yang utama, di samping keindahan, juga dampak positif pada kesehatan.
Tingkat kesehatan warga yang baik akan mendorong perekonomian terus terjaga melalui produktivitas warga yang menghuni kota. Taman di Australia juga berfungsi untuk rendezvous atau warga beristirahat dari kesibukan setelah pulang kerja atau pada hari libur.
Di taman-taman itu kita bisa menyaksikan keluarga bermain, anak-anak berlarian, sementara sebagian warga lainnya mengisi waktu dengan buku bacaan atau obrolan. Rendezvous sosial bagi masyarakat yang tinggal di Australia merupakan proses mereka untuk saling menjaga dan memahami perbedaan.
Dari hal itulah toleransi tercipta. Jadi, begitu banyak dampak positif yang diciptakan melalui taman. Lintasan gambaran tentang Melbourne mungkin bisa menjadi inspirasi bagi pengelola Kota Solo yang akan datang.
Kota Solo memiliki taman tidak sebanyak taman di Melbourne. Kota Solo pernah memiliki citra yang selalu diingat oleh warga dan siapa saja yang pernah mengunjungi kota tradisi ini, yakni Taman Sriwedari yang menjadi ikon kota Solo.
Di samping Taman Sriwedari juga ada Taman Banjarsari dan Taman Sekartaji yang dibentuk belasan tahun yang lalu. Kita berharap kepada pengelola kota yang akan datang bisa lebih mengembangkan fungsi taman dalam kaitan dengn kegiatan warga.
Dalam konteks itu sangat menarik jika pengelolaan taman- taman itu melibatkan warga, seperti yang pernah disampaikan Solopos lewat Tajuk tentang Taman Sekartaji beberapa waktu lalu. Tajuk Solopos menelaah secara kritis Taman Sekartaji yang berumur belasan tahun, namun tak terpelihara.
Dalam pengelolaan taman, Pemerintah Kota Solo bisa melibatkan berbagai komunitas kesenian atau komunitas penulis untuk mengisi kegiatan di taman, misalnya pembacaan puisi, pembacaan cerita pendek, diskusi buku, serta berbagai pertunjukan musik dan tari.
Kita bisa membayangkan sekiranya saja taman-taman itu diisi oleh warga setiap keluarahan dengan jenis kesenian yang dimiliki. Sementara itu, para penulis sastra bisa menciptakan apresiasi sastra dalam bidang puisi, cerita pendek, melalui pembacaan dan workshop penulisan untuk anak-anak dan kaum remaja
Jika taman-taman di Kota Solo bisa lebih diberdayakan dengan melibatkan warga, salah satu hal terpenting adalah taman bukan hanya menjadi sejenis “lukisan” yang hanya dipandang, tapi dijadikan laboratorium kegiatan warga.
Dalam kaitan inilah kota dengan ruang urban bisa menjadi ruang kreatif. Pada sisi lainnya, taman kota bisa menjadi ruang bagi warga lanjut usia atau lansia untuk meelepaskan kepenatan dan sekaligus sebagai ruang rendezvous generasi senior, generasi penekun masa lampau.
Gambaran ini makin menguatkan fungsi dan posisi taman yang melalui ruang publik itu tercipta suatu kerja kolaboratif antarinstansi, misalnya dinas kebudayaan, dinas perpustakaan, dinas pertamanan, dan dinas kesehatan dalam membentuk suatu praktik politik tata ruang yang nyaman.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 22 November 2024. Penulis adalah networker dan organizer kebudayaan)
Sentimen: neutral (0%)