Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: Universitas Mercu Buana
Kab/Kota: Sleman, Yogyakarta
Tokoh Terkait
PakNas Desak Penyusunan Kebijakan Pertembakauan Melibatkan Konsumen
Harianjogja.com Jenis Media: News
Harianjogja.com, SLEMAN–Pelibatan konsumen dalam penyusunan peraturan serta hak atas perlindungan untuk mendapatkan perlakuan yang adil diperjuangkan oleh Pakta Konsumen Nasional (PakNas) dalam Rembuk Konsumen bersama lintas komunitas dan lembaga di Jogja, Kamis (21/11/2024).
Pasalnya, tekanan regulasi yang bertubi-tubi dan polemik kebijakan pertembakauan memukul konsumen. Mulai dari pasal-pasal Pengamanan Zat Adiktif Peraturan Pemerintah (PP) No 28 Tahun 2024 hingga Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (R-Permenkes) tentang Tembakau dan Rokok Elektronik, konsumen sebagai belum dipandang sebagai subjek hukum.
Ketua Umum PakNas Ary Fatanen mengatakan pihaknya akan fokus memperjuangkan kedudukan konsumen dalam sebuah kebijakan pemerintah. Sampai hari ini, katanya, pembuat kebijakan memposisikan konsumen produk tembakau hanya sekadar sebagai subjek hukum.
"Padahal, sebagai konsumen yang taat bayar pajak dan cukai, kami berhak dilibatkan dalam proses penyusunan peraturan terkait pertembakauan. Juga berhak mendapatkan transparansi atas informasi yang berkaitan dengan rancangan aturan yang menyasar konsumen,” kata Ary dalam Rembuk Konsumen - Pemerintahan Baru: Melihat Kebijakan pada Ekosistem Pertembakauan dan Dampaknya pada Konsumen, di Sanggar Maos Tradisi, Sleman.
BACA JUGA: Lima Permintaan APTI Kepada Presiden Prabowo, dari Harga Jual Rokok hingga Tarif Cukai Tembakau
Berkaca sejak dari penyusunan Undang-Undang Kesehatan No.17 Tahun 2023, hingga muncul aturan yang sangat rigid terhadap konsumen pertembakauan di PP.No 28 Tahun 2024 serta hal-hal teknis lainnya dalam R-Permenkes Tembakau, Ary menilai pemerintah nyaris memperlakukan konsumen sebagai warga negara kelas dua.
Melalui Rembuk Konsumen ini, PakNas berupaya menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap konsumen produk tembakau. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999, pemerintah harus dapat memastikan konsumen mendapatkan keadilan, keamanan serta kepastian hukum.
Sebaliknnya, proses penyusunan regulasi pertembakauan selalu diwarnai dengan praktik-praktik diskriminasi terhadap konsumen. "Pemerintah seharusnya hadir secara nyata dengan menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi. Termasuk informasi yang berkaitan dengan regulasi pertembakauan,” lanjut Ary.
Pakta Konsumen menilai dengan ketiadaannya pelibatan konsumen dalam peraturan pertembakauan, substansi yang diatur dalam PP Kesehatan dan R-Permenkes tersebut justru melanggar banyak hak konsumen. Pakta Konsumen yang telah melakukan kajian mendalam dan diskusi dengan berbagai pihak serta berbagai komunitas konsumen menyampaikan bahwa terdapat beberapa hal substansi pengaturan yang diskriminatif dan justru kontra produktif bagi konsumen.
"Terutama pada pasal 434 huruf (b), (c ), (f) serta Pasal 443 PP No.28 Tahun 2024. Pasal tersebut mengatur tentang perubahan batas usia penjualan produk tembakau yang semuka 18+ menjadi 21+, pelarangan penjualan eceran serta zonasi 200m dari satuan pendidikan, larangan iklan di sosial media hingga penerapan kawasan tanpa rokok (KTR) yang pada praktiknya merugikan hak konsumen produk tembakau sekaligus masyarakat. Seluruh pelarangan ini juga mengganggu kondisi sosio-ekonomi masyarakat," tegas Ary.
Sebagai lembaga advokasi konsumen, PakNas mencontohkan saat ini, beberapa daerah di DIY seperti Kota Jogja, Sleman, dan Kulonprogo mengimplementasikan Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dengan menafsirkannya lebih restriktif dibandingkan peraturan di atasnya, yakni: UU Kesehatan No 17 Tahun 2023.
"Yang juga sangat mengecewakan bagi konsumen, proses penyusunan Raperda KTR tersebut tidak mengakomodir masukan dari konsumen. Padahal, pemerintah punya kewajiban memastikan setiap lokasi untuk menyediakan tempat khusus merokok (TKM) yang menjadi hak konsumen," katanya.
BACA JUGA: Peneliti Indef: PP 28/2024 Bakal Pukul Industri Hasil Tembakau Domestik
Menanggapi hal tersebut, Yuni Satya Rahayu, anggota DPRD DIY, menekankan pemerintah harus melihat dari dua sisi, perokok dan non-perokok hingga bagaimana efektivitas implementasinya. “Pemerintah Daerah seharusnya benar-benar memikirkan secara matang untuk mengimplementasikan Raperda KTR. Bukan sekadar membuat larangan total, tapi juga harus memikirkan bagaimana tempat khusus merokok (TKM) yang layak, bagaimana efektivitas implementasinya. Toh, rokok adalah produk legal. Jangan pemerintah mau cukainya saja, tapi tidak mau memperhatikan dampaknya pada konsumen,” jelas Yuni.
Anggota Komisi VI DPR RI, GM Totok Hedi Santoso yang hadir dalam Rembuk Konsumen ini menyatakan siap mengakomodir aspirasi dari rekan-rekan konsumen produk tembakau. Ia pun menyadari bahwa pemerintah seharusnya tidak membuat kebijakan yang justru tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
"Harus kita bedakan koridor etik dan hukum. Nah ini, pengambil kebijakan juga sering tidak memahami. Indonesia ini punya kretek yang sudah berabad-abad menjadi bagian dari keseharian kita. Mari kita duduk bersama, diskursus, untuk memperjuangkan regulasi yang adil untuk semua termasuk konsumen," kata politisi PDI Perjuangan itu.
"Kita kawal bersama, termasuk kaitannya dengan dorongan aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek dan logo dalam R-Permenkes. Nah, ini justru aturan yang paradoks. Pemerintah justru akan mendorong rokok-rokok ilegal tumbuh subur dan mendorong kriminalisasi konsumen,” tambahnya.
Kerugian Berat bagi Konsumen
Awan Santosa, Dosen dan Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Mercu Buana Yogyakarta (UMBY) memaparkan bahwa ekonomi ekosistem pertembakauan adalah ekonomi yang digerakkan rakyat. Termasuk konsumen yang telah membayar cukai.
Peneliti Mubyarto Institute ini pun mengapresiasi langkah PakNas sebagai elemen konsumen yang memperjuangkan dan berupaya membuat konstruksi regulasi perlindungan terhadap ekosistem pertembakauan. Apalagi mengingat ekosistem pertembakauan dimotori oleh jutaan petani, tenaga kerja dan pelaku UMKM.
"Ekosistem pertembakauan ini menggambarkan watak ekonomi gotong royong. Dari perspektif konsumen, ketika kebijakan ini, baik PP No.28 Tahun 2024 maupun R-Permenkes Tembakau oleh pemerintah dipaksa diterapkan, cara-cara ini akan menghantam lahir, batin, membuat depresi, kriminalisasi konsumen. Intinya dampak keseluruhannya, mulai dari petani sampai konsumen, sangat berat. Maka regulasinya harus dievaluasi betul, harus se-presisi mungkin,” papar Awan.
Awan menekankan pentingnya kondisi yang perlu diwaspadai oleh Pemerintah agar aturan yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat justru tidak tercapai karena tingginya angka rokok ilegal. Peningkatan rokok ilegal merugikan konsumen, masyarakat dan negara. “Peraturan yang dipaksakan ini akan menimbulkan kesakitan yang mengerikan di masyarakat, termasuk konsumen. Dampak sosio ekonominya tidak main-main" tambahnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sentimen: positif (66.7%)