Sentimen
Positif (100%)
20 Nov 2024 : 22.44
Informasi Tambahan

Event: peristiwa G30S/PKI

Institusi: Universitas Indonesia

Kasus: HAM

BPIP dan MPR Tegaskan Pentingnya Restorasi Nama Baik Sukarno

21 Nov 2024 : 05.44 Views 2

Medcom.id Medcom.id Jenis Media: Nasional

BPIP dan MPR Tegaskan Pentingnya Restorasi Nama Baik Sukarno

Jakarta: Tidak berlakunya Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 yang mencabut kekuasaan Presiden Sukarno dinilai sebagai momentum penting untuk memulihkan nama baik Presiden pertama Indonesia. Penegasan ini disampaikan dalam diskusi yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Jakarta, Selasa, 19 November 2024.  Kepala BPIP Yudian Wahyudi menyatakan, pencabutan TAP MPRS tersebut melalui TAP MPR Nomor I/MPR/2003 harus ditindaklanjuti dengan langkah konkret untuk meluruskan sejarah Indonesia. Menurutnya, Sukarno kerap dikaitkan secara tidak tepat dengan Gerakan 30 September (G30S/PKI). “Sukarno sudah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional melalui Keppres Nomor 83/TK/2012. Itu berarti negara mengakui jasanya yang luar biasa bagi bangsa. Namun, narasi sejarah yang keliru masih menyudutkan beliau. Pemulihan nama baik dan hak-hak restoratif harus menjadi agenda penting,” tegas Yudian. Ia menambahkan, Sukarno adalah tokoh utama dalam sejarah Indonesia, termasuk sebagai proklamator kemerdekaan dan penggali Pancasila. Penegasan mengenai tidak berlakunya TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 juga dikuatkan melalui surat pimpinan MPR RI pada 26 Agustus 2024 kepada Menteri Hukum dan HAM. Surat tersebut menjadi bagian dari upaya formal untuk memulihkan nama baik Sukarno. Ahmad Basarah, Wakil Ketua MPR periode 2019-2024, mengatakan, meskipun secara yuridis TAP tersebut telah dicabut, dampaknya terhadap psikologi politik bangsa masih terasa. “Dugaan keterlibatan Sukarno dalam G30S/PKI tidak terbukti secara ilmiah. Banyak penelitian menunjukkan peristiwa 1965 penuh dengan konspirasi. Surat pimpinan MPR ini adalah tanggung jawab moral untuk membersihkan nama baik beliau,” ujarnya. Basarah juga mengingatkan bahwa keputusan untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Sukarno membuktikan bahwa beliau tidak pernah mengkhianati bangsa, sesuai syarat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Pendapat Ahli dan Akademisi Guru Besar Hukum Universitas Indonesia, Maria Farida Indrati, menyoroti adanya masalah pada Pasal 6 TAP MPRS XXXIII/1967 yang menyerahkan penyelesaian persoalan hukum terkait Sukarno kepada Pejabat Presiden. “Walau TAP itu sudah tidak berlaku, persoalan hukumnya belum selesai. Perlu ada konsensus untuk benar-benar memulihkan nama baik Sukarno,” kata Maria. Sejarawan BRIN, Asvi Warman Adam, menambahkan bahwa Sukarno mengalami tekanan berat di akhir hayatnya. “Beliau hidup dalam kondisi seperti tahanan di Wisma Yaso, bahkan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar,” ujarnya. Anindito Aditomo, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, menyatakan fakta sejarah mengenai pencabutan TAP MPRS XXXIII/1967 harus masuk dalam kurikulum pendidikan. “Kami siap bekerja sama dengan BPIP untuk memastikan sejarah Sukarno yang benar dapat diajarkan di sekolah,” katanya. Upaya pelurusan sejarah ini diharapkan menjadi langkah penghormatan terhadap jasa besar Sukarno sebagai salah satu tokoh terpenting dalam sejarah Indonesia.

Jakarta: Tidak berlakunya Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 yang mencabut kekuasaan Presiden Sukarno dinilai sebagai momentum penting untuk memulihkan nama baik Presiden pertama Indonesia. Penegasan ini disampaikan dalam diskusi yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Jakarta, Selasa, 19 November 2024. 
 
Kepala BPIP Yudian Wahyudi menyatakan, pencabutan TAP MPRS tersebut melalui TAP MPR Nomor I/MPR/2003 harus ditindaklanjuti dengan langkah konkret untuk meluruskan sejarah Indonesia. Menurutnya, Sukarno kerap dikaitkan secara tidak tepat dengan Gerakan 30 September (G30S/PKI).
 
“Sukarno sudah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional melalui Keppres Nomor 83/TK/2012. Itu berarti negara mengakui jasanya yang luar biasa bagi bangsa. Namun, narasi sejarah yang keliru masih menyudutkan beliau. Pemulihan nama baik dan hak-hak restoratif harus menjadi agenda penting,” tegas Yudian.
Ia menambahkan, Sukarno adalah tokoh utama dalam sejarah Indonesia, termasuk sebagai proklamator kemerdekaan dan penggali Pancasila.
 
Penegasan mengenai tidak berlakunya TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 juga dikuatkan melalui surat pimpinan MPR RI pada 26 Agustus 2024 kepada Menteri Hukum dan HAM. Surat tersebut menjadi bagian dari upaya formal untuk memulihkan nama baik Sukarno.
 
Ahmad Basarah, Wakil Ketua MPR periode 2019-2024, mengatakan, meskipun secara yuridis TAP tersebut telah dicabut, dampaknya terhadap psikologi politik bangsa masih terasa.
 
“Dugaan keterlibatan Sukarno dalam G30S/PKI tidak terbukti secara ilmiah. Banyak penelitian menunjukkan peristiwa 1965 penuh dengan konspirasi. Surat pimpinan MPR ini adalah tanggung jawab moral untuk membersihkan nama baik beliau,” ujarnya.
 
Basarah juga mengingatkan bahwa keputusan untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Sukarno membuktikan bahwa beliau tidak pernah mengkhianati bangsa, sesuai syarat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Pendapat Ahli dan Akademisi Guru Besar Hukum Universitas Indonesia, Maria Farida Indrati, menyoroti adanya masalah pada Pasal 6 TAP MPRS XXXIII/1967 yang menyerahkan penyelesaian persoalan hukum terkait Sukarno kepada Pejabat Presiden.
 
“Walau TAP itu sudah tidak berlaku, persoalan hukumnya belum selesai. Perlu ada konsensus untuk benar-benar memulihkan nama baik Sukarno,” kata Maria.
 
Sejarawan BRIN, Asvi Warman Adam, menambahkan bahwa Sukarno mengalami tekanan berat di akhir hayatnya. “Beliau hidup dalam kondisi seperti tahanan di Wisma Yaso, bahkan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar,” ujarnya.
 
Anindito Aditomo, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, menyatakan fakta sejarah mengenai pencabutan TAP MPRS XXXIII/1967 harus masuk dalam kurikulum pendidikan.
 
“Kami siap bekerja sama dengan BPIP untuk memastikan sejarah Sukarno yang benar dapat diajarkan di sekolah,” katanya.
 
Upaya pelurusan sejarah ini diharapkan menjadi langkah penghormatan terhadap jasa besar Sukarno sebagai salah satu tokoh terpenting dalam sejarah Indonesia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

(ALB)

Sentimen: positif (100%)