Sentimen
Positif (100%)
20 Nov 2024 : 16.25
Informasi Tambahan

Event: Pilkada Serentak

Institusi: Universitas Trunojoyo Madura

Kab/Kota: Madura

Komunikasi Etis dalam Debat Pilkada

20 Nov 2024 : 23.25 Views 3

Detik.com Detik.com Jenis Media: News

Komunikasi Etis dalam Debat Pilkada
Jakarta -

Debat pilkada adalah salah satu panggung elektoral yang mendapat perhatian intens dan serius pada era baru demokrasi internet. Panggung itu mendapat atensi luas oleh media dan publik seiring meningkatnya partisipasi netizen dan kian perkasanya rezim politik virtual dan digital. Bahkan kini ajang itu menjadi salah satu arena kontes politik demokrasi lokal yang penting dan membutuhkan persiapan khusus bagi para kandidat dan tim sukses paslon agar bisa tampil maksimal.

Panggung itu menjadi medium politik uji publik menyangkut kapasitas, kompetensi, dan daya saing para kandidat secara langsung. Para kandidat bisa diperbandingkan secara langsung head to head dengan paslon lain. Dalam debat publik, para kandidat akan diuji bagaimana pemahaman mereka baik di level policy strategist maupun teknis operasional. Mereka tidak hanya dituntut memiliki kemampuan membaca masa kini (best practice), tetapi juga masa depan (best future).

Dalam panggung itu, para kandidat harus bisa menampilkan banyak surplus elektoral yang dimiliki untuk bisa dibandingkan dengan kandidat lain guna memperoleh daya saing dan elektabilitas. Tentu saja surplus ini bukan sekadar lipstik artifisial tetapi juga surplus substantif. Para kandidat ditantang untuk bisa mengembangkan kemampuan komunikasi publik yang impresif dan empatik. Gaya komunikasi ini terbukti lebih pas, cocok, dan juga manjur untuk diterapkan di panggung kontestasi pilkada di Indonesia.

-

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bukan Sekadar Adu Kepintaran

Panggung debat pilkada Indonesia sejatinya bukan sekadar peragaan komunikasi adu kepintaran pengetahuan semata, tetapi sesungguhnya lebih kompleks, yakni adu keunggulan faktor gabungan (kombinatif). Pemenangnya bukan siapa yang bisa menjatuhkan lawan dan membuat lawan malu tak berkutik. Namun, lebih banyak terkait dengan bagaimana para kandidat bisa mengembangkan gaya komunikasi elegan-empatik.

Mereka bisa tampil bijaksana yang mampu menenggang lawan dengan baik sehingga bisa merebut simpati dan perhatian publik. Panggung ini memang unik dan kerapkali mengagetkan. Dalam waktu yang terbatas, kandidat harus bisa tampil impresif menyuguhkan citra positif di hadapan para pemirsa sehingga akan tampak smart dan meyakinkan.

Impresi menjadi kunci dalam debat pilkada. Dengan demikian para kandidat harus bisa memahami konten dan konteks komunikasi secara komprehensif. Tidak hanya memahami soal isi komunikasi, tetapi juga soal latar dari komunikasi publik. Mengutip elemen retorika dari Aristoteles (2018), para kandidat dalam debat harus bisa memenuhi tiga elemen gabungan sekaligus agar bisa berkomunikasi persuasif. Elemen itu adalah bisa memenuhi ethos yaitu etika atau kredibilitas, kemudian logos yaitu logika atau fakta, dan pathos yaitu emosi atau perasaan. Pada intinya makin tinggi kredibilitas etis komunikator, makin tinggi daya persuasi dan penerimaan pesan.

Dalam konteks ini kita bisa memahami mengapa kadang dalam debat publik bisa menghasilkan dampak yang berbeda-beda. Kandidat yang tampak jago berdebat belum tentu selalu bisa mendapat impact elektabilitas dan simpati publik. Bahkan kadangkala bisa menghasilkan dampak sebaliknya yakni merosotnya elektabilitas.

Jadi jangan heran kalau ada kandidat yang terlihat cerdas, pintar, tetapi gagal mendapatkan simpati dan tone positif dari publik dan media. Biasanya kandidat tersebut gagal memahami konteks komunikasi. Dengan demikian, kandidat harus bisa menyesuaikan dengan konteks masyarakat, lingkungan, budaya, dan logika publik. Konten dan konteksnya sesuai, pas dengan momentum ruang dan waktu yang ada.

Menunjukkan Kematangan Emosi

Tantangan sesungguhnya dalam debat pilkada sebagai sebuah panggung politik sesaat adalah bagaimana kandidat bisa menampilkan komunikasi politik yang impresif-persuasif kepada pemilih dan pemirsa sehingga mendapat tone positif. Dalam bahasa yang sederhana, mereka harus elegan dan memiliki modal sosial unggah-ungguh, memiliki sopan santun dalam komunikasi publik.

Kandidat tidak sekadar bisa menjawab pertanyaan, menyampaikan gagasan yang menunjukkan kemampuan intelektual, tetapi juga bisa menunjukkan kematangan emosi. Kandidat tidak terjebak menyerang secara vulgar, merendahkan kandidat lawan, tidak provokatif, tidak menyerang personal, tetapi bisa tampil elegan, bisa memberi respons jawaban dengan tenang dan positif. Dengan demikian debat bisa memenuhi unsur dimensi etis publik.

Sering saya sampaikan di berbagai kesempatan bahwa para kandidat harus bisa memahami betul perbedaan antara memukul dan mencubit manakala menyampaikan kritik, memberi evaluasi dan masukan. Hal ini penting karena sesuai dengan budaya tinggi (high context) masyarakat kita.

Sebagai panggung depan, para kandidat tentu saja harus hati-hati dalam menyampaikan pandangan, khususnya terkait dengan pemilihan diksi kata, memberi penilaian dan kritik terhadap lawan. Jangan sampai membuat blunder, memancing konflik, dan membuat polarisasi dalam masyarakat.

Panggung debat Pilpres 2024 memberi pelajaran berharga kepada kita semua. Jika kandidat tidak hati-hati, maka ia akan mendapat efek dan tone negatif. Seperti kasus kandidat memberi penilaian skor ekstrem layak dihindari karena ini bisa membuat publik menjadi antipati. Jadi hati-hati dalam berkomunikasi di ruang publik debat pilkada.

Dalam konteks budaya tinggi masyarakat Indonesia yang didominasi budaya Jawa perlu komunikasi publik dikemas dan dibungkus halus agar tidak kasar, empatik, dan full respek. Komunikasi publik yang empatik dan impresif mensyaratkan adanya kemampuan memahami logika dan psikologi massa secara komprehensif. Termasuk bisa mempertimbangkan kondisi dan situasi kebatinan audiens.

Kemampuan komunikasi empatik ini tentu berkaitan dengan konteks di mana debat itu digelar. Dalam konteks sosio-budaya masyarakat Timur, ada unggah-ungguh dalam komunikasi debat publik yang tentu berbeda konteks dengan masyarakat barat.

Medium Sharing

Debat publik pilkada sesungguhnya adalah medium sharing ide gagasan aksi publik yang bermakna. Ajang ini sesungguhnya merupakan media menyampaikan visi-misi program sehingga bisa menjadi ajang edukasi publik dan sarana untuk berbagi inspirasi kreasi dan inovasi kebijakan publik.

Gaya debat yang straight to the point dengan menembak langsung paslon patut dikembangkan hati-hati dan perlu diberikan catatan dan evaluasi. Teknik ini memang memiliki efek plus untuk mengambil peluang pada ceruk pemilih kritis menengah atas perkotaan. Namun, jika diterapkan di Indonesia yang didominasi budaya high context politics, gaya menyerang secara lugas dan terbuka bisa menjadi senjata makan tuan.

Teknik memukul langsung menurut saya sering kurang efektif. Gaya itu kerap menghasilkan antipati publik. Komunikasi terlalu vulgar bisa berakibat antipati dan kurang empatik. Ke depan, saya berharap debat kandidat bisa meningkat kualitasnya. Debat bisa menjadi ajang edukasi dan literasi politik serta bisa menjadi referensi bagi pemilih.

Catatan saya terhadap semua paslon di sesi mendatang perlu penguatan lagi untuk policy strategist futuristik. Jadi tidak saja mengandalkan best practices, tetapi juga penguatan future practices. Melalui panggung debat pilkada, para paslon bisa menunjukkan visi kepemimpinan publik yang visioner dan progresif. Selain itu juga bisa membuat pendidikan politik lebih bermartabat.

Surokim peneliti media dan politik Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya Universitas Trunojoyo Madura (UTM)

(mmu/mmu)

Sentimen: positif (100%)