3 Biang Kerok Badai PHK Startup RI dan Saran Pembenahannya
CNNindonesia.com Jenis Media: Ekonomi
Badai pemutusan hubungan kerja (PHK) di perusahaan rintisan (startup) yang beroperasi di Tanah Air terus berlanjut. Beberapa yang sudah melakukan PHK adalah LinkAja, Shopee, TaniHub, hingga Tokocrypto.
Terbaru, ada juga startup Edtech, Binar Academy yang mengonfirmasi melakukan PHK pada 20 persen karyawannya. Namun sayang mereka tak menjelaskan berapa total karyawan perusahaan itu saat ini.
Tak hanya melakukan PHK, beberapa startup bahkan menyatakan gulung tikar. Pekan lalu, startup furnitur, Fabelio mengumumkan secara resmi menutup seluruh unit usahanya di Indonesia karena masalah itu.
Alasan startup melakukan PHK pun beragam, mulai dari perubahan strategi usaha, hingga penghematan karena perusahaan bersiap untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi di tahun depan.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan PHK dan kebangkrutan yang menimpa sejumlah startup memang dipicu banyak faktor. Salah satunya, permasalahan di startup yang sulit untuk diselesaikan.
Pertama, perubahan perilaku masyarakat yang membuat startup menghadapi kenyataan yang tak sesuai ekspektasi. Saat pandemi muncul, startup memang menjadi incaran banyak pekerja di Indonesia, terutama anak muda yang menginginkan cara kerja fleksibel.
Tak heran, saat itu banyak perusahaan rintisan baru yang bermunculan. Startup yang lahir di masa pandemi memiliki optimisme bahwa akan terjadi perubahan gaya hidup masyarakat ke depannya, yakni lebih mengandalkan digitalisasi.
Tapi nyatanya, harapan tersebut tak sejalan dengan kenyataan. Saat pandemi mulai melandai, masyarakat tetap lebih memilih berinteraksi secara fisik.
"Nah ketika pandemic darling ini dihadapkan dengan realita bahwa ketika terjadi pelonggaran mobilitas, maka permintaan terhadap layanan digital itu ikut mengalami koreksi atau penurunan terutama yang berkaitan dengan bisnis consumer atau B to C," ujar Bhima kepada CNNIndonesia.com, Senin (17/10) kemarin.
Bhima mengatakan hilangnya pesona ini bisa terlihat dari dua contoh sektor startup yang mengalami tekanan usai pandemi reda, yakni, e-commerce dan pendidikan. Saat pandemi, masyarakat mengubah gaya hidup dan belanja dari offline menjadi online untuk membeli pakaian, bahkan sayuran dan buah.
Begitu juga dengan sekolah yang saat 2020 tidak diperbolehkan tatap muka, maka belajar online menjadi pilihan.
"Tapi itu tak bertahan lama, karena masyarakat ternyata memilih untuk beraktivitas secara fisik lagi, sehingga digital hanya menjadi penopang. Nah ini yang menyebabkan tekanan bagi startup," imbuhnya.
Kedua, permasalahan uang. Pendanaan startup biasanya berasal dari modal ventura asing. Namun, seiring ancaman resesi global, maka aliran modal ke startup berpotensi ikut terganggu.
"Nah ini salah satu yang menyebabkan PHK di startup Indonesia karena ketergantungan pendanaan dari asing yang mungkin saja mengalami banyak permasalahan di negaranya, sehingga pendanaan ke Indonesia jadi seret," jelasnya.
Ketiga, permasalahan persaingan usaha yang tidak sehat. Banyak startup yang bersaing menarik konsumen melalui perang promo dan suku bunga tinggi atau dikenal dengan istilah bakar uang.
Misalnya, platform e-commerce yang memberikan potongan harga besar-besaran, sehingga biasanya lebih murah dari toko fisik, sampai tawaran gratis ongkos kirim. Lalu, perbankan digital berlomba menawarkan bunga simpanan yang tinggi.
Strategi perang diskon yang salah ini membuat banyak startup berguguran. Yang bisa bertahan hanyalah startup yang memiliki modal besar.
"Nah strategi ini yang salah, ini yang perlu diubah sehingga bukan perang promo ataupun perang diskon yang didorong untuk menggaet loyalitas tapi yang lebih berkelanjutan adalah mendorong fitur ataupun layanan, dan kolaborasi. Tentu tak mudah dan sulit karena masyarakat terbiasa dengan berbagai promo saat berbelanja online, tapi harus dimulai sejak saat ini," jelasnya.
Bhima berharap pemerintah ikut bergerak dalam mengatasi masalah ini sehingga ke depan startup bisa menjadi salah satu pendorong perekonomian dalam negeri. Menurutnya, ada beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah.
Pertama, mengatur persaingan usaha yang sehat di antara pelaku startup. Pemerintah katanya, harus membuat batasan jika ingin melakukan skema bakar uang, sehingga startup tak saling 'membunuh'.
"Memperbaiki persaingan di startup terutama platform yang berkaitan dengan bussines to consumer, e-commerce, kemudian layanan bank digital juga. Bagaimana mereka mengatur soal promo dan diskon ini, sehingga tidak berdampak juga terhadap persaingan dengan sektor ritel fisik dan membuat persaingan jadi lebih sehat diantara sesama pemain digital," sarannya.
Kedua, memperkuat dorongan dari investor modal ventura di dalam negeri untuk pembiayaan startup, sehingga ketergantungan terhadap gejolak eksternal bisa diminimalisir.
"Ketika banyak startup bergantung terhadap pendanaan asing startup yang ada di Indonesia rentan," ujarnya.
Badai PHK Masih Bisa Berlanjut Sampai 2 Tahun ke Depan BACA HALAMAN BERIKUTNYASentimen: negatif (99.2%)