Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: New York
Kasus: covid-19, kecelakaan
Tokoh Terkait
Muslihat Candu Hoaks
CNNindonesia.com Jenis Media: Tekno
Rentetan informasi hoaks kian menyeruak ke ruang privasi masyarakat, di antaranya lewat media sosial hingga platform pesan instan yang diakses masyarakat. Belakangan informasi hoaks makin meningkat seiring dengan meluasnya kabar Covid-19 yang kian menggeliat.
Pakar Komunikasi Digital Firman Kurniawan menilai sebagian masyarakat tidak tahu dan tak dapat membedakan antara informasi yang benar dengan yang hoaks. Keduanya hadir campur aduk melalui media yang dikonsumsi masyarakat, terutama media sosial.
"Sebenarnya masyarakat tidak tahu persis dan mampu membedakan antara informasi yang benar dengan yang hoaks. Keduanya hadir campur aduk melalui media yang dikonsumsi masyarakat, terutama media sosial,"
Senada, Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho menjelaskan faktor banyaknya masyarakat yag mempercayai berita hoaks ketimbang berita asli. Ia menilai saat ini literasi digital masih belum merata. Hal itu membuat masyarakat sulit membedakan kualitas infomasi hoaks dan asli.
Padahal dibalik penyebaran kebohongan yang menyesatkan warga itu, para pembuat hoaks bisa meraup keuntungan hingga ratusan juta.
Hal ini diungkap Analis media sosial sekaligus pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi. Menurutnya, cara kerja para pembuat hoaks ini ialah dengan menyediakan platform seperti website atau YouTube.
Kedua platform ini diisi dengan konten palsu dan disebarkan ke media sosial. Konten tersebut akan menimbulkan keriuhan sehingga banyak warganet mengakses.
Sehingga, para pembuat hoaks bisa meraup keuntungan dari iklan yang dipasang di situs (AdSense) dan kanal Youtube mereka. Selain itu, mereka juga bisa mendapat keuntungan dari penjualan produk dan pesanan politik.
Ketertarikan manusia terhadap hoaks tidak hanya terjadi di Indonesia. Sebuah di Amerika Serikat (AS) juga menyatakan hal serupa. Warga AS lebih minat mengonsumsi informasi hoaks yang menyebar di media sosialFacebook, ketimbang kabar dengan sumber informasi yang faktual.
Bahkan menurut studi itu kabar hoaks mendapat 6 kali lipat lebih banyak klik daripada situs berita dengan reputasi baik pada Pemilu AS pada 2020 lalu. Pernyataan tersebut merupakan bagian dari hasil studi peneliti dari Universitas New York (NYU) dan Universitas Grenoble Alpes (UGA) di Perancis yang sudah melalui tinjauan sejawat.
Hoaks sengaja mengaduk emosi
Namun, kata Firman, karena struktur hoaks dinilai mampu menunggangi sisi emosional masyarakat, maka informasi hoaks memiliki porsi lebih untuk dikonsumsi dan didistribusikan secara meluas.
Sebagai contoh hoaks ringan pada saat pendistribusian vaksin Covid-19 yang saat itu baru diberikan kepada tenaga kesehatan dan dengan pendistribusian yang belum masif. Namun pada saat vaksin dibuka untuk masyarakat umum, sontak masyarakat berbondong-bondong memadati tempat pelaksanaan vaksin.
"Dan setelah sampai di tempat, baru ketahuan, informasinya hoaks," tuturnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan situasi yang dapat mempengaruhi maraknya penyebaran hoaks, yakni situasi bencana yang magnitudonya besar dan luas, penyebaran penyakit, terjadinya kecelakaan dengan jumlah korban yang banyak, adanya perubahan situasi yang berkaitan dengan nasib orang banyak dan adanya persaingan antar entitas ekonomi atau politik tertentu.
Keadaan yang ia sebut itu, melahirkan situasi ketidakpastian pada mental masyarakat, serta dalam kenyataannya, ketika terjadi keadaan penuh ketidakpastian, maka masyarakat berada dalam keadaan ketidakseimbangan informasi.
Di samping itu Firman juga menjelaskan kapan maraknya kabar hoaks menghantam ruang-ruang informasi masyarakat Indonesia. Ia menjelaskan bahwa penyebaran hoaks telah terjadi sejak lama. Namun momentum Pemilihan Umum yang digelar pada 2014, menjadi awal mula maraknya hoaks di lini masyarakat yang menyangkut identitas kandidat presiden saat itu.
Kosmetik Hoaks Bikin Tampil Meyakinkan BACA HALAMAN BERIKUTNYASentimen: netral (86.5%)