Penguatan Rupiah Tertunda Gegara Amerika, Loh Kok Gitu?
CNBCindonesia.com Jenis Media: Ekonomi
Jakarta, CNBC Indonesia - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memastikan, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih akan terus menguat, meskipun Bank Sentral AS The Federal Reserve masih berpotensi mengerek naik suku bunga acuannya dalam waktu dekat.
Ia menyebutkan ada empat alasan rupiah akan terus menguat, yaitu inflasi yang terus terjaga di kisaran sasaran 3% plus minus 1%, pertumbuhan ekonomi yang terjaga di kisaran 5%, surplus neraca pembayaran yang berlanjut di kisaran 0,4% sampai defisit 0,4% dari produk domestik bruto (PDB), dan komitmen BI untuk menjaga stabilitas rupiah.
"BI berkomitmen pada saat ini, pada masa-masa ini memastikan stabilitas nilai tukar rupiah. BI tetap yakin rupiah ke depan akan mengaut setelah tentu saja tiupan angin global mereda," kata Perry saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Kamis (22/6/2023).
"Ini memang tertunda karena di Amerika Serikat kondisinya berubah, tapi begitu itu mereda yakin rupiah akan menguat," ujar Perry.
Untuk menjaga stabilitas rupiah ke depan, ia menekankan, BI senantiasa berkomitmen untuk melakukan intervensi di pasar keuangan. Kata dia, ini tercermin telah susutnya cadangan devisa pada akhir Mei yang telah di posisi US$ 139,3 miliar, padahal pada April masih di level US$ 144,2 miliar.
"Itu masih jauh lebih dari cukup ya. Kami gunakan cadev dari yang kami kumpulkan saat inflow besar dan kami gunakan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, itu memang tugasnya BI," ungkap Perry.
Bank Indonesia (BI) memperkirakan suku bunga acuan di Amerika Serikat (AS), Fed Fund Rate, bakal naik menjadi 5,5% pada Juli.
Ramalan BI ini didasari oleh analisa perkembangan ekonomi Negeri Paman Sam dan juga mencermati pernyataan-pernyataan Gubernur The Fed Jerome Powel dan anggota bank sentral AS yang lain.
"Otoritas terkait di sana sudah mulai meredakan pengetatan likuiditas di sini kemudian FFR yang kami perkirakan terminalnya 5,25% ada kemungkinan baseline kami Juli nanti naik menjadi 5,5%," kata Perry.
Adapun, pemicu kenaikan lanjutan ini adalah inflasi di AS yang masih tinggi. Inflasi tinggi di AS dipicu oleh pasokan yang sulit meningkat. Padahal, permintaan tidak bisa dikendalikan hanya dengan kenaikan suku bunga, terlebih lagi inflasi terjadi di sektor jasa.
"Kenaikan permintaan di AS dulu-dulunya adalah untuk komoditas barang makanan, tapi kemudian sekarang semakin didominasi oleh kenaikan permintaan jasa," katanya.
Inflasi ini mempengaruhi pasar tenaga kerja AS. Pasokan tenaga kerja tersumbat seiring dengan pembatasan imigrasi sehingga permintaan tenaga kerja tidak terpenuhi.
Ia mengakui, ketidakpastian pasar keuangan global itu menyebabkan nilai tukar Rupiah pada sampai dengan 21 Juni 2023 secara rerata sedikit melemah sebesar 0,56% dibandingkan dengan rerata kurs Mei 2023.
Namun demikian, Rupiah secara point-to-point, baik dibandingkan dengan akhir Mei 2023 maupun akhir tahun 2022, menguat masing-masing sebesar 0,30% dan 4,17%.
Dengan perkembangan tersebut, penguatan Rupiah dibandingkan dengan level akhir tahun 2022 lebih baik dari apresiasi Rupee India dan Peso Filipina masing-masing sebesar 0,85% dan 0,15% sedangkan Thai Baht mencatat depresiasi 0,70%.
[-]
-
Dunia Masih Gonjang-Ganjing, BI Tak Ragu Intervensi Rupiah!
(mij/mij)
Sentimen: positif (92.8%)