Sentimen
Informasi Tambahan
BUMN: PT Biofarma
Institusi: UNAIR, Universitas Airlangga
Kasus: covid-19
Tokoh Terkait
BRIN Ungkap Vaksin Merah Putih Terkendala Kurang Fasilitas
CNNindonesia.com Jenis Media: Tekno
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko menjelaskan kendala pengembangan vaksin di dalam negeri, salah satunya vaksin Merah Putih.
Handoko menjelaskan bahwa pengembangan vaksin terkendala oleh beberapa hal, di antaranya fasilitas Good Manufacturing Practice (GMP) untuk menghasilkan produk yang berstandar uji praklinis maupun ujiklinis.
"Karena untuk melakukan uji obat vaksin tentu produknya harus berstandar. Tapi alat produksinya tidak ada," ujar Handoko secara virtual di Webinar Kemerdekaan Riset untuk Merah Putih, Rabu (18/8).
Meski begitu Handoko menjelaskan bahwa industri di Indonesia sebagian sudah memiliki GMP, namun hanya ada dua platform yakni inactivated dan rekombinan. Namun juga tidak mungkin alat itu bisa digunakan oleh berbagai penelitian, lantaran harus bersertifikasi dan berstandar.
Misalnya, alat GMP untuk vaksin merah putih saat ini hanya dimiliki oleh perusahaan farmasi Biofarma. Handoko menjelaskan bahwa peminjaman itu harus dilakukan pembersihan, diatur ulang, disertifikasi kembali untuk Eijkman.
Jika GMP sudah selesai digunakan oleh Eijkman untuk mengembangkan vaksin, maka proses normalisasi seperti pembersihan hingga sertifikasi ulang sebelum dikembalikan bisa memakan waktu 3 hingga 4 bulan.
"Misalnya kita bikin untuk 10 ribu atau 50 ribu dosis untuk uji praklinis dan hewan, setelah itu mau dibalikin ke production lain itu harus disertifikasi dan cleansing. Bisa- bisa 3 sampai 4 bulan [waktu] habis untuk proses itu. Itulah sebabnya kita mulai tahun ini apapun caranya kita sediakan (GMP) itu," katanya.
Langkah itu diambil Handoko lantaran GMP dapat digunakan bergantian oleh lembaga lain yang ingin melakukan riset terkait vaksin, obat dan lainnya.
"Karena nanti bisa dipakai oleh semuanya, bergantian memakainya. Karena hitung-hitungan BRIN bukan seperti BUMN. Kita kan hitunganya riset jadi gada kata rugi," ujar Handoko.
Kedua, ia juga menjelaskan bahwa BRIN menyadari Indonesia tidak memiliki fasilitas Animal Biosafety level 3 atau BSL-3 untuk primata. Fasilitas itu juga disebutnya sebagai infrastruktur penunjang dalam pengembangan vaksin.
BRIN ke depan akan membuat BSL-3 khusus primata yang berkapasitas 30 hingga 40 ekor di Lembaga Ilmu Penelitian di Cibinong. Lokasi itu dipilihnya lantaran banyak peneliti zoologi yang bekerja di lokasi tersebut.
"Ternyata kita baru tahu bahwa belum ada animal BSL-3 untuk primata di negara kita. jadi itu pun kita bangun saja dengan sekelas 30-40 ekor di Cibinong. Karena di Cibinong sudah banyak teman2 zoologi di sana," ujar Kepala BRIN.
Fasilitas BSL-3 itu, dijelaskan Handoko, bakal menempati bangunan gedung yang akan dialihfungsikan. Meskipun tidak bisa menyelesaikan di tahun ini, ia memproyeksikan BSL-3 dapat diselesaikan pada kuartal 1 tahun 2021.
"Di sana ada bangunan gedung yang bisa dialihfungsikan, sehingga investasi bisa seminimum mungkin. Memang tidak bisa selesai tahun ini, tapi setidaknya kuartal I tahun depan. Pokoknya kita sediakan," kata Handoko.
Untuk 3T (testing, tracing, treatment) penanganan pandemi COVID-19, BRIN memiliki kapasitas uji virus terbesar di Lembaga Eijkman dan LIPI Cibinong. Selain itu, BRIN juga mendukung Kementerian Kesehatan untuk surveilans berbasis whole genom sequencing.
BRIN berharap dua fasilitas tersebut bisa hadir sebelum kuartal 1 2022 meski pembangunannya memang harus dikebut.
Tetapi sambil menunggu keberadaan fasilitas itu, khususnya pengembangan lanjutan untuk bibit vaksin yang dikembangkan Universitas Airlangga akan memanfaatkan fasilitas yang ada meski kecil di PT Biotis untuk uji praklinis primata.
(can/DAL)[-]
Sentimen: positif (95.5%)