Sentimen
Informasi Tambahan
Grup Musik: APRIL
Kab/Kota: Hongkong
Kasus: KKN
Jurus 'Abadi' Salim Meski Babak Belur Dihajar Krisis
CNBCindonesia.com Jenis Media: Ekonomi
Jakarta, CNBC Indonesia - Badai krisis 1998 membuat Sudono Salim alias Liem Sioe Liong terpuruk. Selama masa krisis dia menjadi korban amukan massa yang sentimen terhadap Soeharto dan Tionghoa. Kerajaan bisnisnya hancur, bahkan rumah pribadinya dibakar. Bahkan, setelah Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, dia tetap menjadi sasaran massa.
Parahnya, mengutip Democratization in Post-Suharto Indonesia (2009), derasnya kebebasan berpendapat membuat banyak pihak meminta aparat mengusut kasus KKN di relasi Salim-Soeharto. Hal ini membuat Salim kesulitan membangun kembali bisnisnya. Apalagi, kini dia tak lagi memiliki 'bekingan' yang selama ini membantu melancarkan bisnisnya. Penguasa baru, Presiden B.J Habibie, tidak memiliki kedekatan khusus dengan orang terkaya di Indonesia itu.
Lantas, bagaimana cara Salim bangkit sendirian menyusun kembali kerajaan bisnisnya hingga tetap sukses seperti sekarang?
Fokus jualan Indomie
Tiga sektor utama bisnis Salim, yakni perbankan (BCA), konstruksi (Indocement), dan makanan (Bogasari dan Indofood), tak ada yang luput dari hantaman krisis. Namun, dari ketiganya hanya Indofood yang cukup bisa diandalkan. Alasannya pun sederhana: orang selalu lapar dan mencari makan.
Indonesia memang krisis, tetapi rakyat yang lapar butuh makan. Dengan kondisi dompet yang tipis, satu-satunya pilihan makanan yang terjangkau adalah mi instan. Dan pemain utama pasar mi instan Indonesia saat itu adalah Indofood (PT. Indofood Sukses Makmur [INDF]) yang memiliki produk Indomie, Sarimi dan Supermie.
Alhasil, Salim, lewat anaknya Anthony Salim, memilih fokus mengembangkan Indofood untuk menyusun kembali kerajaan bisnisnya.
Sebagai catatan, produk Indofood, khususnya Indomie, saat itu sudah dikenal di seluruh dunia, khususnya Afrika, Asia, dan Australia. Sebagai contoh, kasus di Nigeria. Melansir laman Business Hubone, di negara Afrika itu, Salim membentuk Dufil, perusahaan patungan kerjasama Salim Grup dengan Grup Tolaram asal Singapura, untuk memproduksi Indomie pada 1990-an. Karena masyarakat Nigeria senang terhadap ide dan produk baru, maka dalam sekejap Indomie laris-manis di sana hingga kini.
Atas dasar ini, sebetulnya tak sulit bagi Salim memanfaatkan Indomie sebagai penggerak roda bisnis. Namun, kenyataannya tak semudah itu. Perusahaan ini bermasalah karena terlilit hutang sebesar US$ 989 juta.
"Alhasil, Salim membutuhkan suntikan modal dan membuka pintu investasi. [...] Namun, dia juga tak mau melepaskan kepemilikan 63% saham di Indofood." tulis Richard Borsuk dan Nancy Chng.
Investor pertama datang dari perusahaan besar Jepang, Nissin Food Products. Pendiri Nissin adalah penemu mi instan, Momofuku Ando. Karena sama-sama memproduksi mi, Nissin merasa cocok dan ingin mengakuisisi 60% saham Indofood. Dalam proses ini, perusahaan Jepang itu dibantu oleh perusahaan investasi First Pacific.
Seiring berjalannya waktu, proses kesepakatan kedua pihak berjalan positif. Namun, saat hendak mencapai kata mufakat hubungan itu buyar. Salim akhirnya menolak pelepasan 60% saham miliknya di Februari 1999.
Namun, kesepakatan justru terjadi antara First Pacific dengan Indofood. Perusahaan Hongkong itu akan membeli 40% saham Indofood senilai US$ 650 Juta. Salim setuju dan sejak itu kepengurusan Indofood dipegang oleh dua pihak.
Menurut Richard Borsuk dan Nancy Chng yang mengutip Harian Asian Wall Street Journal, kesepakatan ini adalah cara Salim melindungi Indofood dari setiap pembalasan politik karena perubahan pemerintahan di Indonesia.
Terlepas dari motif kesepakatan itu yang pasti kesuksesan Salim mencari modal membuat kinerja bisnis Indofood moncer. Produksi mi instan bisa digenjot.
Pasarnya kemudian diperluas ke mancanegara. Dalam paparan Australian Financial Review, Indomie kini telah melampaui Ando dan Nissin Food sebagai pembuat mi instant terbesar di dunia, sekaligus merek yang paling banyak dipilih di dunia. Kini, Indomie diekspor ke lebih dari 100 negara di Asia, Afrika, Amerika dan Timur Tengah. Bahkan di Nigeria, Salim Group telah membuat pabrik khusus Indomie karena besarnya pasar di sana.
Pada akhirnya, seluruh usaha ini berujung pada bertambahnya pundi-pundi kekayaan Salim. Berkat ini pula, utang-utang Salim kepada Bank Indonesia bisa lunas dan terpenting dia bisa membangun kembali kerajaan bisnis.
"Setelah mendapat surat keterangan lunas dari pemerintah pada Maret 2004, Anthony perlahan kembali tampil ke panggung bisnis nasional [...] Salim kembali mengarahkan fokus bisnisnya ke industri makanan dan produk konsumen, " tulis Pusat Data dan Analisa Tempo dalam Profil Bisnis Grup Salim.
Saat tampil kembali, Salim tercatat mulai bermain di industri minyak sawit lewat PT Salim Ivomas Pratama. Lalu, dia membangun bisnis gula di lampung. Di luar negeri, lewat bendera First Pacific, dia juga merambah pasar Filipina, Thailand, China, Hongkong, dan India.
Dalam pencatatan tim riset CNBC Indonesia pada 5 April 2022, gurita bisnis Salim juga ada di sektor energi, konstruksi, asuransi, media, dan perbankan.
"Jika ditotal-total, semua emiten yang terafiliasi dengan Grup Salim baik langsung maupun tak langsung, baik yang kepemilikannya hanya di bawah 10% hingga lebih dari 75%, nilai kapitalisasi pasarnya mencapai hampir Rp 708,3 triliun," tulis tim riset CNBC Indonesia.
Atas besarnya nilai kapitalisasi tersebut, tak heran kalau Forbes mencatat Anthony Salim dan keluarga di urutan ke-5 orang terkaya Indonesia berharta US$ 7,5 miliar atau setara Rp 114,84 triliun (Kurs Rp 14.836)
[-]
-
Kisah BCA Lepas Dari Salim & Jadi Rebutan Pengusaha Sedunia(mfa)
Sentimen: positif (94.1%)