Sentimen
Informasi Tambahan
BUMN: Garuda Indonesia
Event: Olimpiade, Ramadhan, SEA Games
Hewan: Gajah
Kab/Kota: bandung
Tokoh Terkait
Hari-hari Gila di SEA Games Kamboja
CNNindonesia.com Jenis Media: Sport
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia --Duduk dan melamun jadi pilihan pertama saya setelah mendarat utuh di Bandara Internasional Phnom Penh, Kamboja.
Belasan tahun mengenyam pendidikan formal terasa begitu percuma untuk memahami penunjuk arah yang didominasi aksara Khmer, tapi minim informasi berbahasa Inggris. Saya mendadak buta huruf.
"Suostei, Bong," kata salah satu remaja berbaju ungu ke arah saya, artinya kurang lebih seperti "Hai, Kak" dalam bahasa Indonesia.
Tanda pengenal SEA Games 2023 dengan kaus bertuliskan 'volunteer' meyakinkan saya bahwa pemuda berkulit sawo matang itu dapat memberi informasi yang dibutuhkan.
Aksen bahasa Inggrisnya unik, tak pernah saya dengar sebelumnya. Tanpa banyak cakap, ia sigap menunjukkan ke mana saya harus melangkah tahap demi tahap.
Kartu tanda pengenal SEA Games membuat saya hanya perlu melakukan registrasi ulang di dekat meja imigrasi kemudian langsung lenggang kangkung menuju pintu keluar bandara. Tak ada sama sekali pemeriksaan isi tas dengan alat X-Ray atau pendeteksi logam.
Bagi pendatang tanpa tanda pengenal SEA Games, maka harus lebih dulu melewati tahap pemeriksaan data diri, ditanya-tanya keperluan di Kamboja dan melewati pintu pemindaian barang bawaan.
Duduk dan melamun kembali jadi pilihan sembari berpikir langkah selanjutnya yang harus diambil. "Di mana hotel saya? Bagaimana caranya ke sana? Berapa ongkosnya?" Adalah rentetan pertanyaan yang muncul di benak.
Selain tiba-tiba buta huruf, saya juga mendadak lebih bodoh dalam matematika. Kamboja adalah negara yang memberlakukan dua mata uang: Khmer Riel dan dolar AS.
Saya membeli nomor ponsel lokal dengan banderol US$7 atau setara 29 ribu Riel alias Rp105 ribu, sudah termasuk paket data internet 20 gigabit untuk tujuh hari. Lembar uang US$20 dolar saya serahkan ke si penjual. Kembaliannya adalah campuran Dolar AS dan Riel. Saya iya-iya saja.
Konsentrasi kemudian buyar ketika seorang supir taksi menghampiri saya untuk menawarkan jasanya. Tolakan halus plus gestur namaste efektif bagi sang supir langsung untuk mengangguk dan menjauh tanpa perlawanan.
Saya mengecek salah satu aplikasi taksi daring yang biasa digunakan di Indonesia, ternyata juga bisa dipakai di Kamboja. Ada tiga pilihan yang bisa digunakan: Mobil, Tuk Tuk, dan Remorque (gerobak yang ditarik sepeda motor).
Mobil adalah pilihan bijak transportasi dari bandara mengingat barang bawaan yang cukup banyak dan jarum jam menunjuk angka 12 tengah malam. Tapi pilihan saya jatuh ke Tuk Tuk, entah mengapa.
Kendaraan roda tiga itu diizinkan masuk bandara untuk menjemput penumpang di terminal kedatangan. Hanya butuh tiga menit sejak pemesanan, Tuk Tuk sudah tiba di muka. Kepala sang supir keluar sepenuhnya, melempar senyum dan memastikan nama saya serupa dengan yang muncul di layar ponselnya.
Hanya ada saya dan Chhay Sngha--sang supir, membelah jalan utama Phnom Penh yang sekilas serupa ruas Otista di Bandung. Jarum speedometer hampir tak pernah menunjuk angka di bawah 40 kilometer per jam.
Lampu merah justru membuat supir 38 tahun itu terus mengencangkan tarikan gas. Hanya cekikikan 'Hehe' dari sang supir yang terdengar di kuping saya.
Manuver beloknya memaksa bahu saya miring ke kiri dan ke kanan tanpa ritme. Tak ada pilihan selain memegang erat tas dan koper, serta berdoa dalam hati.
Sempat hampir bersua petaka kala Tuk Tuk itu nyaris menyeruduk seorang pengendara sepeda motor yang hendak melintas. Beruntung kedua kendaraan tak saling beradu.
Tak ada teriakan atau kata-kata semacam umpatan yang terlontar dari supir Tuk Tuk dan si pemotor. Mereka bahkan saling mengobrol ketika sang nakhoda memberhentikan Tuk Tuk-nya di lampu merah, itu sekaligus jadi yang pertama sang supir menghentikan rodanya.
Tak seberapa lama, muncul rasa lega begitu Tuk Tuk tiba di depan hotel tujuan. Saya membayar dengan pecahan dolar lagi dan kembaliannya tentu Riel. Chhay Sngha kembali melempar senyuman sekaligus lambaian tangan tanda perpisahan.
Ada perasaan bersalah karena uang kembalian yang diberikan sang sopir ternyata lebih banyak dari semestinya, tapi bapak dua anak itu sudah terlanjur tancap gas.
Tidak banyak waktu untuk beradaptasi dengan situasi karena esok harinya saya langsung melenggang ke gelanggang. Pertandingan semifinal cabor sepak bola Indonesia vs Vietnam sudah menanti.
Dua raksasa Asia Tenggara begitu ngotot demi satu tiket ke final. Alhamdulillah, partai puncak diamankan skuad Garuda Muda secara dramatis. Situasi 10 lawan 11 pemain dan gol penentu di injury time berakhir dengan kemenangan 3-2.
Satu hal yang jadi tantangan di Kamboja adalah suhu panas. Jelang malam pun, suhu udara masih di atas 30 derajat celcius, hawa gerah tetap terasa meski matahari sudah tak ada. Jika siang, suhu 37-40 derajat celcius jadi langganan.
Ini membuat saya kerap bertengger di tempat yang disediakan untuk para jurnalis di dekat stadion. Kontainer peti kemas yang disulap jadi semacam ruangan ber-AC itu adalah tempat singgah favorit para pewarta dari berbagai negara Asia Tenggara.
Kalaupun tidak di ruang khusus awak media, saya biasa ngadem di minimarket pada siang atau malam. Namun, sebaiknya hindari berbelanja di minimarket tepi jalan jika hari sudah gelap terlebih lagi jelang dini hari.
Sebab tak jarang ada orang mabuk berada di dalam minimarket. Pernah satu malam, saya mendapati seorang pria tidur terlentang di dekat rak keripik kentang. Saya tak tega melihat kasir minimarket berusaha membujuk pria paruh baya itu untuk pergi.
Drama belum kelar meski si pemabuk sudah keluar. Ia tetap berusaha masuk dan aksi dorong-dorongan pintu tak terhindarkan. Si pemabuk meraung-raung dan menangis, tangannya terjepit pintu kaca yang ditahan oleh kasir.
Belum lagi orang yang kerap tidur sembarangan di berbagai tempat. Terdapat larangan tidur di lobi hotel tempat saya menginap. Usut punya usut, beberapa kali memang ada orang yang tiba-tiba masuk dan menumpang tidur di kursi atau di lantai. Hal serupa juga terjadi di dalam kafe atau tempat umum lainnya.
Meski begitu, saya menaruh rasa hormat tinggi kepada warga Kamboja yang menghargai betul kebersihan, utamanya soal sampah. Di jalanan, sangat jarang bagi saya menemukan bungkus makanan dan minuman berserakan walaupun jumlah tong sampah terbilang sedikit.
Begitupun di stadion. Panitia SEA Games tidak melarang kemasan makanan dan minuman plastik masuk ke tribun. Namun setelah pertandingan usai, tanpa disuruh penonton otomatis membawa sampah mereka masing-masing. Ini tabiat yang perlu ditiru Indonesia.
Puncak kegilaan di KambojaSinar matahari merangsek masuk lewat sela kamar yang menghadap ke arah timur. Panasnya cukup menusuk kulit. Pagi itu suhu udara sudah menyentuh 32 derajat celcius meski jarum belum tepat menunjuk angka delapan.
Saya bergegas sarapan telur asin dan bubur nasi porsi jumbo yang hambar. Lumayan untuk mengisi energi untuk liputan hingga tengah malam. Saya sangat butuh tenaga untuk laga akbar. Itu adalah harinya Timnas Indonesia.
Wakil Merah Putih melangkah ke final. Lawan yang dihadapi bukan kaleng-kaleng. Thailand dengan status raja sepak bola SEA Games berkat koleksi 16 emas--terbanyak sepanjang sejarah--mempertegas bahwa tim Gajah Perang adalah tantangan besar bagi Indonesia.
Ribuan penonton sudah berdatangan sejak siang hari. Warga lokal bahkan turut mendukung Indonesia dengan segala atribut Merah Putih. Latar belakang sejarah membuat orang Kamboja cenderung enggan menyokong Thailand di sepak bola.
Hampir tak ada tempat kosong di tribun penonton. Stadion berkapasitas 50 ribu kursi itu dipenuhi manusia jelang kickoff Indonesia vs Thailand.
Pertandingan berjalan seperti biasanya. Ramadhan Sananta mencetak gol pembuka di menit ke-20 dan menggandakannya di ujung babak pertama, tepatnya menit ke-45+5.
Pemain Thailand Anan Yodsangwal memangkas ketinggalan. Di titik ini, panas suhu udara dan pertandingan menyatu. Penonton mulai tak betah duduk di kursi, kebanyakan dari mereka berdiri, mulutnya tak berhenti bersorak mendukung tim kesayangan atau memaki-maki tim lawan.
Suhu pertandingan pun menyentuh titik didih di akhir babak kedua. Tiupan peluit wasit disangka penutup laga oleh Indonesia menyusul pelatih Indra Sjafri dan para pemain merayakan di tengah lapangan. Tapi pertandingan ternyata belum berakhir.
Situasi makin tak terkendali kala pemain Thailand Yotsakorn Burapha mencetak gol penyeimbang di injury time. Keributan di pinggir lapangan tak terhindarkan. Laga sepak bola menjelma campuran berbagai cabang olahraga. Ada tinjuan, bantingan dan tendangan.
Di fase ini, saya merasa putus asa. Haruskah saya menunggu puluhan tahun lagi agar Indonesia bisa meraih medali emas SEA Games di sepak bola?
Babak tambahan 2x15 menit harus dijalani. Tidak apa-apa. Rasa-rasanya, pendukung Timnas Indonesia sudah terbiasa dengan cerita antiklimaks di partai final.
Namun rasa putus asa itu sirna tak seberapa lama. Saya reflek lompat dari kursi dan berteriak sekencang-kencangnya ketika cungkilan Irfan Jauhari meluncur mulus ke dalam gawang lawan di menit ke-91. Skor 3-2.
Kegirangan saya semakin menjadi kala sepakan jarak jauh Fajar Fathur Rahman memperlebar keunggulan di menit ke-107. Skor 4-2. Puncaknya adalah gol penentu kemenangan yang dicetak Beckham Putra di menit ke-120. Indonesia menang 5-2! Juara! Pipi saya basah air mata.
Saya belum lahir ke dunia kala Timnas Indonesia berjaya di SEA Games 1991. Penantian 32 tahun rakyat Indonesia berakhir di Stadion Olimpiade, Phnom Penh, 16 Mei 2023.
Tak pernah terbayang sebelumnya, rekaman sejarah itu terekam langsung oleh mata dan tersimpan dalam ingatan saya.
Saat berjalan kaki sendiri di tengah sepinya jalan Preah Sihanouk, bibir seolah enggan berhenti senyum-senyum mengingat setiap detik surgawi yang baru terjadi. Air mata jatuh lagi.
Benar-benar malam yang gila di Kamboja. Terselip doa dalam hati, semoga memori ini tak lenyap digerogoti usia.
(har) LEBIH BANYAK DARI KOLUMNISSentimen: positif (80%)