Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Islam
Event: Ramadhan
Institusi: UIN, Dewan Pers
Kasus: PHK, korupsi
Tokoh Terkait
Ketika media cetak di Indonesia terus berguguran
Antaranews.com Jenis Media: Ekonomi
Semakin banyak orang yang mengonsumsi berita dan informasi online sehingga permintaan akan media cetak menurun
Jakarta (ANTARA) - Kala itu, suasana masih pada bulan baik, Ramadhan 1444 H. Namun, mendung kelabu bergelayut grup wartawan KF Jurnalis.PT Media Nusantara Indonesia (MNI) saat itu menghentikan penerbitan Koran Sindo versi cetak maupun e-paper mulai Senin (17/4/2023) hingga batas waktu yang akan ditentukan kemudian.
"Sebuah keputusan tak elok pada bulan baik, Ramadhan 1444 H/2023, apalagi menjelang Idul Fitri. Bisa jadi, inilah foto terakhir mengenakan baju MNC Koran Sindo." Sebuah status Twitter muncul di grup tersebut. Pengirimnya adalah Sabir Laluhu, jurnalis muda yang selama ini mencurahkan hidupnya di media tersebut.
Alumnus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah ini boleh dibilang bukan wartawan kaleng-kaleng. Dia juga dikenal sebagai pengarang buku Sandi Korupsi yang dia rajut saat ditempatkan oleh medianya meliput di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tidak hanya di grup eks aktivis hijau hitam tersebut, pengumuman yang ditandatangani CEO PT MNI, Sururi Alfaruq, tersebut cepat beredar luas di sejumlah grup Whatsapp lainnya pada keesokan harinya.
Namun demikian, manajemen tidak hanya menebar berita negatif, tapi memberi harapan kalau Sindonews masih ada. Para karyawan yang tidak memilih skema PHK digeser ke unit usaha lain di MNC grup.
Unggahan wartawan asal Maluku ini mengundang simpati anggota lainnya, baik dari jurnalis, anggota Dewan Pers, maupun mantan jurnalis. Mereka mendoakan para wartawan media tersebut agar tawakal dan mendapat tempat baru yang lebih baik.
Berbeda dengan pengumuman penutupan media cetak nasional sebelumnya, tidak ada alasan terbuka yang disebutkan manajemen terkait alasan penutupan media milik konglomerat Harry Tanoesudibjo tersebut.
Kisah pilu berhentinya media cetak di Tanah Air juga dirasakan belum terlalu lama. Publik masih ingat, 6 bulan sebelumnya manajemen Republika edisi cetak memutuskan berhenti terbit pada 31 Desember 2022.
Berbeda dengan Koran Sindo, media yang awalnya dirintis ICMI dan kini milik Menteri BUMN Erick Thohir tersebut menyatakan penutupan edisi cetak karena transformasi digital.
Direktur PT Republika Media Mandiri Arys Hilman dalam surat terbuka mengatakan penutupan tersebut karena transformasi ke digitalisasi, sebagai sebuah keniscayaan yang mana mereka akan mencurahkan kekuatan editorial dan sumber daya pada kanal digital dan akun-akun media sosial.
Lima bulan sebelumnya pada Januari 2023, empat media cetak di bawah Grup Kompas Gramedia yakni tabloid Nova, majalah Bobo, majalah Mombi, dan majalah Mombi SD juga menyatakan berhenti terbit.
Jauh sebelumnya, tepatnya pada 1 Februari 2021, publik juga dikejutkan berhentinya penerbitan Suara Pembaruan di bawah Beritasatu Media Holdings. Pada 2018 tabloid Bola yang berusia 34 tahun juga berhenti terbit. Demikian pula harian Bernas yang berusia 72 tahun.
Fakta media cetak terus bertumbangan itu seolah mengisyaratkan bisnis tersebut sedang berada pada musim gugur, yang kita tak tahu kapan akan berganti, kecuali bagi mereka yang pintar dan kuat untuk tetap bertahan.
Daya Hidup
Pada tahun-tahun sebelumnya, media massa nasional telah dirundung nestapa badai pandemi COVID-19 yang terjadi di banyak negara.
Berdasarkan hasil pendataan Serikat Penerbit Surat kabar (SPS) hingga Mei 2020 terhadap 434 media, sebanyak 71 persen pers cetak mengalami penurunan omzet lebih dari 40 persen dibandingkan pada 2019, 50 persen perusahaan cetak telah memotong gaji karyawan dengan besaran dua hingga 30 persen.
Kemudian 43,2 persen perusahaan pers cetak telah mengkaji opsi merumahkan karyawan tanpa digaji dengan kisaran 25 hingga 100 orang setiap perusahaan, sedangkan 38,6 persen perusahaan daerah lebih cenderung mengambil opsi kebijakan ini dibanding dengan perusahaan pers nasional sebanyak 4,45 persen.
Saat itu, Dewan Pers tidak tinggal diam. Mereka telah mengirimkan surat ke Menko Bidang Perekonomian dengan mengajukan insentif kepada pemerintah.
Usulan yang disampaikan, antara lain, penghapusan kewajiban pembayaran PPh 21, 22, 23, 25 selama tahun 2020, penghapusan PPH omzet untuk perusahaan pers tahun 2020.
Juga, penangguhan pembayaran denda-denda bayar pajak terhutang sebelum 2020, pembayaran BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan tahun 2020 ditanggung oleh negara.
Kemudian pemberlakuan subsidi 20 persen dari tagihan listrik bagi perusahaan pers selama masa pandemi berlangsung, pengalokasian anggaran diseminasi program, dan kinerja pemerintah untuk perusahaan pers yang terdaftar di Dewan Pers.
Selain itu, pemberlakuan subsidi sebesar 10 persen per kilogram pembelian bahan baku kertas untuk media cetak.
Menurut Dewan Pers, subsidi tersebut sangat penting karena harga kertas yang mengikuti pergerakan kurs rupiah terhadap dolar pada situasi krisis semakin memberatkan hidup media massa cetak.
Kemudian penghapusan biaya Izin Stasiun Radio (ISR) dan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) untuk media penyiaran radio dan media penyiaran televisi tahun 2020.
Selain itu pemberlakuan ketentuan tentang paket data internet bertarif rendah untuk masyarakat kepada perusahaan penyedia layanan internet.
Belum ada data pasti apakah usulan insentif tersebut sudah dikabulkan pemerintah atau belum.
Pergeseran ke konten online
Ada sejumlah alasan mengapa banyak media cetak berhenti terbit dalam beberapa tahun terakhir.
Salah satu penyebab utamanya adalah maraknya media digital dan pergeseran preferensi konsumen terhadap konten online atau dalam jaringan.
Semakin banyak orang yang mengonsumsi berita dan informasi online sehingga permintaan akan media cetak menurun, yang menyebabkan penurunan sirkulasi dan pendapatan iklan.
Faktor lain yang berkontribusi terhadap penurunan sirkulasi media cetak adalah biaya produksi dan distribusi yang tinggi terkait dengan pencetakan dan pengiriman salinan fisik surat kabar dan majalah.
Biaya ini bisa sulit dipertahankan, terutama untuk publikasi kecil dengan sumber daya terbatas.
Kenaikan kurs dolar AS membuat saat ini harga kertas koran mencapai Rp15.000 per kilogram, meningkat lebih 60 persen dibanding 6 bulan lalu karena bahan baku pembuatan kertas sebagian besar masih impor.
Biaya cetak juga naik karena kenaikan harga tinta dan biaya lain. Saat ini biaya untuk surat kabar 16 halaman dengan empat halaman warna, diperkirakan mencapai Rp3.000 sampai Rp 4.000 dan bisa lebih tinggi lagi.
Lembaga riset marketing, Inventure, saat merilis Media Industry Outlook 2021 menyebutkan pandemi telah menghidupkan kembali TV, khususnya smart TV karena adanya pembatasan sosial.
Mayoritas konsumen saat ini lebih sering menggunakan TV pintar yang dianggap lebih jelas dan optimal dalam menikmati hiburan.
Mereka menggunakan TV tidak hanya untuk menonton tayangan free-to-air namun juga mengakses layanan streaming seperti Netflix, Youtube, dan sebagainya.
Selama pandemi, Youtube dan platform media sosial seperti Instagram merupakan media yang paling menghibur bagi mayoritas publik. Tren ini tampaknya terus berlangsung hingga ketika dunia memasuki fase endemi COVID-19.
Salah satu solusi potensial agar media cetak tetap relevan dan berkelanjutan secara finansial adalah merangkul teknologi digital dan mengintegrasikannya ke dalam model bisnis mereka.
Ini dapat mencakup berinvestasi dalam konten digital berkualitas tinggi, mengoptimalkan situs web mereka untuk mesin telusur, dan memanfaatkan media sosial untuk menjangkau audiens yang lebih luas.
Media cetak dapat mengeksplorasi aliran pendapatan alternatif seperti model langganan, acara, dan kemitraan dengan bisnis lain.
Dengan mendiversifikasi aliran pendapatan mereka dan beradaptasi dengan lanskap media yang terus berubah, media cetak dapat tetap bertahan dan terus menyediakan berita dan informasi berharga bagi pembacanya.
Di tengah transisi ke media online, media cetak sebenarnya masih memberikan harapan, setidaknya berdasarkan Word Press Trends Outlook 2022 - 2023 yang dirilis oleh World Association of News Publishers (WANIFRA).
Dalam surveinya, lembaga ini mencatat bahwa pendapatan cetak tetap fundamental bagi pendapatan sebagian besar penerbit atau publisher.
Survei terbaru lembaga berpusat di Jerman ini menegaskan bahwa berdasarkan temuannya yang menunjukkan bahwa pendapatan media cetak masih menghasilkan lebih dari separuh pendapatan (53,5 persen).
Di beberapa pasar, angka itu bahkan lebih tinggi. Di antara responden lembaga ini di Afrika, pendapatan cetak--baik melalui sirkulasi maupun iklan--menyumbang 75 persen dari total pendapatan penerbit.
Secara garis besar, survei lembaga ini menemukan bahwa penerbit di negara berkembang lebih mengandalkan iklan dan sumber pendapatan lain daripada di negara maju, yang mana pendapatan pembaca cetak dan digital adalah sumber utama pendapatan.
Riset lembaga tersebut juga menemukan fakta bahwa pengembangan produk serta research and development (R&D) menempati bagian 88 persen dari organisasi media dalam prioritas investasi pada wilayah bisnis.
Editor: Achmad Zaenal M
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA 2023
Sentimen: positif (97%)