Top! Menguat 3 Pekan Beruntun, Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$
CNBCindonesia.com Jenis Media: Ekonomi
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (31/3/2023). Dengan demikian rupiah sukses menguat tiga pekan beruntun dan menutup kuartal I-2023 di bawah Rp 15.000/US$.
Berdasarkan data Refinitiv, rupiah menutup perdagangan hari ini dengan penguatan Rp 0,37% ke Rp 14.990/US$. Dalam sepekan tercatat menguat lebih dari 1%. Sementara dalam tiga pekan penguatannya nyaris 3%.
Kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB) yang merembet ke dua bank di AS lainnya, bahkan membuat perbankan Eropa ikut gonjang-ganjing memberikan keuntungan bagi rupiah.
The Fed di bawah pimpinan Jerome Powell sebenarnya diprediksi akan kembali agresif menaikkan suku bunga acuannya pada pekan lalu. Nyatanya, akibat gonjang-ganjing sektor perbankan The Fed hanya menaikkan 25 basis poin menjadi 4,75% - 5%, dan membuka peluang untuk tidak lagi menaikkan suku bunga.
Sejak pengumuman pada Kamis (23/3/2023) dini hari waktu Indonesia itu, rupiah cenderung mengalami penguatan.
Aliran modal pun kembali masuk ke pasar obligasi Indonesia. Sebelum SVB kolaps pada 10 Maret lalu, sebenarnya terjadi capital outflow sepanjang hingga Rp 8 triliun sejak akhir Februari, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR).
Pada Februari, capital outflow juga tercatat sekitar Rp 7,6 triliun. Namun, arah angin berbalik sejak SVB kolaps, hingga 27 Maret terjadi inflow nyaris Rp 9 triliun. Dengan demikian, sepanjang bulan ini hingga Senin lalu, aliran modal berbalik masuk sekitar Rp 780 miliar.
Capital inflow yang cukup besar pasca kolapsnya SVB tersebut menjadi salah satu faktor yang menjaga kinerja rupiah.
Di sisi lain, indeks dolar AS juga sedang dalam tren menurun. Pasca krisis perbankan yang melanda Amerika Serikat, The Fed diprediksi tidak akan lagi menaikkan suku bunganya, bahkan banyak yang memprediksi akan ada pemangkasan tahun ini.
Di sisi lain, bank sentral Eropa (ECB) masih akan menaikkan suku bunganya, sehingga selisih dengan The Fed menjadi menyempit. Hal ini membuat euro perkasa dan menekan dolar AS.
Euro berkontribusi besar terhadap pembentukan indeks dolar AS, sehingga ketika mata uang 19 negara ini menguat indeks dolar AS cenderung menurun.
Malam ini Amerika Serikat akan merilis data inflasi versi personal consumption expenditure (PCE) akan menjadi perhatian utama pelaku pasar dan bisa berdampak ke pasar finansial Indonesia pekan depan. Data ini merupakan acuan The Fed dalam menetapkan kebijakan moneternya.
Hasil polling Reuters menunjukkan inflasi inti PCE tumbuh 4,7% year-on-year (yoy) pada Februari, sama dengan bulan sebelumnya. Tetapi tentunya tidak menutup kemungkinan ada kejutan entah itu lebih rendah atau justru kembali menanjak.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
[-]
-
Video: Masih Terpuruk, Rupiah Bisa Tembus Rp 16.000/USD?
(pap/pap)
Sentimen: negatif (91.4%)