Gonjang-Ganjing Perbankan di Barat, Rupiah Jadi Melemah Tipis
CNBCindonesia.com Jenis Media: Ekonomi
Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah menguat tajam pada pekan lalu hingga menyentuh level terkuat sejak 10 Februari, rupiah akhirnya melemah lagi pada perdagangan Senin (27/3/2023).
Pelemahan melawan dolar Amerika Serikat (AS) hari ini terbilang wajar jika melihat penguatan tajam pada pekan lalu. Melansir data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan di Rp 15.155/US$, melemah tipis 0,03% di pasar spot.
Ada pun penyebab penguatan tajam rupiah pada Jumat pekan lalu yakni pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed). Pada Kamis (23/3/2023) dini hari waktu Indonesia, The Fed di bawah pimpinan Jerome Powell kembali menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 4,75% - 5%.
Dengan demikian dalam satu tahun terakhir The Fed total menaikkan suku bunga sebanyak 9 kali sebesar 475 basis poin. Ke depannya, bank sentral paling powerful di dunia ini melihat rilis data-data ekonomi terbaru akan menentukan akan suku bunga perlu dinaikkan lagi atau tidak.
"Komite pembuat kebijakan akan melihat informasi terbaru dan menilai implikasinya untuk menentukan kebijakan moneter," tulis pernyataan The Fed setelah mengumumkan kenaikan suku bunga.
Powell menyoroti kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB) membuat likuiditas perbankan menjadi lebih ketat, sehingga The Fed yang sebelumnya terlihat akan kembali agresif menaikkan suku bunga mengendurkan langkah tersebut.
Pasar kini melihat The Fed tidak akan menaikkan suku bunga lagi. Bahkan banyak yang memprediksi suku bunga akan dipangkas pada Juli nanti. Hal tersebut tercermin dari perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat ada probabilitas sebesar 54% The Fed akan memangkas suku bunganya 25 basis poin menjadi 4,5% - 4,75%.
Pasar pun menyambut dengan optimisme yang besar, ada harapan Amerika Serikat tidak akan mengalami resesi alias soft landing.
Meski demikian, pelaku pasar juga masih was-was terhadap stabilitas finansial setelah kolapsnya SVB dan dua bank lainnya di Amerika Serikat. Gonjang-ganjing tersebut akhirnya merembet ke Eropa, Credit Suisse nyaris kolaps, saham Deutsche Bank juga ambruk pada pekan lalu.
Dana Moneter Internasional (IMF) risiko stabilitas finansial semakin meningkat dan meminta semua negara terus waspada. Hal ini bisa menjadi sentimen negatif bagi rupiah.
"Kami terus memonitor perkembangan dengan seksama dan menilai kemungkinan implikasinya ke outlook perekonomian global serta stabilitas finansial global," kata Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva, sebagaimana dikutip CNBC International, Minggu (26/3/2023).
Selain itu data inflasi Amerika Serikat versi personal consumption expenditure (PCE) yang menjadi acuan The Fed akan menjadi perhatian utama pelaku pasar pekan ini. Jika inflasi PCE menurun, maka ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed akan semakin menguat dan rupiah berpeluang terus menguat.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
[-]
-
Volatilitas Tinggi, Rupiah Akhir 2022 Rawan ke Rp 16.000/USD?
(pap/pap)
Sentimen: positif (48.5%)