Inflasi AS Mendaki, Ekonom Ketar-ketir Bikin BI Naikkan Suku Bunga
CNNindonesia.com Jenis Media: Ekonomi
Inflasi Amerika Serikat (AS) tercatat sebesar 9,1 persen pada Juni 2022. Inflasi AS mencetak rekor tertinggi sejak 41 tahun terakhir.
Menanggapi itu, Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman khawatir lonjakan inflasi AS membuat bank sentral AS, The Fed, menaikkan suku bunga lebih agresif. Jika demikian, ia ikut khawatir Bank Indonesia (BI) mengambil kebijakan pengetatan moneter serupa.
"Ini memberikan tekanan untuk BI untuk dapat menaikkan suku bunga acuan lebih cepat, demi menghindari imported inflation dari pelemahan mata uang," ujarnya kepada CNNIndonesia.com.
Hal yang sama disampaikan oleh Ekonom CORE Yusuf Rendy. Menurutnya, lonjakan inflasi AS akan diikuti dengan kebijakan moneter yang ketat.Kemungkinan, The Fed akan menaikkan suku bunga lebih tinggi pada bulan ini.
"Jika hal ini dilakukan, akan memberikan dampak ke emerging market termasuk di dalamnya Indonesia, karena umumnya reaksi pasar ketika bank sentral AS menaikkan suku bunga acuan adalah memindahkan dana mereka ke negeri Paman Sam, sehingga akan memberikan dampak terhadap pelemahan nilai tukar di negara tersebut," jelasnya.
Rendy menjelaskan hal ini sudah pernah terjadi bulan lalu. Ketika The Fed menaikkan suku bunga, terjadi capital outflow di dalam negeri yang mengakibatkan rupiah menyentuh level Rp15 ribu per dolar AS.
Oleh karenanya, kondisi serupa bisa terulang kembali. Saat nilai tukar rupiah melemah, maka harga-harga di dalam negeri akan makin naik, lantaran 60 persen bahan industri Indonesia masih mengandalkan impor.
Lalu, saat terjadi kenaikan harga, inflasi akan melonjak tajam. Hal ini juga sudah terlihat pada Juni 2022, dimana inflasi Indonesia tembus 4,35 persen.
"Inflasi dalam negeri yang tinggi membuat peluang BI menaikkan suku bunga acuan lebih cepat akan terjadi," tuturnya.
Jika BI menempuh kebijakan untuk menaikkan suku bunga, maka ini akan mengganggu proses pemulihan ekonomi yang tengah berlangsung.
"Tentunya kenaikan suku bunga yang lebih cepat dapat memberikan hambatan untuk pemulihan ekonomi Indonesia yang sedang dalam fase akselerasi," pungkasnya.
[-]
(ldy/bir)Sentimen: negatif (98.4%)