Sentimen
Positif (50%)
18 Jan 2023 : 11.10
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Gunung

Kasus: covid-19, Narkoba, korupsi

Pat Gulipat Eksportir, Cara Ngumpetin Dolar RI di Luar Negeri

18 Jan 2023 : 11.10 Views 2

CNBCindonesia.com CNBCindonesia.com Jenis Media: Ekonomi

Pat Gulipat Eksportir, Cara Ngumpetin Dolar RI di Luar Negeri

Jakarta, CNBC Indonesia - Anda bayangkan. Orang-orang ini kita izinkan mengeruk sumber daya alam paling berharga ibu pertiwi, menjualnya ke luar negeri tapi tak mau berbagi sedikit saja aroma pesta pora. Mereka tidak diminta membagi keuntungannya, hanya diharapkan menaruh miliaran dolar AS hasil jualan ke bank-bank dalam negeri. Itu saja mereka enggan, tidak mau. Tampaknya tidak ada kata yang lebih tepat untuk mereka selain kata; penghianat bangsa!

Orang-orang ini adalah pemilik bergunung-gunung tambang, jutaan hektar ladang kelapa sawit dan banyak lagi penjual komoditas sumber daya alam Indonesia. Mereka sedang berpesta pora, harga jualnya naik tak kira kira. Misal, batubara itu naik berlipat, dari kisaran US$ 50 per ton pada medio 2020, jadi kisaran US$400 per ton tahun lalu. Ilustrasi keuntungannya begini, dua tahun lalu mereka harus menjual 1.400 ton untuk membeli satu mobil Alphard, nah sekarang cuma butuh jual 180 ton, atau 12% saja untuk bisa membelinya.

Dan anda tahu berapa mereka sudah menjual? Hanya enam bulan pertama 2022 saja sudah ludes 270 juta ton batubara, dari target tahunan 660 juta ton. Mereka benar-benar dapat durian runtuh! Ini baru satu komoditas yang sedang moncer. Masih ada lagi, seperti minyak kelapa sawit yang melompat hampir 3 kali lipat harganya dalam waktu kurang tiga tahun.

-

-

Pesta pora eksportir tervalidasi oleh data surplus dagang Indonesia yang terus mencetak rekor. Pada Desember lalu, berlebih hampir US$4 miliar, atau rekor ke 32 bulan berturut turut. Rentang waktu surplus sepanjang lebih dari 2,5 tahun ini mengkonfirmasi lama waktu eksportir menikmati keuntungan tak berseri. Sejak awal pandemi Covid, dimana banyak anak bangsa meregang nyawa. Total surplus dagang (ekspor dikurang impor) tahun lalu mencapai US$54 miliar.

Tapi kemana uangnya? Uangnya tidak mereka taruh disini, tapi di luar negeri. Diduga, paling banyak diumpetin di negara kecil sebelah, Singapura. Di sana eksportir menggandakan lagi uangnya, dengan iming-iming suku bunga simpanan yang rata-rata empat kali lipat lebih tinggi dari bank bank di Indonesia. Dugaan menyembunyikan dolar AS, atau dana hasil ekspor ini tak bisa dibantah, ditunjukkan oleh jumlah nilai cadangan devisa yang dicatat Bank Indonesia. Trennya malah berkebalikan.

Apa yang dilakukan eksportir ini tidak melanggar hukum, setidaknya pada aturan yang ada sekarang. Uang memang tak beragama, tak punya nasionalisme. Tuhan uang adalah suku bunga, demikian pula tujuan pengusaha adalah keuntungan sebesar-besarnya. Tidak ada yang dilanggar kecuali etika bernegara. Marilah menengok sebentar ikatan hukum, aturan main bersatu sebagai komunitas dalam satu atap; Indonesia. Yakni, UUD 1945, pasal 33 ayat (3) bahwa, "bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Lalu, balik lagi pada ayat 2 bahwa "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan."

Bukan mengemis 'jatah preman'. Tak perlu iri juga dengan kebahagiaan para eksportir komoditas. Atau, meminta bagian, misalnya dengan menerapkan pungutan bea keluar ekspor, katakanlah 40% dari hasil jualan-yang sebetulnya wajar bila menilik pasal-pasal konstitusi-karena semua yang mereka jual pada prinsipnya adalah milik kita semua. Yang diminta kepada mereka adalah paling tidak mengembalikan DHE ke dalam sistem keuangan dalam negeri. Itu dulu.

Ini penting karena keberadaan uang dolar milik eksportir sedang diperlukan untuk melindungi perekonomian Indonesia menghadapi krisis hebat global di depan mata. Bila DHE balik lagi, kurs rupiah akan lebih kuat dan stabil, sebab dampak pelemahan rupiah cukup serius, dan berdampak langsung pada kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Hitungan Dana Moneter Internasional, setiap 10% pelemahan mata uang sebuah negara terhadap dolar AS, akan menambah 1% inflasi di dalam negeri. Ini menyengsarakan orang banyak.

Lalu, berapa banyak ongkos yang harus dikeluarkan oleh Bank Indonesia untuk menjaga rupiah akibat ulah eksportir itu? Data lawas bisa menggambarkan. Pada 2010, misalnya data IFR Markets hanya untuk rentang 27 September-5 Oktober 2010, atau sepekan saja, BI menggelontorkan US$ 2,95 miliar atau sekitar Rp 26 triliun untuk intervensi.

Berapa jumlah persis BI menghabiskan duit untuk menjaga rupiah hanya BI dan Tuhan yang tahu. Intervensi pada dasarnya 'haram' dilakukan bank sentral karena Indonesia menganut sistem devisa bebas. Tapi, dalam berbagai kesempatan Gubernur BI Perry Warjiyo membenarkan adanya intervensi. Yang jelas, berapapun yang bank sentral keluarkan pada prinsipnya, tagihan akan dibayar oleh rakyat.

Besarnya Dolar Hasil Pesta dan Bagaimana Ngumpetinnya

Ada data yang sulit dibantah untuk menggambarkan ulah para penikmat bonanza komoditas sumber daya alam menyembunyikan angka sebenarnya hasil jualannya. Yakni, adanya selisih data pencatatan nilai ekspor Indonesia dengan negara tujuan. Intinya, eksportir sengaja melaporkan nilai penjualan yang lebih rendah dari seharusnya kepada pemerintah, dan ini ketahuan karena negeri pembeli melaporkan nilainya jauh besar. Istilah rumitnya, praktik under invoicing.

Dari data yang ada, diskrepansi atau perbedaan nilai ekspor Indonesia dan nilai impor negeri mitra cukup besar. Dengan China misalnya, rata-rata dalam 12 tahun terakhir ada selisih kurang sekitar US$7 miliar per tahun, dan pernah mencapai lebih dari US$ 10 miliar pada 2012. Demikian juga dengan Singapura, rata rata minus per tahun hingga US$2,6 miliar dan AS sebesar kurang hampir US$4 miliar. Data ini menunjukkan, modus menyembunyikan jumlah jualan eksportir sudah terjadi berpuluh-puluh tahun.

Data diskrepansi ini bukanlah nilai DHE yang dihasilkan eksportir dari jualan harta karun SDA Indonesia. Ini adalah jumlah yang sengaja disembunyikan untuk berbagai keperluan, misalnya menghindari pajak dengan modus transfer pricing. Yakni, menjual sendiri barang ekspor ke perusahaan milik sendiri di luar negeri, agar bisa membayar pajak lebih rendah, karena nilai penjualan sengaja diumpetin dari angka sebenarnya.

Tindakan mereka ini termasuk aktivitas underground economy, pada klasifikasi usaha legal tapi tak dicatat. Bersama black economy-seperti narkoba, korupsi, perdagangan manusia-secara umum nilainya mencapai 30% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Nilai sebenarnya dari DHE eksportir itu adalah jumlah yang tercatat secara resmi seperti dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) ditambah dengan nilai diskrepansi tersebut.

Data lain yang bisa menggambarkan betapa besarnya orang-orang kaya Indonesia-yang tentu saja banyak berasal dari jualan tambang dan ladang CPO, dan komoditas lainnya-adalah angka-angka fantastis rekaman program pengampunan pajak 2016 dan 2022. Angka resmi pemerintah menyebut harta orang Indonesia yang disimpan di luar negeri mencapai Rp4.800 triliun dan nyaris Rp600 triliun pada 2022. Dari angka itu, hanya 3% yang bersedia pulang kandang, atau terepatriasi. Besar sekali yang masih di luar sana.

Nasionalisme Keuangan

Proteksionisme telah lumrah terjadi pada perdagangan dunia. AS saja berperang dengan China untuk melindungi kepentingan nasional dengan mencegah defisit perdagangan. Saatnya kini, proteksionisme sebagai bentuk perlindungan pada kepentingan rakyat perlu diterapkan pada sektor keuangan. Intervensi pemerintah dan Bank Indonesia diperlukan untuk menjaga uang hasil penjualan komoditas bumi, air, dan kekayaan alam lainnya, sebagaimana mandat konstitusi dijaga, dikembalikan lagi untuk kemakmuran negeri. Dialirkan kembali, untuk memperkuat likuiditas sistem keuangan sebagai darah perekonomian.

Langkah konkritnya bisa dilakukan dengan mengontrol penempatan DHE. Pemerintah seharusnya tidak goyah dengan lobi-lobi eksportir, untuk segera menerapkan kewajiban menyimpan DHE dalam bank dalam negeri. Bank Indonesia juga tidak perlu takut dengan frasa capital control, yang pernah menjadi mimpi buruk Indonesia pada krisis moneter 1997/1998. Isu, ketakutan itu sudah usang, karena semua negara juga sudah menerapkan hal yang sama. Publik dan politisi seharusnya menjadikan isu ini sebagai tekanan dan dukungan kuat bagi Presiden Joko Widodo yang hendak menginisiasi kebijakan ini.

Bahkan, negara-negara lain sudah jauh lebih protektif. Mereka tidak hanya mewajibkan para eksportir menempatkan duit hasil jualan yang berupa dolar AS ke bank-bank dalam negerinya, tetapi juga mewajibkan menukarkannya dalam mata uang lokal. Malaysia dan Thailand misalnya mewajibkan konversi 75% DHE ke ringgit dan bath, sementara Turki 80% wajib dikonversi ke lira. Rata-rata negara itu, dan banyak negara lain juga menerapkan berapa lama harus berada di bank dalam negeri, bisa 3-12 bulan.

Langkah lebih lanjut adalah merevisi UU 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Produk legislasi ini sudah gagal mengantisipasi perkembangan ekonomi yang berubah sedemikian rupa sejak krisis dulu. UU Devisa Bebas adalah cermin ketakutan pemerintah waktu itu, atas tekanan Dana Moneter Internasional untuk meredakan panik jual dolar AS. Kondisinya, sudah beda jauh. Seharusnya Indonesia berubah.


[-]

-

Ratusan Eksportir Keruk Bumi RI, Duitnya Dibawa ke LN
(mum/mum)

Sentimen: positif (50%)