Sentimen
Informasi Tambahan
BUMN: Garuda Indonesia
Kasus: PHK
Partai Terkait
Tokoh Terkait
Luar Biasa! Rupiah Menguat 1%, Dekati Rp 15.500/US$
CNBCindonesia.com Jenis Media: Ekonomi
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (1/12/2022), hingga mendekati Rp 15.500/US$. Bank sentral AS (The Fed) yang akan mengendurkan laju kenaikan suku bunganya serta inflasi di dalam negeri yang kembali turun mampu mendongkrak kinerja rupiah.
Sepanjang perdagangan, Mata Uang Garuda tidak pernah mengalami pelemahan, bahkan sempat menguat hingga 1,24% ke Rp 15.535/US$. Di penutupan perdagangan posisi rupiah sedikit terpangkas, berada di Rp 15.560/US$, menguat 1,08% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Ketua bank The Fed Jerome Powell yang menyatakan kenaikan suku bunga bisa dikendurkan bulan ini membuat indeks dolar AS jeblok dan rupiah melesat.
Melansir data Refinitiv, begitu perdagangan dibuka rupiah langsung melesat 0,83% ke Rp 15.600/US$. Penguatan bahkan sempat bertambah hingga ke Rp 15.595/US$. Level tersebut menjadi yang terkuat sejak 16 November lalu.
"Masuk akal untuk memoderasi laju kenaikan suku bunga kami saat kami mendekati tingkat pengekangan yang cukup untuk menurunkan inflasi. Waktu untuk memoderasi laju kenaikan suku bunga mungkin akan datang segera setelah pertemuan Desember" katanya saat memberikan pidato di acara Brookings Institution sebagaimana dikutip CNBC International.
Pelaku pasar kini semakin yakin The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin pada 14 Desember (waktu AS) mendatang.
Sementara itu dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi pada November 2022 mencapai 5,42% secara year on year (yoy).Inflasi lebih rendah dibandingkan pada Oktober yang tercatat 5,71%.
"Tekanan inflasi melemah pada November2022," kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa (Disjas) BPS, Setianto dalam konferensi pers,Kamis (1/12/2022)
Sementara itu inflasi inti tumbuh 3,3% (yoy), turun tipis dari bulan sebelumnya 3,31%.
Penurunan inflasi tersebut tentunya menjadi sentimen positif, sebab daya beli masyarakat bisa lebih kuat, yang akhirnya menopang pertumbuhan ekonomi.
Meski demikian, ada kabar kurang sedap yang bikin was-was.
S&P Global pagi ini melaporkan aktivitas sektor manufaktur yang dilihat dari purchasing managers' index (PMI) mengalami pelambatan ekspansi yang cukup tajam. Pada November, PMI manufaktur dilaporkan sebesar 50,3, turun dari bulan sebelumnya 51.8.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atas 50 adalah ekspansi. Ketika kontraksi terjadi, maka pemutusan hubungan kerja (PHK) massal berisiko semakin meluas.
S&P Global melaporkan penyebab penurunan tersebut terjadi akibat rendahnya demand, yang menjadi indikasi pelambatan ekonomi global, bahkan menuju resesi di tahun depan.
Akibat rendahnya demand, output juga rendah, dan tingkat perekrutan karyawan mulai melambat. Satu lagi indikasi PHK massal berisiko meluas.
"Keyakinan bisnis secara keseluruhan menurun pada November, menunjukkan sektor manufaktur berisiko mengalami kontraksi kecuali ada peningkatan demand yang signifikan," kata Jingyi Pan, economic associate director di S&P Global Market Intelligence.
Berharap adanya peningkatan demand dalam waktu dekat sepertinya cukup sulit, mengingat perekonomian global terancam mengalami resesi. Kecuali dari dalam negeri mampu meningkatkan demand, sektor manufaktur sepertinya akan kembali mengalami kontraksi yang terakhir kali terjadi pada Agustus 2021.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[-]
-
Dolar Makin Perkasa, Rupiah Terkapar ke Atas Rp 15.000/USD(pap/pap)
Sentimen: negatif (99.4%)