Sentimen
Positif (98%)
15 Nov 2022 : 17.49
Informasi Tambahan

Institusi: Center for Indonesian Policy Studies (CIPS)

CIPS: Food Estate tak Jamin Ketahanan Pangan dan Perburuk Krisis Iklim

15 Nov 2022 : 17.49 Views 3

Republika.co.id Republika.co.id Jenis Media: Ekonomi

CIPS: Food Estate tak Jamin Ketahanan Pangan dan Perburuk Krisis Iklim

CIPS menilai food estate gagal mencapai tujuan ketahanan dan berdampak ke masyarakat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia dalam KTT Iklim COP27 di Mesir kembali menegaskan komitmennya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan. Namun disaat bersamaan, pemerintah masih meneruskan proyek Food Estate, proyek strategis nasional untuk mengatasi krisis pangan yang dinilai hanya akan memperburuk krisis iklim.

Disela-sela COP 27, Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan, Indonesia dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) telah meningkatkan target penurunan emisinya menjadi 31,89 persen dengan kemampuan sendiri dan 43,20 persen dengan dukungan internasional.

Head of Agriculture Research dari Center for Indonesian policy Studies (CIPS), Aditya Alta, mengatakan, komitmen ENDC Indonesia memuat strategi mitigasi di sektor Forestry and Other Land Uses (FOLU) antara lain melalui restorasi hingga dua juta hektar lahan gambut tahun 2030, reforestasi dan rehabilitasi hutan.

"Namun proyek Food Estate malah mengambil 900.000 hektar di kawasan eks-pengembangan lahan gambut di Kalimantan Tengah,” katanya dalam keterangan tertulis, Selasa (15/11/2022).

Ia menjelaskan, alih guna lahan, terutama lahan gambut, merupakan salah satu penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca Indonesia.

Pengalaman juga telah menunjukkan bahwa Food Estate, yang bahkan rencananya akan dibuka di daerah lain, berkali-kali gagal mencapai tujuan ketahanan pangan yang diinginkan dan malah berdampak negatif bagi masyarakat sekitarnya.

Program yang penuh kontroversi tersebut digarap oleh Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pertanian, dan kini tersebar di Sumatra, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur dan Papua.

Lumbung pangan dibuat dengan ambisi meningkatkan produksi domestik. Namun terbatas beberapa komoditas tertentu saja, yaitu beras, singkong untuk tepung mocaf, kentang bahan baku industri serta bawang merah dan bawang putih.

"Padahal, kalau meninjau permasalahan ketahanan pangan yang dijadikan justifikasi lumbung pangan, keterjangkauan dan keragamanlah yang selama ini menjadi permasalahan, bukan ketersediaan," kata Aditya.

Global Food Security Index dari the Economist Intelligence Unit mencatat, Indonesia berada di peringkat 37 dari 113 negara dalam kategori ketersediaan. Namun Indonesia juga menempati peringkat 54 dalam kategori keterjangkauan dan peringkat 95 dalam kategori kualitas dan keamanan yang termasuk di dalamnya keragaman pangan.

Indonesia juga disebut sudah mencapai swasembada dalam pengadaan beras dengan memenuhi sebagian besar kebutuhannya dari produksi dalam negeri.

Aditya mengingatkan, program swasembada pangan yang mengandalkan perluasan lahan, terutama alih fungsi lahan hutan dan gambut, tidak efektif menjamin peningkatan produksi serta produktivitas pangan dan juga dapat merusak lingkungan serta memperparah krisis iklim.

CIPS merekomendasikan peningkatan produktivitas komoditas pangan tanpa melalui ekstensifikasi lahan tetapi dengan investasi, mekanisasi dan adopsi teknologi pertanian, teknik budidaya yang baik, perluasan jaringan irigasi, serta mitigasi perubahan iklim dengan modifikasi cuaca.

"Pemerintah juga harus memberikan dukungannya bagi riset dan inovasi, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia sektor pertanian agar lebih produktif, termasuk melalui kerja sama pihak swasta," ujarnya. 

Sentimen: positif (98.5%)