Sentimen
Positif (80%)
11 Nov 2022 : 19.13
Informasi Tambahan

Agama: Islam

Event: Ibadah Haji, Ramadhan, Zakat Fitrah

Hewan: Babi

Penjelasan Lima Macam Hukum dalam Agama Islam

11 Nov 2022 : 19.13 Views 3

Kumparan.com Kumparan.com Jenis Media: News

Penjelasan Lima Macam Hukum dalam Agama Islam

Ilustrasi hukum dalam agama Islam. Foto: Unsplash/Masjid MABA
Sebutkan dan jelaskan lima macam hukum Islam. Sebagaimana yang diketahui, setiap seorang umat Islam diharuskan untuk mentaati setiap perintah dan menjauhi larangan Allah SWT. Perintah dan larangan Allah SWT tersebut disebut juga dengan hukum yang terdiri dari lima perkara, di mana di dalamnya ada yang menjelaskan tentang sebuah perkara yang harus dilakukan hingga perkara yang harus jauhi. Apa sajakah itu?

Penjelasan Lima Macam Hukum dalam Agama Islam

Jika berbicara tentang hukum, maka sepintas pikiran kita akan tertuju dengan aturan-aturan atau norma-norma yang mengatur segala perilaku manusia. Dalam agama Islam sendiri, hukum telah ditetapkan Allah SWT. Berbeda dengan hukum pada umumnya, hukum yang diciptakan Allah SWT tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya. Akan tetapi juga hubungan dengan lainnya, karena manusia yang hidup dengan masyarakat mempunyai berbagai hubungan.

Dalam agama Islam, hukum dibagi menjadi lima perkara. Seperti yang dikutip dari buku Hukum Islam dalam Formulasi Hukum Indonesia oleh Hikmatullah dan Mohammad Hifni (2021), yakni:

Hukum wajib adalah tuntunan secara pasti dan syar’i untuk dilaksanakan dan tidak boleh ditinggalkan, karena orang yang meninggalkannya dikenakan hukuman. Hukum yang wajib memiliki beberapa pembagian.

  • Pembagian ditinjau dari segi waktu pelaksanaan

Wajib mutlaq merupakan kewajiban yang tidak ditentukan waktu pelaksanaannya, dalam arti tidak salah apabila waktu pelaksanaannya ditangguhkan sampai ia sanggup melakukannya.

Wajib muaqqad adalah kewajiban yang pelaksanaannya ditentukan dalam waktu tertentu dan tidak sah dilakukan dilakukan di luar waktu yang sudah ditentukan.

Wajib Muaqqad sendiri dibagi menjadi tiga macam, sebagai berikut:

Wajib Muwassa', yaitu kewajiban yang waktu untuk melaksanakannya melebihi waktu pelaksanaan kewajiban itu sendiri. Seperti shalat dzuhur

Wajib Mudhayyaq, yaitu kewajiban yang menyamai waktunya dengan kewajiban itu sendiri. Seperti puasa Ramadhan.

Wajib dzu Syabhaini, yaitu kewajiban yang pelaksanaannya dalam waktu tertentu dan waktunya mengandung dua sifat tersebut di atas. Seperti ibadah haji.

  • Ditinjau dari segi bentuk perbuatan yang dituntut

Wajib Mu'ayyan, yaitu sesuatu yang dituntut oleh Syari' suatu perbuatan yang sudah ditentukan, tanpa diberikan pilihan untuk melakukan yang lainnya. Seperti shalat, puasa, dan zakat.

Wajib Mukhayyar, sesuatu yang dituntut oleh Syari' untuk dilaksanakan dengan memilih salah satu di antara hal yang ditentukan. Perintah tersebut telah terlaksana bila ia telah melakukan satu pilihan dari beberapa kemungkinan yang telah ditentukan. Seperti kafarah sumpah.

  • Ditinjau dari segi pelaksanaan

Wajib 'Aini yaitu tuntutan dari Syar'i untuk melaksanakannya pada setiap pribadi mukallaf.

Wajib Kifa'i/Kifayah, yaitu tuntutan dari Syar'i untuk melaksanakannya kepada sejumlah mukallaf dan tidak dari setiap pribadi mukallaf. Seperti melaksanakan 'amal ma'ruf nahi munkar.

  • Ditinjau dari segi kadar yang dituntut

Wajib Muhaddad, yaitu sesuatu yang dinyatakan oleh Syari' kewajiban dengan kadar yang telah ditentukan. Misalnya zakat fitrah.

Wajib Ghairu Muhaddad, yaitu kewajiban yang pelaksanaannya tidak ditentukan ukurannya oleh pembuat hukum (Syari'). Misalnya nafkah untuk kerabat.

Ilustrasi lima hukum dalam agama Islam. Foto: Unsplash/Md Mahdi

Mandub (sunnah) secara bahasa berarti sesuatu yang dianjurkan atau disenangi. Sedangkan secara istilah adalah sesuatu yang dituntut Syar’i untuk dikerjakan melalui tuntutan yang tidak tegas. Hal ini berarti bahwa apabila seseorang mengerjakan maka ia akan mendapatkan pahala sedangkan yang meninggalkannya tidak mendapatkan sanksi.

Pembagian hukum mandub atau sunnah dibagi menjadi 3 bagian, yakni:

  • Suatu perbuatan yang apabila dilakukan maka menjadi penyempurna perkara yang wajib, perkara tersebut selalu dilakukan oleh Rasulullah SAW dan hampir tidak pernah ditinggalkan. Seperti jama'ah, berkumur ketika berwudhu, membaca ayat Al-Quran setelah fatihah dalam shalat. Hal ini disebut sunnah muakkadah. Orang yang dicela tapi tidak berdosa.
  • Perbuatan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT namun Rasulullah SAW tidak melazimkan dirinya untuk melakukan yang demikian. Hal ini disebut dengan sunnah ghairu muakkadah. Seperti memberikan sedekah kepada orang miskin.

  • Perbuatan yang biasa dilakukan Rasulullah SAW dilihat dari sisi kemanusiaan, seperti makan, minum. Hal ini dikatakan sebagai anjuran, etika dan keutamaan ketika mukallaf melakukan.

Menurut sebagian besar ulama ahli ushul, pengertian makruh adalah perkara yang dituntut oleh Syar’i terhadap mukallaf untuk menginggalkannya namun dengan cara tidak pasti.

Sebagian besar ulama tidak dikenal istilah makruh, kecuali menunjukkan tuntunan untuk meninggalkan secara tidak pasti. Sedangkan menurut ulama madzab Hanafi membagi makruh menjadi dua bagian:

  • Makruh Tahrim, yakin tuntutan meninggalkan suatu perbuatan secara pasti tetapi dalil yang menunjukkannya bersifat dzanni. Makruh tahrim ini kebalikan dari fardhu dikalangan jumhur ulama. Seperti larangan memakai sutera bagi laki-laki.

  • Makruh Tanzih, yaitu sesuatu yang dituntut Syari' untuk ditinggalkan dengan tuntutan tidak pasti. Makruh tanzih ini pada istilah hanafiyah sama dengan makruh dikalangan jumhur ulama.

Mubah secara bahasa berarti diizinkan atau dibolehkan. Ulama ushul mengemukakan definisi mubah secara istilah yaitu sesuatu yang diserahkan Syar’i kepada mukallaf untuk melaksanakan atau tidak. Mubah ialah suatu hukum, di mana Allah SWT memberikan kebebasan kepada orang mukallaf untuk memilih antara mengerjakan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Seperti makan, minum, bergurau dan sebagainya.

Para ulama ushul membagi mubah menjadi tiga bentuk dari segi keterkaitannya dengan mudharat dan manfaat, yakni:

  • Mubah yang apabila dilakukan atau tidak dilakukan, tidak mengandung mudharat, seperti makan, minum, berpakaian dan berburu.

  • Mubah yang apabila dilakukan tidak ada mudharatnya, sedangkan perbuatan itu sendiri pada dasarnya diharamkan. Seperti: makan daging babi dalam keadaan darurat.

  • Sesuatu yang pada dasarnya bersifat mudharat dan tidak boleh menurut syara' tetapi Allah memaafkan pelakunya, sehingga perbuatan itu menjadi mubah.

Definisi haram yaitu tuntutan untuk ditinggalkan dari syari' secara pasti dan mengikat dan apabila dilakukan menjadikan pelakunya dicela/berdosa.

  • Haram zati, sesuatu yang disengaja oleh Allah mengharamkannya karena terdapat unsur merusak maqashid syari’ah.

  • Haram 'ardhi adalah larangannya bukan karena zatnya. Seperti melihat aurat perempuan yang akan dapat membawa kepada zina, bercanda dengan ayat-ayat Al-Quran yang dapat membawa kepada murtad.

Meskipun jika dilihat secara sekilas seperti sulit untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi hukum-hukum di atas wajib kita ketahui. Tujuannya kita dapat memilah mana yang bisa dilaksanakan dan mana yang harus di jauhi.(MZM)

Sentimen: positif (80%)