Sengketa tanah di Maluku diselesaikan dengan pendekatan adat
Elshinta.com Jenis Media: Nasional
Anggota Komisi VII DPR RI Mercy Chriesty Barends, Deputi Bidang Informasi Geospasial Tematik BIG Antonius Bambang Wijanarto memperlihatkan peta NKRI, saat sosialisasi Pemetaan Batas Desa/Kelurahan di Ambon, Jumat (4/11). (ANTARA/Jimmy Ayal)
Elshinta.com - Anggota Komisi VII DPR Mercy Chriesty Barends menegaskan masalah sengketa tanah dan lahan di di Provinsi Maluku harus diselesaikan dengan menggunakan pendekatan adat dan budaya yang masih kuat dipegang oleh masyarakat di wilayah ini.
"Sebagian besar wilayah di Maluku merupakan negeri-negeri adat dan warganya masih kuat memegang adat, budaya dan tradisi yang diwariskan oleh leluhur. Jadi sengketa tanah atau lahan bisa diselesaikan menggunakan adat dan budaya masyarakat setempat," kata Mercy Barends pada sosialisasi Pemetaan Batas Desa/Kelurahan Provinsi Maluku yang digelar Badan Informasi Geospasial (BIG) di Ambon, Jumat.
Menurut Mercy, konflik batas wilayah kabupaten atau batas tanah maupun sumber daya alam yang terjadi di Maluku dalam beberapa tahun terakhir, banyak melibatkan masyarakat adat di beberapa wilayah, di mana penyelesaiannya tidak hanya bisa dilakukan dengan pendekatan hukum serta aturan perundang-undangan yang berlaku di negara.
"Pranata hukum adat di Maluku masih dijunjung tinggi dan dihargai oleh masyarakat adat. Hukum adat bisa menjadi panglima untuk menyelesaikan sengketa tanah, lahan dan sumber daya alam," katanya.
Dalam penyelesaian masalah batas wilayah dalam hukum adat, menurutnya, biasanya tokoh adat masing-masing negeri akan bertemu untuk berembuk tentang sengketa yang terjadi, dan masing-masing raja akan membawa bukti dokumen kepemilikan yang telah disepakati di desa masing-masing untuk dibicarakan dan diputuskan secara bersama-sama.
Jika sengketa tanah dan batas wilayah antar masyarakat adat sudah bisa diselesaikan, maka batas-batas wilayah yang disepakati secara adat itu bisa digunakan oleh negara termasuk BIG untuk menentukan titik koordinat batas tanah masing-masing desa atau negeri tersebut.
Untuk memperkuat posisi tawar masyarakat adat terhadap tanah atau wilayah dan sumber daya alam mereka terhadap berbagai pihak yang ingin memanfaatkannya, maka perlu ditindaklanjuti dengan peraturan daerah (perda) berkaitan dengan pengakuan hak ulayat masyarakat adat.
"Jadi desa tidak dieksploitasi secara semena-mena, laut dikuras dan hutan dibabat habis oleh korporat dan investor, kalau tata ruangnya negeri adat diatur dengan baik untuk pemanfaatan secara berkelanjutan," katanya.
Anggota DPR dari Dapil Maluku itu menambahkan, masalah tanah dan batas wilayah akan beririsan dengan banyak faktor, jika tanah dan satu wilayah mulai bernilai ekonomis
irisan dengan banyak faktor. saat tanah belum ada nilai ekonomi, maka orang tidak ribut. tetapi saat ada nilainya, dan terjadi pemekaran , pembangunan objek vital nasional masuk dsb, maka tanah memiliki nilai ekonomis sekarang ini.
Sedangkan Deputi Bidang Informasi Geospasial Tematik BIG Antonius Bambang Wijanarto memaparkan pihaknya memiliki program percepatan pemetaan batas desa dan kelurahan.
"Kami menyiapkan kebijakan umum terkait teknis dan melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap teknis penetapan dan penegasan batas desa."
Dia menyatakan, peta Indonesia saat ini sudah bisa diakses semua orang melalui telepon genggam, tetapi orang tidak mengetahui sumber peta dan arti peta itu sendiri, sehingga berbagai sosialisasi tentang informasi geospasial perlu dilakukan terus menerus.
Menurutnya, keberadaan peta suatu daerah sangat memegang peranan penting, terutama untuk kepentingan investasi, pengembangan wilayah. "Banyak masalah yang muncul saat ini ujung pangkalnya karena peta. Investasi tidak jalan karena investor tidak yakin apakah satu daerah aman untuk investasi, konflik batas wilayah dan kepemilikan lahan, semuanya bermuara karena peta," tegasnya.
Karena itu, saat ini BIG sementara mempercepat pemetaan dasar skala besar dengan penyusunan strategi mulai dari teknologi pengambilan, pengolahan, hingga manajemen data.
Adanya Undang-Undang Cipta Kerja dan turunannya, memberi kesempatan BIG menggunakan format kerja sama, sehingga percepatan bisa dilakukan.
Selain itu, dengan pemahaman geospasial yang lebih merata, pembangunan di daerah akan mendapatkan dukungan data yang baik, sehingga akan naik dengan signifikan.
Antonius mengatakan dukungan dan partisipasi seluruh pihak diperlukan untuk memberikan terobosan yang inovatif agar pemanfaatan Informasi Geospasial bisa diakselerasi menjadi bahan untuk mengambil keputusan yang berperan dan berpengaruh bagi masyarakat.
"Informasi Geospasial Dasar berguna untuk mendukung investasi dan membangun ekosistem ekonomi kreatif. Itu sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo terkait ekonomi kreatif yang bakal menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia dan dunia," katanya.
Untuk itu, BIG terus berkolaborasi dengan kementerian/lembaga/daerah untuk merampungkan Percepatan Kebijakan Satu Peta (PKSP) pada 2023. Saat ini, Kebijakan Satu Peta telah mencapai 97 persen.
Dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 23 Tahun 2021 tentang PKSP, target 85 peta tematik ditingkatkan menjadi 158 peta tematik yang melibatkan 24 kementerian/lembaga. Tema baru yang ditambahkan, antara lain bidang perekonomian, keuangan, kebencanaan, dan kemaritiman.
Sentimen: positif (100%)