Ditekan Kanan Kiri, Emiten Rokok Masih Bisa Bertahan?
CNBCindonesia.com Jenis Media: Ekonomi
Jakarta, CNBC Indonesia - Isu kesehatan hingga beban belanja negara untuk menutupi klaim asuransi kesehatan universal menjadi katalis bagi sejumlah aturan baru terkait cukai rokok. Kebijakan tersebut pada akhirnya akan membebani emiten rokok baik itu secara kinerja saham ataupun keuangan perusahaan.
Kamis (3/11) kemarin, pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani memutuskan untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok sebesar 10 persen pada tahun 2023 dan 2024.
Secara rinci untuk golongan Sigaret Kretek Mesin (SKM) meningkat rata-rata 11,5 - 11,75%, Sigaret Putih Mesin (SPM) sebesar 12%, dan terakhir peningkatan bagi Sigaret Kretek Pangan (SKP) sebesar 5%.
Menanggapi pernyataan tersebut, pasar langsung merespons cepat dengan emiten rokok tumbang berjamaah. HM Sampoerna (HMSP) memimpin pelemahan dan tercatat ambles 4,62% pada perdagangan sesi pertama yang terpantau relatif ramai. Total transaksi saham HMSP pagi ini mencapai Rp 43,90 miliar. Sementara itu kompetitor utama HMSP dalam duopoli industri rokok, Gudang Garam (GGRM) melemah 3,22%.
Tertekan Kanan Kiri
Emiten rokok yang sempat menjadi primadona di pasar saham, kini kondisinya kian memprihatinkan. Outlook negatif dan kebijakan yang dinilai kurang ramah bagi pebisnis rokok membuat para investor ramai-ramai kabur dari segmen ini.
Selain itu, industri rokok juga dirugikan dari perubahan perilaku konsumen yang kian hari kian sadar akan dampak negatif kesehatan. Beragam kampanye untuk menekan konsumsi rokok dilakukan oleh banyak pihak, termasuk pemerintah.
Selain lewat jalur estetik dan psikologis dengan mewajibkan penggunaan gambar mengerikan pada bungkus rokok, pemerintah juga menekan industri rokok lewat aturan bea cukai.
Hal ini karena pemerintah menjadi penanggung beban utama atas dampak kesehatan yang muncul dari konsumsi rokok. Indonesia dengan sistem asuransi kesehatan universal mebuat pemerintah merasa kelimpungan dalam membiayai pasien.
Tahun lalu, menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan negara bahkan harus merogoh kocek hingga Rp 15 triliun per tahun untuk para perokok.
Menurutnya, secara total biaya kesehatan akibat merokok per tahunnya mencapai Rp 17,9 triliun hingga Rp 27,7 triliun. Sebagian dari biaya tersebut yakni Rp 15 triliun dari kantong pemerintah melalui BPJS Kesehatan.
Menurutnya, biaya ini cukup besar yakni mencapai 20%-30% dari biaya subsidi PBI JKN yang dikeluarkan pemerintah yakni sebesar Rp 48,8 triliun.
Selain itu, biaya ekonomi dari kehilangan tahun produktif karena penyakit disabilitas dan kematian dini akibat merokok juga sangat besar. Estimasinya mencapai Rp 374 triliun di tahun 2015.
Oleh karenanya, ia ingin melindungi dan menjauhkan barang berbahaya ini dari masyarakat. Caranya dengan kebijakan kenaikan tarif cukai yang dilakukan setiap tahun.
Sentimen: negatif (99.5%)