Peneliti Google Terima Nobel, Ilmuwan Ramai-ramai Protes
CNBCindonesia.com Jenis Media: Tekno
Jakarta, CNBC Indonesia - Ilmuwan komputer asal Inggris Profesor Demis Hassabis, mendapatkan Nobel Kimia untuk karya revolusioner tentang protein, bahan pembangun kehidupan.
Pria 48 tahun itu juga seorang pendiri sekaligus CEO dari perusahaan kecerdasan buatan (AI) yang kemudian menjadi Google DeepMind.
Ia bahkan pernah dinobatkan sebagai CEO terpintar di dunia dalam riset oleh perusahaan teknologi Preply.
Profesor John Jumper, yang bekerja dengan Prof Hassabis dalam terobosan tersebut, berbagi penghargaan tersebut dengan Profesor David Bak.
Mereka bersama-sama dianugerahi Penghargaan Nobel Kimia 2024 atas karya mereka dalam mengembangkan AlphaFold, sistem AI inovatif yang memprediksi struktur 3D protein dari urutan asam aminonya. David Baker juga dianugerahi bersama atas karyanya dalam desain protein komputasional.
AlphaFold yang tersedia secara gratis melalui AlphaFold Protein Structure Database, telah memberikan lebih dari 2 juta ilmuwan dan peneliti dari 190 negara alat yang ampuh untuk membuat penemuan baru.
Makalah AlphaFold2, yang diterbitkan pada tahun 2021, tetap menjadi salah satu publikasi yang paling banyak dikutip sepanjang masa.
Para ilmuwan telah lama berjuang untuk memprediksi bentuk masing-masing dari jutaan protein ini, tetapi struktur itulah yang mendorong di dalam tubuh manusia.
Memahami struktur tersebut sangat penting untuk mengetahui cara menargetkan protein dan mengubah perilakunya yang sangat penting dalam bidang kedokteran.
Komite Nobel menyebut AlphaFold2 sebagai "revolusi yang lengkap", dan alat tersebut sekarang digunakan untuk 200 juta protein di seluruh dunia.
Sebelum para ilmuwan mulai mengerjakan masalah tersebut, hanya sebagian kecil dari struktur protein yang telah berhasil dikerjakan.
Picu Kontroversi
Hassabis bukan satu-satunya penerima Nobel yang terafiliasi dengan Google. Mantan peneliti Google, Geoffrey Hinton, juga memenangkan Nobel Fisika, bersama dengan ilmuwan AS Joh Hopfield.
Nobel itu diberikan atas penemuan awal mereka terkait machine learning yang memicu jalan untuk booming teknologi AI.
Hal ini memicu kontroversi di kalangan ilmuwan. Profesor Dame Wendy Hall yang merupakan penasihat AI di PBB mengatakan tokoh-tokoh tersebut pantas menerima penghargaan atas kerja keras mereka.
Namun, ia mengkritisi tak ada Nobel untuk ilmuwan matematika.
"Komite Nobel tak ingin ketinggalan dengan AI. Tapi, sangat mengherankan mereka memilih Geoffrey untuk Nobel Fisika," kata dia.
Hal serupa diungkap Noah Giansiracusa, Profesor matematika di Bentley University.
"Apa yang dia [Geoffrey] lakukan memang spektakuler. Tapi apakah itu terkait Fisika? Menurut saya tidak. Meski ada inspirasi di bidang Fisika, namun mereka tak mengembangkan teori baru atau memecahkan masalah lama di bidang Fisika," kata dia.
(fab/fab)
Sentimen: positif (100%)