Sentimen
Positif (100%)
13 Okt 2024 : 18.39
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Banda Aceh

Ketidakadilan Royalti untuk Pencipta Lagu di Aceh Regional 13 Oktober 2024

14 Okt 2024 : 01.39 Views 2

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Regional

Ketidakadilan Royalti untuk Pencipta Lagu di Aceh Tim Redaksi BANDA ACEH, KOLPAS.com -   Tidak semua pencipta lagu di Aceh mendapatkan royalti untuk karya intelektual mereka. Hal ini terjadi karena dalam perjanjian awal antara pencipta, penyanyi, komposer musik, dan produser rekaman, tidak ada poin kesepakatan yang mengatur secara khusus terkait royalti. “Di Aceh tidak ada standar harga untuk pencipta lagu. Selama ini harganya disesuaikan atau kami sebut dibayar sesuai adat,” kata Moehammaddyah Husen (58), seniman Aceh sekaligus pencipta lagu, saat ditemui di salah satu warung kopi di Ulee Kareng, Banda Aceh, Sabtu (12/10/2024). Moehammaddyah Husen, yang akrab disapa Cek Medya di kalangan seniman Aceh, menyebutkan bahwa dari ratusan karyanya, baik syair maupun lagu, ada beberapa yang populer pada masanya yang dinyanyikan oleh penyanyi terkenal Aceh, Rafli Kande.   Di antaranya adalah lagu Sueke Lhee Reutoh, Aneuk Yat, dan Hasan Busen. “Ada empat lagu yang dinyanyikan oleh Rafli Kande itu saya penciptanya. Dalam MoU, tidak ada perjanjian royalti karena di Aceh sistem bayar putus satu kali. Paling kalau lagunya trending, biasanya kami diberi uang saat hari raya karena hubungan baik dengan produser,” sebutnya. Medya mengatakan, setiap lirik lagu ciptaannya sejak dulu dihargai rata-rata mulai dari Rp 500.000 hingga Rp 1 juta. Dia pernah tidak mendapatkan bayaran saat album yang diproduksi oleh produser tidak laku di pasaran. “Pernah saya tidak mendapatkan bayaran untuk satu album lagu karena alasan tidak laku, dan banyak ciptaan saya juga tidak terdaftar hak cipta karena keterbatasan biaya. Namun, jalan yang diproduksi oleh pengusaha industri musik, semua mereka yang mendaftarkan,” jelasnya. Ia menambahkan, banyak pencipta lagu dari kalangan seniman tradisi di Aceh umumnya tidak mampu mendaftarkan hak cipta karena terkendala biaya. Ditambah lagi, pemahaman sebagian seniman di Aceh terhadap perlindungan hak cipta masih terbatas. “Pencipta lagu Aceh banyak yang miskin, kemudian pemahaman terhadap royalti dan hak cipta juga terbatas,” katanya. Selain keterbatasan sumber daya dan biaya, Medya juga menyebutkan Pemerintah Aceh melalui Dinas Pariwisata Aceh, sejak dulu tidak memberikan dukungan terhadap karya-karya seniman tradisi. “Dari pemerintah tidak ada dukungan, seharusnya Dinas Pariwisata melahirkan program-program yang berpihak kepada seniman, seperti peningkatan kapasitas,” ucapnya. Meski demikian, Cek Medya yang telah berkarier sebagai seniman tradisi sejak tahun 1980, masih eksis dan bertahan mewarnai seni tradisi Aceh yang diwariskan dari ayahnya. “Saya terus belajar dan mengikuti perkembangan seniman dari berbagai era yang sudah saya lalui. Mulai dari menciptakan syair yang saya keluarkan dalam bentuk buku, kaset, CD, hingga VCD, dan sekarang di era digital. Saya juga terus belajar dan membuat konten untuk berbagai platform dan kanal media sosial untuk menghasilkan uang,” ujarnya. Sebagai seorang seniman, Cek Medya mampu menafkahi keluarga dari profesinya. Dengan profesinya ini. dia mampu membangun rumah dan membiayai sekolah anaknya. "Sekarang, hasil dari konten di platform digital, Alhamdulillah cukup untuk biaya kebutuhan keluarga. Kadang bisa dapat banyak sampai Rp 10 juta per bulan, rata-rata Rp 3 juta sudah dihasilkan dari konten. Ada juga menjadi pemateri di acara seni dan budaya serta mengisi penampilan seni tutur di berbagai acara,” ungkapnya. Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

Sentimen: positif (100%)