Sentimen
Positif (88%)
13 Okt 2024 : 15.41
Informasi Tambahan

BUMN: BNI

Perekonomian RI Ditopang Konsumsi, Belum Ideal?

Bisnis.com Bisnis.com Jenis Media: Ekonomi

13 Okt 2024 : 15.41

Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Investasi Rosan Roeslani menyoroti kondisi perekonomian Indonesia yang masih bergantung kepada konsumsi rumah tangga. Sementara ekonom menilai perekonomian yang ideal tidak boleh didominasi satu faktor tertentu.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan konsumsi rumah tangga tetap menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi selama kuartal II/2024 yaitu dengan distribusi sebanyak 54,53%.

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menjelaskan ketergantungan kepada konsumsi rumah tangga akan berdampak negatif ketika perekonomian sedang lesu. Jika lapangan kerja dan upah tinggi sangat terbatas maka otomatis konsumsi rumah tangga akan merosot.

"Ini juga sudah terlihat dalam konteks Indonesia di mana perlambatan konsumsi rumah tangga dalam beberapa tahun terakhir ini juga akhirnya ikut memberikan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan," jelas Yusuf kepada Bisnis, Minggu (13/10/2024).

Kendati demikian, sambungnya, faktor konsumsi rumah tangga juga tidak selalu buruk. Dia mencontohkan, kini China sedang berupaya meningkatkan konsumsi masyarakatnya karena mesin perekonomiannya yang selama ini ditopang ekspor dan investasi mulai melambat.

Oleh sebab itu, yang terpenting adalah tidak bergantung ke satu faktor. Dengan begitu, jika salah satu faktor sedang lesu maka tidak memberi dampak langsung ke perekonomian suatu negara.

"Setiap komponen punya konsekuensi tersendiri. Misalnya suatu negara sangat besar proporsinya di ekspor maka ketika perekonomian global sedang lesu akibat sentimen seperti geopolitik, negara tersebut akan terdampak cukup hebat dan ini bisa kita lihat misalnya contoh kasusnya seperti Singapura," ujar Yusuf.

Dalam konteks Indonesia, Yusuf mendorong agar kontribusi investasi dan ekspor ke perekonomian ditingkatkan. Untuk investasi, menurutnya, Foreign Direct Investment (FDI) atau penanaman modal asing harus diutamakan untuk mengisi kekosongan permodalan di dalam negeri.

Apalagi, dia meyakini dampak investasi asing bisa merembet ke banyak sektor termasuk peningkatan konsumsi secara umum. Dalam konteks itu, dia menekankan pentingnya investasi di industri manufaktur karena berpotensi menyerap banyak tenaga kerja.

"Ini seharusnya bisa berdampak positif terhadap konsumsi rumah tangga," ucapnya.

Tak sampai situ, investasi di sektor industri juga bisa mendorong peningkatan ekspor. Bagaimanapun, lanjutnya, investasi di sektor industri seharusnya bisa melahirkan inovasi produk yang punya nilai tambah tinggi.

"Dengan nilai tambah yang tinggi maka seharusnya kompetitif produk ekspor Indonesia akan bisa bersaing dengan produk ekspor dari negara lain," tutupnya.

Upaya Pemerintah

Sebelumnya, Menteri Investasi Rosan Roeslani sudah menyatakan investasi dan ekspor akan menjadi tumpuan perekonomian Indonesia ke depan agar bisa mencapai pertumbuhan ekonomi 8% seperti target presiden terpilih Prabowo Subianto.

Rosan menjelaskan, beberapa tahun belakangan pertumbuhan ekonomi stagnan di kisaran 5%. Padahal, sambungnya, target pertumbuhan ekonomi ke depan mencapai 5,5—8%.

Dia pun mendetailkan, selama ini pertumbuhan ekonomi didorong oleh konsumsi rumah tangga yang berkontribusi hingga 53—54%. Oleh sebab itu, ke depan ketergantungan kepada konsumsi rumah tangga harus diubah agar pertumbuhan ekonomi lebih tinggi.

"Jadi kalau kita lihat dua hal yang bisa membuat pertumbuhan kita ke depan untuk terus berkembang di atas 5—8%, investasi dan ekspor," ungkap Rosan dalam BNI Investor Daily Summit 2024 di JCC, Jakarta Pusat, Rabu (9/102/2024).

Sejalan dengan itu, mantan bos Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) ini mengungkapkan fokus pemerintah ke depan adalah menarik investasi yang berorientasi ekspor, berkesinambungan, dan berkelanjutan.

Kendati demikian, Rosan mengakui bahwa pemerintah masih punya banyak pekerjaan rumah (PR). Dia mencontohkan, Singapura bisa menjadi negara maju karena adanya kepastian hukum dan tata kelola usaha yang jelas dan benar.

"Kita harus keep reforming ourselves [mereformasi diri sendiri], baik di regulasi maupun banyak hal, dan bagaimana kita, PR paling besar, mengharmonisasikan antara kebijakan pusat, daerah, hingga kabupaten/kota," jelasnya.

Sentimen: positif (88.9%)