Sentimen
12 Okt 2024 : 06.00
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Gunung, Serang, Manggarai, Banyumas
Tokoh Terkait
5 "Jangankan di Banten, Kami Menolak Geothermal di Mana Pun" Regional
Kompas.com Jenis Media: Metropolitan
12 Okt 2024 : 06.00
"Jangankan di Banten, Kami Menolak Geothermal di Mana Pun"
Editor
KOMPAS.com
- Upaya Pemerintah Indonesia menggenjot pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga
panas bumi
disambut penolakan di sejumlah daerah. Selain warga Poco Leok di Nusa Tenggara Timur, warga
Padarincang
di
Serang
,
Banten
, selama belasan tahun terakhir berkukuh menolak proyek
geothermal
di wilayahnya. Mengapa energi geothermal—yang diklaim sebagai energi bersih—menuai penolakan warga?
Salah satu warga yang menolak
proyek pembangkit panas bumi
di Padarincang adalah Doifullah. Pria berusia 51 tahun yang akrab disapa Haji Doif ini menggantungkan hidupnya pada hasil tani.
Cara bertahan hidup dengan bercocok tanam telah dilakukan secara turun-temurun oleh Doif dan warga lainnya di tanah Padarincang, yang berjarak sekitar dua jam perjalanan dari Jakarta dan dikenal sebagai salah satu produsen beras di Banten.
“Kekhawatiran kami di sini [proyek] itu akan memengaruhi klimatologi, ketersediaan air, ketersediaan lahan pertanian, yang merupakan mata pencarian abadi masyarakat kami,” kata Doif kepada wartawan Johanes Hutabarat yang melaporkan untuk
BBC News Indonesia,
September silam.
“Kenapa kami bilang abadi? Karena ini turun-temurun dari nenek moyang kami, dan sampai saat ini kami masih menerima berkah yang luar biasa dari alam kami tanpa adanya industri,” ujar Doif kemudian.
Lebih jauh, tekad Doif untuk melawan proyek
geothermal di Padarincang
semakin kukuh setelah mengamati proyek geothermal di wilayah lain di Indonesia “tidak memberi keuntungan untuk warga, bahkan membuat kerusakan yang luar biasa di ekologi warga”.
“Seperti yang kita lihat di Mataloko, NTT (Nusa Tenggara Timur), Flores, juga daerah Dieng. Semua areal pertanian dan lahan pertanian warga semua menjadi tidak produktif karena adanya proyek geothermal ini,” ungkap Doif.
“Itu fakta, dan kami tidak ingin itu terjadi di daerah kami di Padarincang,” tegasnya.
Tak jauh dari lahan sawah dan toko pupuk milik Doif, tampak Gunung Parakasak–lokasi yang direncanakan menjadi situs pembangkit listrik panas bumi di Padarincang–menjulang tinggi.
Dari kejauhan, gunung itu sekilas tampak masih rimbun dengan pepohonan, dengan permukiman warga berdiri memadati sekitarnya. Bekas bukaan lahan kini diliputi ilalang dan blokade warga yang dipasangi spanduk penolakan warga terhadap proyek tersebut.
Padarincang merupakan salah satu wilayah di Provinsi Banten yang teridentifikasi memiliki potensi energi panas bumi. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Provinsi Banten memiliki potensi energi panas bumi sebesar 790 Mega Watt, yang tersebar setidaknya di sejumlah titik di Kabupaten Serang dan Lebak.
Pada 15 Januari 2009 silam, Padarincang ditetapkan menjadi bagian wilayah kerja pertambangan (WKP) panas bumi di Kaldera Danau Banten oleh Menteri ESDM. Pembangkit Listrik Tenaga
Panas Bumi
(PLTP) Rawa Danau digadang-gadang akan dibangun di Desa Batukuwung, Padarincang.
Sejak saat itulah wacana pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi atau geothermal mendapat penolakan warga. Hingga kini, 15 tahun kemudian.
Meski mendapat penolakan warga, perusahaan pemenang tender tetap menggarap proyek tersebut dan sempat melakukan pembukaan lahan di Gunung Parakasak.
Pembukaan lahan untuk pengerjaan dan pembuatan tapak sumur di Gunung Parakasak, menurut Doif, mulai dilakukan sejak 2015.
Salah satu warga, Een Ratnasari, mengeklaim aktivitas eksplorasi di Gunung Parakasak mengakibatkan lahan warga mengalami kekeringan.
Een yang tinggal sekitar satu kilometer dari jalan masuk menuju situs proyek menduga pembukaan lahan menjadi penyebabnya. Pasalnya, menurut Een, sebelum ada proyek geothermal warga “tidak pernah kekurangan air”.
“Kampung kami kan masih sangat kampung jadi masih menggunakan air sumur. Air sumur kami yang tadinya bersih, sekarang berkurang, karena pohon-pohon yang ada di gunung itu sudah tidak menyimpan air lagi sekarang,” jelas perempuan berusia 40 tahun tersebut.
“Terus kami kan di sini sebagai petani di sawah-sawah juga sudah banyak kekurangan air, penghasilan dari pertanian kami itu sudah sangat berkurang,” ujar Een kemudian.
Namun, klaim bahwa proyek geothermal di Padarincang telah menyebabkan kekeringan dibantah oleh Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) di Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi.
Eniya mengeklaim pembangunan akses jalan dan tapak sumur untuk kegiatan eksplorasi proyek PLTP Rawa Danau yang dilakukan pada 2018 berada di kawasan hutan produksi terbatas di Gunung Parakasak dengan luas lahan 7,95 hektar.
Namun, klaim Eniya, hingga kini pengeboran sumur eksplorasi belum pernah dilakukan.
“Dengan demikian, jika terjadi penggundulan hutan dan kekurangan air di daerah Padarincang maka hal tersebut tidak ada kaitannya dengan kegiatan proyek PLTP Rawa Danau,” kata Eniya.
Presiden Jokowi menegaskan Indonesia berkomitmen menjadi bagian penting untuk membangun ekonomi dan industri hijau dengan melakukan transisi ke energi hijau. Apalagi, klaimnya, Indonesia sebagai pemilik potensi panas bumi sebesar 24.000 Megawatt (MW), mencapai 40 persen dari potensi panas bumi di dunia.
Namun hingga kini, pemanfaatannya “tidak berjalan dengan cepat”, menurut Presiden Jokowi.
“Ternyata untuk memulai konstruksi dari awal sampai urusan perizinan bisa sampai 5-6 tahun. Ini yang mestinya harus dibenahi, agar [potensi] 24.000 MW yang baru dikerjakan hanya 11 persen bisa segera dikerjakan oleh investor, sehingga kita memiliki tambahan listrik hijau yang lebih banyak,” ujar Presiden Jokowi September silam, seperti dikutip dari situs resmi Kementerian ESDM.
Pada kesempatan yang sama, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan akan memangkas syarat dan waktu perizinan untuk mempercepat investasi geothermal.
Dia menambahkan kapasitas PLTP di Indonesia saat ini mencapai 2.600 MW, yang diklaim tertinggi kedua di dunia. Kapasitas listrik PLTP itu mencakup 18,5% dari total kapasitas energi baru dan terbarukan dan sekitar 3% dari total kapasitas listrik di Indonesia.
Merujuk dokumen rencana strategis Ditjen EBTKE Kementerian ESDM 2020-2024 yang telah direvisi, proyeksi pengembangan energi panas bumi ditargetkan mencapai 7,2 Gigawatt (GW) pada 2025 dan 17,6 GW pada 2050 dalam menunjang kebutuhan listrik.
Namun, upaya menggenjot proyek geothermal yang dijanjikan lebih ramah lingkungan nyatanya tak berjalan mulus. Pengamat mencatat sejumlah kasus pencemaran lingkungan, deforestasi dan isu penghisapan air yang dinilai dapat merugikan warga di sekitar proyek, kerap terjadi.
Konflik lahan dengan warga dan masyarakat adat di lapangan pun tak terhindarkan. Seperti yang terjadi di Poco Leok, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, pada awal Oktober lalu.
Tiga anggota masyarakat adat ditangkap aparat keamanan dalam aksi unjuk rasa menolak proyek perluasan PLTP Ulumbu di Poco Leok, yang diklaim warga berdampak pada hilangnya lahan dan ruang hidup masyarakat adat serta rusaknya berbagai mata air yang jadi tumpuan utama untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari.
Seorang wartawan yang meliput aksi penolakan di Poco Leok turut ditangkap.
Kasus pencemaran lingkungan seperti kebocoran gas beracun terjadi di PLTP Sorik Marapi di Mandailing, Sumatra Utara, juga kerap terjadi. Dalam insiden terbaru yang terjadi pada Februari 2024, ratusan warga sekitar proyek mengalami mual dan pingsan akibat kebocoran gas.
Beberapa tahun sebelumnya, pada Oktober 2017, keberadaan PLTP Baturraden di Banyumas, Jawa Tengah, diduga memicu pencemaran air di lereng selatan Gunung Slamet yang berdampak pada warga yang menggantungkan kebutuhan air bersihnya pada sumber mata air yang mengalir dari Gunung Slamet.
Secara umum, proyek geothermal akan memiliki risiko tidak hanya pada ketersediaan air, tetapi juga pencemaran lingkungan secara keseluruhan, menurut Luthfyana Kartika Larasati, manager
Climate Policy Initiative
.
Dalam hal ketersediaan air, perempuan yang akrab disapa Chika itu bilang proyek geothermal akan berdampak ada kualitas dan konsumsi air karena selama pengeboran, air panas yang dipompa dari reservoir bawah tanah sering mengandung mineral—seperti garam dan perak—dengan kadar tinggi.
“Kekhawatiran lainnya adalah keamanan dari pembuangan limbah berbahaya dari proses itu sendiri,” ujar Chika.
Kendati geothermal disebut sebagai energi bersih, menurut Chika, “energi geothermal tetap saja tidak sempurna karena pencemaran air masih dapat terjadi”. Itulah sebabnya tindakan pencegahan dan prosedur pemeliharaan yang tepat harus diikuti.
“Jadi tidak hanya kebijakan dan peraturan yang harus diperkuat untuk memastikan bahwa pencemaran ini dapat diminimalkan dan dikurangi, tetapi juga penggunaan teknologi perlu dipertimbangkan.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan proyek-proyek geothermal yang digenjot pemerintah tak lepas dari rencana transisi energi dengan memensiunkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang kerap dikritik karena menggunakan sumber energi batu bara.
Sayangnya, upaya memacu transisi energi yang dinilai lebih bersih seperti energi panas bumi justru memicu masalah di lapangan karena memiliki “risiko tinggi” dan merupakan “proyek mahal”, menurut Bhima.
“Menurut saya [proyek]
geothermal di Indonesia
lebih banyak merugikannya secara ekonomi dibandingkan kemudian keuntungan yang didapatkan,” ujar Bhima.
“Kalau sekarang ini yang banyak bentrok dengan masyarakat, banyak bergesekan dengan masyarakat dan juga memicu konflik agraria di banyak tempat itu akan membuat proyek
delay
juga yang akhirnya proyek akan jadi lebih mahal,” lanjutnya.
Problematika pengembangan geothermal ini, lanjutnya, memicu iklim buruk bagi investasi proyek geothermal. Ia mencontohkan proyek geothermal di Wae Sano di Nusa Tenggara Timur yang turut menimbulkan konflik dengan warga, dan menyebabkan Bank Dunia menarik diri sebagai investor.
“Mereka (investor) takut juga, karena mereka punya standardisasi transisi energi berkeadilan, terus kemudian proyek yang didanai lebih parah dari batubara, bagaimana?” kata Bhima.
Adapun pada akhir September lalu, Kementerian ESDM menghentikan sementara aktivitas 13 lokasi eksplorasi geothermal, yang dilatari isu lingkungan. Pada umumnya, perusahaan diberi waktu tiga tahun untuk melakukan survei dan eksplorasi. Sementara penghentian sementara berlaku selama enam hingga satu tahun.
Direktur Jenderal EBTKE di Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, mengungkapkan ini dilakukan agar perusahaan dapat menuntaskan masalah terkait di tengah waktu pengerjaan eksplorasi.
Salah satu bentuk perlawanan adalah dengan mengadakan doa bersama di jalan menuju proyek pembangunan yang dilakukan secara rutin selama bertahun-tahun guna menghentikan aktivitas pembangunan.
“Alat berat berpuluh-puluh kali datang, dihadang lagi, dihadang lagi,” klaim Doif.
Para perempuan di Padarincang termasuk dari mereka yang vokal menolak proyek geothermal, Ega Susmita adalah salah satunya. Dia menganggap ancaman proyek ini terhadap perempuan “begitu nyata”.
Ancaman kesulitan air akibat geothermal, menurut Ega, bakal dihadapi langsung oleh para perempuan Padarincang. Pasalnya, kaum perempuan adalah pihak yang memiliki peran dalam pemenuhan kebutuhan dasar keluarga untuk hidup sehari-hari.
“Bagaimanapun perempuan itu akan selalu dekat dengan air, entah itu untuk memasak, entah itu untuk mencuci. Bukan hanya itu, perihal biologis juga, untuk mencuci bekas-bekas menstruasi atau bekas nifas itu kan membutuhkan air,” jelas Ega.
Perempuan berusia 24 tahun itu khawatir, jika proyek geothermal direalisasikan, mata pencaharian warga Padarincang akan hilang.
“Padarincang itu kaya akan pertaniannya, kaya akan hutannya, kaya akan gunungnya. Jika geothermal itu jadi, otomatis sawah, hutan, dan gunung itu akan ikut hancur,” ujar Ega.
Kala geothermal digenjot di sejumlah wilayah di Indonesia, warga Padarincang mengambil posisi tegas menolak.
Dengan segala potensi risiko yang ada, Een Ratnasari tidak hanya menolak proyek geothermal di kampungnya, namun juga di wilayah lain di Indonesia.
“Jangankan yang ada di Banten, khususnya di desa Batukuwung ini di tempat saya, di seluruh Indonesia pun kami sangat menolak, tidak mendukung sama sekali,” tegas Een.
“Sekali menolak untuk geothermal di mana pun itu di seluruh Indonesia, kami akan tetap menolak.”
Reportase oleh Johanes Hutabarat
Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Sentimen: negatif (88.9%)