Sentimen
10 Okt 2024 : 08.25
Informasi Tambahan
Kasus: pembunuhan
Tokoh Terkait
10 Perlawanan Jessica Wongso demi Kembalikan Harkat Martabatnya Megapolitan
Kompas.com Jenis Media: Regional
10 Okt 2024 : 08.25
Perlawanan Jessica Wongso demi Kembalikan Harkat Martabatnya
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com - Jessica Kumala Wongso, terpidana kasus pembunuhan berencana terhadap Wayan Mirna Salihin, kembali mengajukan peninjauan kembali (PK) kepada Mahkamah Agung (MA). Ditemani kuasa hukumnya, Otto Hasibuan, Jessica datang ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menyerahkan berkas-berkas PK yang dibutuhkan. Meski masih trauma dengan pengadilan, Jessica menapaki lorong-lorong di depan ruang sidang yang dulu pernah menjatuhkan vonis kepadanya. Kuasa hukum Jessica, Otto mengatakan, alasan mereka kembali mengajukan PK karena Jessica meyakini kalau dirinya tidak bersalah dalam kasus pembunuhan Mirna. "Hari ini kita gunakan kesempatan itu (mengajukan PK) karena dia (Jessica) ingin membuktikan dia tidak merasa melakukan perbuatannya. Tapi, faktanya kan dia dihukum," kata kuasa hukum Jessica, Otto Hasibuan, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu (9/10/2024). Untuk memperkuat klaim ini, tim hukum Jessica sudah mengumpulkan sejumlah novum atau bukti-bukti baru yang diyakini dapat membuktikan kalau hakim telah khilaf dalam menjatuhkan vonis pada tahun 2016 silam. Otto mengatakan, novum yang mereka ajukan berupa rekaman CCTV yang ada di lokasi tempat kejadian tewasnya Mirna, yaitu Kafe Olivier, Grand Indonesia. Saat persidangan, CCTV yang diperlihatkan oleh jaksa ditolak sepenuhnya oleh pihak Jessica karena rekaman itu disebutkan tidak jelas asal usulnya. Otto menyebutkan, dalam perkara ini tidak ada saksi mata yang menyaksikan proses pembunuhan terjadi. Alhasil, rekaman CCTV dijadikan alat untuk membuktikan dakwaan yang dijatuhkan pada Jessica. Kini, tim hukum Jessica mengeklaim kalau ada bukti-bukti kuat yang bisa menunjukkan kalau rekaman CCTV yang dulu ditampilkan ke hakim telah direkayasa. “Ada 37 gambar (rekaman) yang berubah. Yang aslinya high definition berubah menjadi standard definition . Pixel-nya juga berubah semua,” ujar Otto. Berdasarkan berita acara pemeriksaan (BAP) saksi ahli bernama Christopher, rekaman CCTV awalnya memiliki resolusi tinggi, yakni 1920x1080 pixel. Namun, dalam persidangan, beberapa rekaman yang ditampilkan hanya memiliki resolusi 960x576 pixel atau kurang dari setengah aslinya. Hal ini terlihat dalam rekaman CCTV 9 yang terbagi menjadi dua segmen. Segmen pertama dari pukul 15.35-16.59 WIB, saat penyajian "vietnam ice coffee", masih dalam kualitas high definition . Namun, segmen kedua, yakni dari pukul 16.59-18.25 WIB, saat Mirna meminum kopi, video rekaman menunjukkan penurunan kualitas. “Pada segmen kedua di jam 16.59 WIB dan jam 18.25 WIB, waktu vietnam ice coffee telah diminum oleh Mirna, terjadilah penurunan kualitas pada CCTV itu,” jelas Otto. Penurunan kualitas ini, menurut Otto, menyebabkan kesalahan interpretasi oleh saksi ahli. “(Dalam sidang) ahli toksikologi itu melihat warna yang berbeda-beda, seakan-akan ada sesuatu yang dimasukkan. Padahal, perbedaan warna ini bukan karena gelasnya berubah warna, tapi karena kualitas gambarnya yang berbeda,” tegas Otto. Selain itu, Otto juga menilai kepemilikan rekaman CCTV oleh ayah Mirna, Edi Darmawan Salihin adalah hal yang janggal. Pasalnya, dalam persidangan dulu, asal usul rekaman ini tidak dijelaskan secara terang. Tapi, dalam wawancara eksklusif dengan wartawan senior Karni Ilyas, Edi justru mengaku memiliki rekaman CCTV di Kafe Olivier. “Kami bertanya asal usulnya CCTV dari mana, saksi (dalam persidangan) tidak ada yang bisa menjawab. Tapi, pertanyaan kita, kenapa ini ada di tangan Darmawan Salihin. CCTV yang di Olivier,” imbuh dia. Otto mengatakan, jika CCTV menjadi barang bukti seharusnya sudah diamankan oleh penyidik. Dia menilai, keberadaan dokumen CCTV ini di tangan Edi adalah hal yang janggal. Terlebih, pada wawancara itu, Edi justru mengaku memiliki potongan rekaman CCTV yang tidak ditunjukkan dalam persidangan. “Dia (Edi) mengatakan bahwa ini adalah CCTV yang ada di Olivier, dan tidak pernah ditayangkan di persidangan. Dan ini disimpan sama dia. Artinya, berarti seluruh rangkaian CCTV itu sudah terpotong-potong, tidak utuh lagi puzzlenya,” imbuh Otto. Pengacara Jessica ini mengatakan, CCTV yang diduga ditunjukkan oleh Edi sudah didapatkan pihaknya setelah berkomunikasi dengan stasiun televisi yang melakukan wawancara itu. Rekaman ini juga telah dianalisis oleh timnya. Otto mengatakan, jika ada rekaman CCTV yang luput dari persidangan, fakta yang ada juga menjadi terputus. Hal ini dinilai janggal. Terlebih, jika cara mendapatkan CCTV ini dilakukan dengan meti yang tidak sah. “Kalau sudah ada yang terambil secara tidak sah, berarti potensi yang lain pun sudah ada mungkin yang diambil. Jadi, tidak lagi tersambung, ada yang terputus,” imbuh dia. Otto menjelaskan, dua alasan ini, rekaman CCTV yang terpotong dan kualitas rekaman yang menurun drastis dapat membuat penilaian hakim dan saksi menjadi kabur. “Rekayasa itu yang akhirnya menuntun majelis hakim menjadi salah mengambil keputusan, menuntun saksi-saksi ahli salah mengambil keputusan. Karena, sebenarnya kami lihat di persidangan itu bukan rekaman yang sesungguhnya lagi, sudah rekaman yang berubah,” lanjut dia. Otto meyakini dua alasan ini menjadi dasar yang kuat untuk mengajukan PK. Bukti-bukti dan novum ini sudah diserahkan dalam flashdisk bersama dengan berkas-berkas lain. Meski Jessica telah dinyatakan bebas bersyarat pada Minggu (18/8/2024), Otto meyakini harkat dan martabat kliennya selaku warga negara perlu dipulihkan. “Permintaan kami supaya dia (Jessica) dibebaskan dan tidak terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan yang dituduhkan kepada Jessica. Dipulihkan (harkat dan martabatnya),” ujar Otto Hasibuan. Otto menilai hal ini sudah sepatutnya dilakukan mengingat ada beberapa fakta hukum yang dinilai keliru. Pejabat Humas PN Jakpus Zulfikli Atjo mengatakan, pihaknya telah menerima berkas PK yang diajukan oleh Jessica. Berkas dengan nomor No.7/ Akta.Pid.B/2024/PN.Jkt.Pst tanggal 9 Oktober 2024 akan diproses sesuai proses hukum yang berlaku. “(Berkas) baru terdaftar. Diperiksa kelengkapan baru disidangkan dalam rangka kelengkapan administrasi,” ujar Pejabat Humas PN Jakpus Zulfikli Atjo saat dihubungi Kompas.com pada Rabu (9/10/2024). Zulfikli menjelaskan, PN Jakpus hanya merupakan perantara untuk PK yang diajukan oleh Jessica dan kuasa hukumnya. Pasalnya, pihak yang berhak memutuskan PK adalah Mahkamah Agung (MA). Nantinya, PN Jakpus akan menunjukkan majelis hakim untuk menyidangkan PK yang diajukan. Kemudian, novum yang diserahkan juga akan diperiksa di dalam persidangan. “Kemudian, apabila ada novum atau bukti baru maka harus disumpah dulu. Lalu, diberikan kesempatan kepada jaksa untuk menjawab permohonan PK,” jelas Zulfikli. Setelah semua berkas dinyatakan lengkap, PK kasus kopi sianida ini akan diserahkan ke Mahkamah Agung untuk diputus. Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
JAKARTA, KOMPAS.com - Jessica Kumala Wongso, terpidana kasus pembunuhan berencana terhadap Wayan Mirna Salihin, kembali mengajukan peninjauan kembali (PK) kepada Mahkamah Agung (MA). Ditemani kuasa hukumnya, Otto Hasibuan, Jessica datang ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menyerahkan berkas-berkas PK yang dibutuhkan. Meski masih trauma dengan pengadilan, Jessica menapaki lorong-lorong di depan ruang sidang yang dulu pernah menjatuhkan vonis kepadanya. Kuasa hukum Jessica, Otto mengatakan, alasan mereka kembali mengajukan PK karena Jessica meyakini kalau dirinya tidak bersalah dalam kasus pembunuhan Mirna. "Hari ini kita gunakan kesempatan itu (mengajukan PK) karena dia (Jessica) ingin membuktikan dia tidak merasa melakukan perbuatannya. Tapi, faktanya kan dia dihukum," kata kuasa hukum Jessica, Otto Hasibuan, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu (9/10/2024). Untuk memperkuat klaim ini, tim hukum Jessica sudah mengumpulkan sejumlah novum atau bukti-bukti baru yang diyakini dapat membuktikan kalau hakim telah khilaf dalam menjatuhkan vonis pada tahun 2016 silam. Otto mengatakan, novum yang mereka ajukan berupa rekaman CCTV yang ada di lokasi tempat kejadian tewasnya Mirna, yaitu Kafe Olivier, Grand Indonesia. Saat persidangan, CCTV yang diperlihatkan oleh jaksa ditolak sepenuhnya oleh pihak Jessica karena rekaman itu disebutkan tidak jelas asal usulnya. Otto menyebutkan, dalam perkara ini tidak ada saksi mata yang menyaksikan proses pembunuhan terjadi. Alhasil, rekaman CCTV dijadikan alat untuk membuktikan dakwaan yang dijatuhkan pada Jessica. Kini, tim hukum Jessica mengeklaim kalau ada bukti-bukti kuat yang bisa menunjukkan kalau rekaman CCTV yang dulu ditampilkan ke hakim telah direkayasa. “Ada 37 gambar (rekaman) yang berubah. Yang aslinya high definition berubah menjadi standard definition . Pixel-nya juga berubah semua,” ujar Otto. Berdasarkan berita acara pemeriksaan (BAP) saksi ahli bernama Christopher, rekaman CCTV awalnya memiliki resolusi tinggi, yakni 1920x1080 pixel. Namun, dalam persidangan, beberapa rekaman yang ditampilkan hanya memiliki resolusi 960x576 pixel atau kurang dari setengah aslinya. Hal ini terlihat dalam rekaman CCTV 9 yang terbagi menjadi dua segmen. Segmen pertama dari pukul 15.35-16.59 WIB, saat penyajian "vietnam ice coffee", masih dalam kualitas high definition . Namun, segmen kedua, yakni dari pukul 16.59-18.25 WIB, saat Mirna meminum kopi, video rekaman menunjukkan penurunan kualitas. “Pada segmen kedua di jam 16.59 WIB dan jam 18.25 WIB, waktu vietnam ice coffee telah diminum oleh Mirna, terjadilah penurunan kualitas pada CCTV itu,” jelas Otto. Penurunan kualitas ini, menurut Otto, menyebabkan kesalahan interpretasi oleh saksi ahli. “(Dalam sidang) ahli toksikologi itu melihat warna yang berbeda-beda, seakan-akan ada sesuatu yang dimasukkan. Padahal, perbedaan warna ini bukan karena gelasnya berubah warna, tapi karena kualitas gambarnya yang berbeda,” tegas Otto. Selain itu, Otto juga menilai kepemilikan rekaman CCTV oleh ayah Mirna, Edi Darmawan Salihin adalah hal yang janggal. Pasalnya, dalam persidangan dulu, asal usul rekaman ini tidak dijelaskan secara terang. Tapi, dalam wawancara eksklusif dengan wartawan senior Karni Ilyas, Edi justru mengaku memiliki rekaman CCTV di Kafe Olivier. “Kami bertanya asal usulnya CCTV dari mana, saksi (dalam persidangan) tidak ada yang bisa menjawab. Tapi, pertanyaan kita, kenapa ini ada di tangan Darmawan Salihin. CCTV yang di Olivier,” imbuh dia. Otto mengatakan, jika CCTV menjadi barang bukti seharusnya sudah diamankan oleh penyidik. Dia menilai, keberadaan dokumen CCTV ini di tangan Edi adalah hal yang janggal. Terlebih, pada wawancara itu, Edi justru mengaku memiliki potongan rekaman CCTV yang tidak ditunjukkan dalam persidangan. “Dia (Edi) mengatakan bahwa ini adalah CCTV yang ada di Olivier, dan tidak pernah ditayangkan di persidangan. Dan ini disimpan sama dia. Artinya, berarti seluruh rangkaian CCTV itu sudah terpotong-potong, tidak utuh lagi puzzlenya,” imbuh Otto. Pengacara Jessica ini mengatakan, CCTV yang diduga ditunjukkan oleh Edi sudah didapatkan pihaknya setelah berkomunikasi dengan stasiun televisi yang melakukan wawancara itu. Rekaman ini juga telah dianalisis oleh timnya. Otto mengatakan, jika ada rekaman CCTV yang luput dari persidangan, fakta yang ada juga menjadi terputus. Hal ini dinilai janggal. Terlebih, jika cara mendapatkan CCTV ini dilakukan dengan meti yang tidak sah. “Kalau sudah ada yang terambil secara tidak sah, berarti potensi yang lain pun sudah ada mungkin yang diambil. Jadi, tidak lagi tersambung, ada yang terputus,” imbuh dia. Otto menjelaskan, dua alasan ini, rekaman CCTV yang terpotong dan kualitas rekaman yang menurun drastis dapat membuat penilaian hakim dan saksi menjadi kabur. “Rekayasa itu yang akhirnya menuntun majelis hakim menjadi salah mengambil keputusan, menuntun saksi-saksi ahli salah mengambil keputusan. Karena, sebenarnya kami lihat di persidangan itu bukan rekaman yang sesungguhnya lagi, sudah rekaman yang berubah,” lanjut dia. Otto meyakini dua alasan ini menjadi dasar yang kuat untuk mengajukan PK. Bukti-bukti dan novum ini sudah diserahkan dalam flashdisk bersama dengan berkas-berkas lain. Meski Jessica telah dinyatakan bebas bersyarat pada Minggu (18/8/2024), Otto meyakini harkat dan martabat kliennya selaku warga negara perlu dipulihkan. “Permintaan kami supaya dia (Jessica) dibebaskan dan tidak terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan yang dituduhkan kepada Jessica. Dipulihkan (harkat dan martabatnya),” ujar Otto Hasibuan. Otto menilai hal ini sudah sepatutnya dilakukan mengingat ada beberapa fakta hukum yang dinilai keliru. Pejabat Humas PN Jakpus Zulfikli Atjo mengatakan, pihaknya telah menerima berkas PK yang diajukan oleh Jessica. Berkas dengan nomor No.7/ Akta.Pid.B/2024/PN.Jkt.Pst tanggal 9 Oktober 2024 akan diproses sesuai proses hukum yang berlaku. “(Berkas) baru terdaftar. Diperiksa kelengkapan baru disidangkan dalam rangka kelengkapan administrasi,” ujar Pejabat Humas PN Jakpus Zulfikli Atjo saat dihubungi Kompas.com pada Rabu (9/10/2024). Zulfikli menjelaskan, PN Jakpus hanya merupakan perantara untuk PK yang diajukan oleh Jessica dan kuasa hukumnya. Pasalnya, pihak yang berhak memutuskan PK adalah Mahkamah Agung (MA). Nantinya, PN Jakpus akan menunjukkan majelis hakim untuk menyidangkan PK yang diajukan. Kemudian, novum yang diserahkan juga akan diperiksa di dalam persidangan. “Kemudian, apabila ada novum atau bukti baru maka harus disumpah dulu. Lalu, diberikan kesempatan kepada jaksa untuk menjawab permohonan PK,” jelas Zulfikli. Setelah semua berkas dinyatakan lengkap, PK kasus kopi sianida ini akan diserahkan ke Mahkamah Agung untuk diputus. Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Sentimen: negatif (88.7%)