Sentimen
2 Okt 2024 : 08.01
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Mampang Prapatan
Tokoh Terkait
10 Paradoks di Balik Pembubaran Diskusi di Kemang... Megapolitan
Kompas.com Jenis Media: Metropolitan
2 Okt 2024 : 08.01
Paradoks di Balik Pembubaran Diskusi di Kemang...
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com - Polemik pembubaran diskusi yang digelar oleh Forum Tanah Air (FTA) di Hotel Grandkemang, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, pada Sabtu (28/9/2024), belum berakhir. Meski polisi telah menangkap lima orang yang mengatasnamakan kelompok Forum Cinta Tanah Air karena membubarkan diskusi secara paksa, mereka kini melakukan pembelaan melalui kuasa hukum. Kuasa hukum para pelaku, Gregorius Upi Dheo, mengeklaim bahwa aksi unjuk rasa yang berujung pada pembubaran diskusi tersebut murni merupakan spontanitas dan tanpa ada pesanan dari pihak manapun. Namun, pernyataan itu berbeda dengan penjelasan polisi yang menduga bahwa beberapa pelaku pembubaran paksa diskusi itu sudah menginap di hotel. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan bahwa aksi massa yang merangsek masuk ke hotel tersebut tidak mencerminkan nama organisasi mereka. "Yang memecah belah justru mereka. Mengumpulkan orang-orang dengan kesamaan asal usul kedaerahan untuk menyerang kegiatan yang damai dan sah," kata Usman Hamid saat dihubungi Kompas.com , Rabu (2/10/2024). Cara kelompok itu disebut sebagai pola lama yang memakai topeng nasionalisme untuk memaklumi penyerangan fisik terhadap suara-suara kritis. Untuk diketahui, diskusi yang digelar di Kemang itu mengevaluasi 10 tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan dihadiri oleh pakar hukum tata negara, Refly Harun. Selain Refly Harun, forum diskusi itu juga dihadiri oleh Said Didu, Mantan Komandan Jenderal (Danjen) Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Mayjen (Purn) Soenarko, dan sejumlah aktivis. Menurut Usman Hamid, tindakan kelompok massa yang membubarkan paksa diskusi itu jelas bukan wujud kecintaan pada tanah air, tetapi justru sebaliknya. "Sementara publik pemerhati dinamika sosial politik sangat mudah memahami tindakan mereka sebagai tindakan yang digerakkan oleh pihak yang tidak suka pada suara kritis," kata Usman. "Apalagi jika suara kritis itu sudah mengarah maupun berpotensi untuk mendorong kritik menjadi protes jalanan. Jika pun mengarah ke sana, itu tetap merupakan ekspresi yang sah, dilindungi oleh Konstitusi dan Undang-Undang," sambung Usman. Usman menegaskan, pernyataan kuasa hukum para pelaku tidak mudah diterima karena tidak disertai dengan bukti-bukti yang kuat. "Sulit diterima nalar argumen mereka. Argumen lemah, penjelasan lemah, dan tidak ditopang oleh bukti," kata Usman. Dengan demikian, polisi diharapkan untuk mengusut tuntas kasus pembubaran paksa kegiatan diskusi tersebut. Jika tindakan seperti ini terus dibenarkan, maka akan berpotensi menyulut kekerasan berbasis kedaerahan atau SARA. Sebab, mereka berupaya mengumpulkan orang-orang dengan kesamaan asal usul kedaerahan sehingga seolah ada perbedaan identitas. "Jadi, siapa yang sebenarnya bisa memecah belah?" kata Usman. Adapun kelompok membubarkan diskusi di Hotel Grandkemang, sekitar pukul 09.30 WIB. Awalnya kelompok itu berdemonstrasi di depan hotel dengan tuntutan diskusi segera dihentikan. Aksi mereka dikawal oleh kepolisian. Namun, sekitar 10 sampai 15 orang dari kelompok itu diduga memasuki area hotel dari jalur belakang, lalu membubarkan diskusi. Mereka diduga melakukan kekerasan terhadap petugas keamanan dan merusak properti Hotel Grandkemang. Kini, lima orang telah ditangkap dan dua di antaranya ditetapkan sebagai tersangka. Kedua tersangka itu adalah FEK berperan sebagai koordinator lapangan dan GW kedapatan merusak properti. Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
JAKARTA, KOMPAS.com - Polemik pembubaran diskusi yang digelar oleh Forum Tanah Air (FTA) di Hotel Grandkemang, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, pada Sabtu (28/9/2024), belum berakhir. Meski polisi telah menangkap lima orang yang mengatasnamakan kelompok Forum Cinta Tanah Air karena membubarkan diskusi secara paksa, mereka kini melakukan pembelaan melalui kuasa hukum. Kuasa hukum para pelaku, Gregorius Upi Dheo, mengeklaim bahwa aksi unjuk rasa yang berujung pada pembubaran diskusi tersebut murni merupakan spontanitas dan tanpa ada pesanan dari pihak manapun. Namun, pernyataan itu berbeda dengan penjelasan polisi yang menduga bahwa beberapa pelaku pembubaran paksa diskusi itu sudah menginap di hotel. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan bahwa aksi massa yang merangsek masuk ke hotel tersebut tidak mencerminkan nama organisasi mereka. "Yang memecah belah justru mereka. Mengumpulkan orang-orang dengan kesamaan asal usul kedaerahan untuk menyerang kegiatan yang damai dan sah," kata Usman Hamid saat dihubungi Kompas.com , Rabu (2/10/2024). Cara kelompok itu disebut sebagai pola lama yang memakai topeng nasionalisme untuk memaklumi penyerangan fisik terhadap suara-suara kritis. Untuk diketahui, diskusi yang digelar di Kemang itu mengevaluasi 10 tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan dihadiri oleh pakar hukum tata negara, Refly Harun. Selain Refly Harun, forum diskusi itu juga dihadiri oleh Said Didu, Mantan Komandan Jenderal (Danjen) Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Mayjen (Purn) Soenarko, dan sejumlah aktivis. Menurut Usman Hamid, tindakan kelompok massa yang membubarkan paksa diskusi itu jelas bukan wujud kecintaan pada tanah air, tetapi justru sebaliknya. "Sementara publik pemerhati dinamika sosial politik sangat mudah memahami tindakan mereka sebagai tindakan yang digerakkan oleh pihak yang tidak suka pada suara kritis," kata Usman. "Apalagi jika suara kritis itu sudah mengarah maupun berpotensi untuk mendorong kritik menjadi protes jalanan. Jika pun mengarah ke sana, itu tetap merupakan ekspresi yang sah, dilindungi oleh Konstitusi dan Undang-Undang," sambung Usman. Usman menegaskan, pernyataan kuasa hukum para pelaku tidak mudah diterima karena tidak disertai dengan bukti-bukti yang kuat. "Sulit diterima nalar argumen mereka. Argumen lemah, penjelasan lemah, dan tidak ditopang oleh bukti," kata Usman. Dengan demikian, polisi diharapkan untuk mengusut tuntas kasus pembubaran paksa kegiatan diskusi tersebut. Jika tindakan seperti ini terus dibenarkan, maka akan berpotensi menyulut kekerasan berbasis kedaerahan atau SARA. Sebab, mereka berupaya mengumpulkan orang-orang dengan kesamaan asal usul kedaerahan sehingga seolah ada perbedaan identitas. "Jadi, siapa yang sebenarnya bisa memecah belah?" kata Usman. Adapun kelompok membubarkan diskusi di Hotel Grandkemang, sekitar pukul 09.30 WIB. Awalnya kelompok itu berdemonstrasi di depan hotel dengan tuntutan diskusi segera dihentikan. Aksi mereka dikawal oleh kepolisian. Namun, sekitar 10 sampai 15 orang dari kelompok itu diduga memasuki area hotel dari jalur belakang, lalu membubarkan diskusi. Mereka diduga melakukan kekerasan terhadap petugas keamanan dan merusak properti Hotel Grandkemang. Kini, lima orang telah ditangkap dan dua di antaranya ditetapkan sebagai tersangka. Kedua tersangka itu adalah FEK berperan sebagai koordinator lapangan dan GW kedapatan merusak properti. Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Sentimen: negatif (99.6%)