Sentimen
30 Sep 2024 : 07.14
Informasi Tambahan
Brand/Merek: KIA
Kab/Kota: Palu
Kasus: kekerasan seksual, pelecehan seksual, PDP
Tokoh Terkait
Prestasi DPR 2019-2024 Sahkan UU yang Disambut Baik Masyarakat: UU TPKS, KIA, dan PDP
30 Sep 2024 : 14.14
Views 3
Kompas.com Jenis Media: Nasional
Prestasi DPR 2019-2024 Sahkan UU yang Disambut Baik Masyarakat: UU TPKS, KIA, dan PDP
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024 tercatat mengesahkan sejumlah undang-undang (UU) yang mengundang tepuk tangan dari masyarakat.
Berikut daftar UU yang disahkan DPR dan disambut meriah oleh publik selama peridoe 2019-2024:
DPR secara resmi mengesahkan RUU TPKS menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR pada Selasa (12/4/2022). Penantian ini sudah ditunggu selama 6 tahun oleh masyarakat.
"Ini hadiah bagi seluruh rakyat Indonesia dan kemajuan bangsa kita. Karena
UU TPKS
adalah hasil kerja bersama sekaligus komitmen bersama kita, untuk menegaskan bahwa di Indonesia tidak ada tempat bagi kekerasan seksual," kata Ketua DPR Puan Maharani saat itu.
Sesaat setelah palu diketuk, suara tepuk tangan langsung membahana di ruang rapat paripurna.
Suara tepuk tangan itu berasal dari para anggota dewan dan masyarakat umum yang hadir di area balkon.
UU TPKS merupakan aturan yang berpihak kepada korban serta memberikan payung hukum bagi aparat penegak hukum yang selama ini belum ada untuk menangani kasus kekerasan seksual.
Menurut DPR, UU TPKS merupakan bentuk kehadiran negara untuk bagaimana memberikan rasa keadilan dan perlindungan kepada korban kekerasan seksual.
Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga menyebutkan, ada sejumlah terobosan yang tertuang dalam UU TPKS.
Pertama, UU ini mengkualifikasikan tindak pidana kekerasan seksual dan tindak pidana lain yang dinyatakan sebagai tindak pidana kekerasan seksual.
Sejumlah jenis kekerasan seksual yang diatur dalam UU TPKS, antara lain pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan perkawinan, perbudakan seksual, serta kekerasan seksual berbasis elektronik.
Kedua, UU TPKS mengatur hukum acara yang komprehensif, mulai tahap penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan di sidang pengadilan dengan tetap menjunjung tinggai hak asasi manusia, kehormatan, dan tanpa intimidasi.
UU TPKS juga mengakui dan menjamin hak korban atas penanganan perlindungan dan pemulihan sejak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual yang merupakan kewajiban negara.
Selain itu, UU TPKS mengatur perhatian yang besar terhadap penderitaan korban dalam bentuk pemberian restitusi, yakni ganti rugi yang harus dibayarkan pelaku tindak pidana kekerasan seksual bagi korban.
UU TPKS mengatur perhatian yang besar terhadap penderitaan korban dalam bentuk pemberian restitusi, yakni ganti rugi yang harus dibayarkan pelaku tindak pidana kekerasan seksual bagi korban.
Perkara tindak pidana kekerasan seksual juga tidak dapat diselesaikan di luar proses pengadilan, kecuali terhadap pelaku anak.
Pemerintah menganggap terobosan-terobosan itu memenuhi kebutuhan masyarakat terkait kekerasan seksual. itu memenuhi kebutuhan masyarakat terkait kekerasan seksual.
RUU PDP akhirnya disahkan DPR dalam Rapat Paripurna kelima Masa Persidangan I Tahun sidang 2022-2023 pada Selasa (20/9/2022).
Ini merupakan kabar baik bagi Indonesia. Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir ini, keamanan data pribadi menjadi sorotan karena terus mengalami kebocoran.
UU PDP pun mengatur lembaga yang berperan dalam mewujudkan penyelenggaraan perlindungan data pribadi.
Dalam Pasal 58, disebutkan bahwa penyelenggaraan data pribadi ditetapkan oleh Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Nantinya, lembaga tersebut akan merumuskan dan menetapkan kebijakan perlindungan data pribadi yang menjadi panduan bagi subjek data pribadi, pengendali data pribadi, dan prosesor data pribadi.
Lembaga tersebut juga bertugas mengawasi penyelenggaraan perlindungan data pribadi dan penegakan hukum administratif terhadap pelanggar UU PDP.
Dalam Pasal 65, dijelaskan bahwa setiap orang dilarang secara melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat berakibat pada kerugian subyek data pribadi.
Setiap orang juga dilarang secara melawan hukum mengungkapkan dan menggunakan data pribadi bukan miliknya.
Apabila larangan itu dilanggar, dapat dipidana penjara maksimal lima tahun atau denda paling banyak Rp 5 miliar.
Bagi setiap orang yang dengan sengaja membuat data pribadi palsu atau memalsukan data pribadi untuk meraup keuntungan, maka dapat dipidana paling lama 6 tahun penjara dan denda maksimal Rp 6 miliar.
Meski demikian, UU PDP tak kunjung menjadi jawaban bagi kebocoran data yang terus-menerus terjadi di Indonesia.
Pakar keamanan siber Alfons Tanujaya mengatakan, UU PDP masih memerlukan aturan turunan dan lembaga khusus menangani masalah data pribadi.
"Butuh waktu enam bulan sampai satu tahun. Kalau semuanya berjalan lancar, baru lembaga PDP ini bisa dibentuk dan aturan turunannya sudah jadi," kata Alfons kepada Kompas.com, Selasa (18/7/2023).
Ia menuturkan, UU PDP diharapkan mampu mencegah kebocoran data jika sudah diterapkan dengan benar. Namun, kondisi tersebut menurutnya bergantung pada implementasi dan kontrol terhadap UU PDP.
"Jadi walaupun ada aturan UU PDP, tetapi tidak diimplementasikan dan ditegakkan dengan baik, ya tidak akan terlalu signifikan," ujar dia.
DPR mengesahkan UU KIA dalam rapat paripurna DPR pada Selasa (4/6/2024) lalu.
Disahkannya UU KIA memberikan angin segar bagi para ibu pekerja. Kini, mereka bisa mendapatkan hak cuti melahirkan hingga 6 bulan.
Landasan hukum untuk cuti melahirkan selama 6 bulan bagi seorang ibu sudah dinantikan sejak lama.
Sebab sejumlah negara sudah memberlakukan kebijakan itu dengan tujuan memberikan kesejahteraan batin bagi ibu dan anak.
Selain itu, UU KIA juga menjamin ibu yang bekerja dan mendapat cuti selama 6 bulan selepas melahirkan tetap mendapatkan gaji.
UU KIA turut menjamin seorang ibu yang bekerja dan sedang melaksanakan cuti melahirkan tidak bisa diberhentikan dari pekerjaannya.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily menjelaskan, cuti melahirkan sebagaimana diatur dalam UU KIA pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan sebenarnya hanya tiga bulan.
Kendati demikian, menurut UU KIA, durasi cuti melahirkan tiga bulan bisa diperpanjang menjadi enam bulan, asalkan dokter menilai ibu dalam kondisi perlu waktu pemulihan ekstra.
“Sesungguhnya tidak enam bulan, (tetapi) tiga bulan. Ini sesuai dengan UU Ketenagakerjaan. Jadi, UU KIA ini difokuskan kepada ibu hamil dan ibu melahirkan, serta anak yang berusia seribu hari kehidupan itu,” ujar Ace, Rabu (5/6/2024).
Jika ibu bisa mendapatkan cuti melahirkan hingga 6 bulan, bagaimana dengan ayah dari sang anak?
Ketua Panja Pemerintah untuk UU KIA Lenny Nurhayati Rosalin mengatakan, durasi cuti untuk ayah sudah dibahas bersama-sama dengan sejumlah ahli saat proses penyusunan UU KIA.
Hasilnya, cuti bagi ayah selama 2 hari dan bisa diperpanjang 3 hari berikutnya untuk keperluan pendamping ibu saat proses melahirkan, dan setelah melahirkan.
"Cuti Ayah memang disesuaikan dengan kebutuhan. Karena waktu kita membahas RUU ini juga banyak dokter-dokter yang menyatakan bahwa kalau lahir normal itu, sebetulnya sehari saja sudah bisa pulang," ujar Lenny di Gedung KemenPPPA, Rabu (12/6/2024).
"Kalau operasi itu sebetulnya hari kedua juga sudah bisa turun dari tempat tidur gitu," kata dia lagi.
Meski begitu, kata Lenny, aturan cuti ayah tersebut masih bisa diperpanjang sesuai kesepakatan dengan pihak perusahaan atau tempat kerja.
Lenny meyakini bahwa permintaan itu dapat diberikan, terutama jika sang ibu mengalami kondisi kerentanan khusus usai melahirkan.
Sebab, UU KIA juga mengatur pemberian waktu yang cukup bagi suami untuk mendampingi istri atau anak yang mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, atau komplikasi pasca melahirkan.
"Bahkan nanti perusahaan pun mungkin akan membuat dan menyelaraskan lagi peraturan perusahaannya dengan UU KIA ini sebagai sebuah proses," kata Lenny.
Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Sentimen: negatif (94.1%)