Sentimen
28 Sep 2024 : 18.00
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Gunung
Kasus: kekerasan seksual, pelecehan seksual
Tokoh Terkait
Kasus Asusila Guru dan Murid di Gorontalo dan Darurat Kekerasan Seksual di Dunia Pendidikan Regional 28 September 2024
Kompas.com Jenis Media: Regional
28 Sep 2024 : 18.00
Kasus Asusila Guru dan Murid di Gorontalo dan Darurat Kekerasan Seksual di Dunia Pendidikan
Editor
KOMPAS.com
- Dugaan tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan seorang
guru
terhadap muridnya di sekolah menengah agama di
Gorontalo
mencerminkan bahwa “dunia pendidikan sedang darurat kekerasan seksual”.
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan
Guru
(P2G) Satriwan Salim menyebutnya sebagai “darurat“ karena tindakan kekerasan seksual anak di satuan pendidikan terus berulang dengan tren meningkat. Hal ini diperparah dengan sanksi terhadap pelaku yang rendah sehingga tidak menimbulkan efek jera.
“Ini sudah darurat. Antisipasi pencegahan dan penanganannya harus secara luar biasa karena ini sudah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) bagi kami,” kata Satriwan saat dihubungi
BBC News Indonesia,
Kamis (26/09).
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat sedikitnya 101 korban kekerasan seksual yang terjadi di satuan pendidikan pada Januari hingga Agustus 2024. Adapun sepanjang 2023, jumlahnya tercatat dua kali lipat, yakni 202 anak.
Tingginya kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan, menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), disebabkan oleh relasi kuasa antara guru dan
murid
yang tidak seimbang ditambah lemahnya pengawasan.
Kementerian Agama—yang menaungi satuan pendidikan agama—telah menjatuhkan "sanksi berat" kepada guru tersebut, tanpa merinci bentuk sanksi yang diberikan.
BBC News Indonesia
telah menghubungi terduga pelaku yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi, namun hingga artikel ini diterbitkan yang bersangkutan tidak memberikan respons.
Hingga Jumat (27/09), belum ada kuasa hukum yang mewakili tersangka.
Seorang guru berinisial DH di salah satu lembaga pendidikan agama di Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo, diduga melakukan tindak asusila kepada seorang murid perempuan yang duduk di bangku kelas 12.
Kejadian itu terungkap usai beredarnya video yang merekam dugaan asusila oknum guru berusia 57 tahun tersebut terhadap korban.
Paman korban, Karim Toiti, mengeklaim apa yang dialami keponakannya adalah murni pelecehan seksual terhadap anak di bawa umur.
Dia menuduh oknum guru itu menggunakan relasi kuasa untuk memanipulasi sehingga keponakannya merasa tertekan dan tidak bisa berbuat apa-apa hingga akhirnya terjadi dugaan kekerasan seksual.
Berdasarkan pengakuan korban kepadanya, Karim menerangkan bahwa awalnya pelaku mulai menyentuh salah satu bagian tubuh sensitif korban di ruangannya. Korban mengaku merasa kaget hingga menangis kala itu.
“Peristiwa itu sempat diceritakan kepada temannya, dan ponakan saya menangis karena dilakukan seperti itu,” kata Karim kepada kepada Sarjan Lahay, wartawan di Gorontalo yang melaporkan untuk
BBC News Indonesia
, Kamis (26/09).
Akibat peristiwa itu, kata Karim, keponakannya sempat trauma dan beberapa hari tidak mau masuk ruangan guru di sekolah itu.
Meski tidak ada ancaman dari pelaku ke korban, klaim Karim, modus asmara terus dimanfaatkan pelaku untuk memanipulasi korban.
BBC News Indonesia
telah menghubungi terduga pelaku untuk dimintai tanggapan terkait tudingan-tudingan yang ditujukan padanya, namun hingga artikel ini diterbitkan yang bersangkutan tidak memberikan respons.
Adapun hingga Jumat (27/09) yang bersangkutan disebut belum didampingi kuasa hukum.
Karim kemudian menambahkan bahwa dirinya kecewa dengan pihak sekolah yang tidak melakukan pengawasan dengan baik terhadap guru dan siswanya.
Dia juga memprotes dengan keras pandangan sekolah yang tidak memiliki perspektif korban—akibat peristiwa ini, keponakannya dikeluarkan dari sekolah.
Menurutnya, sekolah tidak melihat secara mendalam kasus ini dan hanya memandang bahwa ponakannya adalah pihak yang juga turut bersalah.
“Sekolah hanya mengacu kepada aturan tata tertib yang mereka buat bahwa siswa yang mencemarkan nama baik sekolah harus dikeluarkan. Padahal ini adalah kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur. Hak ponakan saya harus dilindungi,” jelas Karim.
Karim menduga sikap sekolah yang mengeluarkan keponakannya sebagai upaya untuk melepas tanggung jawab.
“Peristiwa ini terjadi sudah dua tahun lama. Berdasarkan informasi yang saya dapat, hubungan ini sudah diketahui oleh sekolah, tapi sekolah hanya diam saja, tidak melakukan apa-apa,” jelasnya.
Senada, kuasa hukum korban, Yudin Yunus, mengatakan kebijakan yang diambil sekolah terkesan berpihak kepada pelaku, bukan kepada korban.
“Jika kasus ini diketahui oleh sekolah dan mereka hanya diamkan saja. Artinya, pihak sekolah bisa dibilang turut serta dalam terjadi kasus ini dan sekolah harus benar-benar bertanggung jawab di pengadilan,” tegasnya.
Namun setahun kemudian, dirinya mendapatkan laporan dari berbagai pihak terkait hubungan yang tak wajar antar keduanya. Dia kemudian melakukan pemeriksaan tertutup dengan membuat berita acara pemeriksaan (BAP).
Keduanya, kata Rommy, bersikukuh tidak mengakui hubungan terlarang mereka itu.
“Mereka berdua hanya mengakui sebagai pembimbing dengan yang dibimbing saja. Tetapi saya tetap memperingatkan mereka,” RB kepada wartawan Sarjan Lahay yang melaporkan untuk
BBC News Indonesia,
Kamis (26/09).
Pada Agustus silam, RB menjelaskan, istri oknum guru melaporkan dugaan hubungan ini kepadanya. Pihak sekolah pun melakukan pemeriksaan kedua.
“BAP kedua yang dilakukan pada 29 Agustus 2024 lalu itu hanya berdasarkan aduan istri dari oknum guru ini. Belum ada video yang beredar ini,” ungkapnya.
Hingga Jumat (27/09) sore,
BBC News Indonesia
masih berupaya untuk mewawancarai istri oknum guru untuk dimintai konfirmasi terkait peristiwa tersebut.
Namun, pada Sabtu (21/09) lalu, RB kaget dengan video yang beredar di media sosial yang memuat dugaan tindak susila oknum guru dan siswanya itu.
Ia mengaku geram dan langsung menonaktifkan oknum guru itu dari jadwal pelajaran di sekolahnya.
Adapun status siswa yang bersangkutan, menurut RB sudah tak mau lagi datang ke sekolah karena mengalami trauma yang mendalam—berdasar konsultasi dengan pihak keluarga.
RB bilang pihaknya sempat menawarkan kepada keluarga siswa tersebut untuk tetap melanjutkan pendidikan, namun bukan di sekolah yang didirikannya.
Dalam aturan yang dibuat oleh sekolahnya, tegas RB, siapa pun yang melakukan kesalahan dengan mencemarkan nama baik instansi harus dikeluarkan dari sekolah.
Kendati begitu, dia menampik tudingan bahwa pihak sekolah tidak melindungi korban.
Ia mengaku siap membantu keluarga korban untuk mencari sekolah baru agar siswi itu bisa melanjutkan pendidikannya.
“Siswa ini sudah kelas 12, tinggal beberapa bulan lagi lulus. Jadi saya tawarkan untuk pindah ke sekolah baru dan saya siap membantu mendaftarkan siswa tersebut. Saya juga akan upayakan model pembelajaran secara daring saja,” ujarnya.
Tersangka pelaku dijerat dengan Pasal 81 ayat 3 Undang-Undang Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman hingga 15 tahun penjara.
“Yang ditambah sepertiga dari hukuman yang telah ditetapkan sebagai unsur bahwa pelaku adalah seorang tenaga pendidik,” kata Deddy, Rabu (25/09).
Deddy membenarkan modus pelaku dengan menggunakan pendekatan hubungan asmara.
Merujuk pada kronologi kejadian, jelas Deddy, pada awal 2022 silam korban mulai dekat dengan tersangka DH. Pada September, keduanya sudah menjalin asmara.
"Sedangkan perbuatan persetubuhan pertama kali dilakukan sekitar Januari 2024, dan terakhir September 2024 dilakukan di salah satu rumah teman korban," katanya.
Hingga Jumat (27/09) belum ada kuasa hukum yang mendampingi tersangka.
BBC News Indonesia
telah menghubungi tersangka untuk dimintai tanggapan terkait tuduhan terhadapnya, namun hingga artikel ini diterbitkan, yang bersangkutan belum memberikan tanggapan.
Kepala Dinas (Kadis) Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPPA) Kabupaten Gorontalo, Zascamelya Uno, mengatakan pihaknya siap mendampingi korban—baik dalam proses hukum, dan pendampingan secara psikologi.
Zascamelya berkata saat ini mereka fokus untuk terus melakukan pendampingan kepada korban, termasuk melakukan pemeriksaan dengan psikolog untuk menenangkan dan memulihkan kembali kondisi psikologisnya.
“Selain itu, kami tidak ingin kasus ini menghalangi dia mendapatkan ijazahnya, terutama karena dia sudah berada di kelas 12. Itu hak anak yang dilindungi oleh undang-undang, apapun kondisinya," kata Zascamelya, Rabu (25/09).
Satriawan mengatakan “situasi darurat“ itu dikarenakan tindakan kekerasan seksual di satuan pendidikan terus berulang dengan tren yang meningkat, ditambah rendahnya sanksi terhadap pelaku sehingga tidak menimbulkan efek jera.
Untuk itu, katanya, pemerintah harus membuat rencana aksi nasional pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan. Hal pertama yang dilakukan, tambahnya, adalah dengan memberikan sanksi yang berat kepada pelaku.
Merujuk pada kasus yang terjadi di Gorontalo, pelaku harusnya dijerat dengan pasal berlapis, mulai dari UU KUHP, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, UU Perlindungan Anak, UU ASN, hingga UU Guru dan Dosen, menurut Satriwan.
“Ini hendaknya menjadi semacam alarm bahwa tindak kekerasan seksual ke anak, sanksinya berat, misalnya apakah dikebiri atau kemudian dipenjara seumur hidup,“ katanya dengan geram.
Kemudian, tambahnya, dalam rencana itu juga harus dilakukan penilaian kepada calon dan pengajar secara total, baik di sekolah hingga satuan pendidikan keagamaan, untuk mencegah calon pengajar memiliki orientasi seksual yang menyimpang terhadap anak.
Selain itu, perlu dibentuk sistem deteksi dini kekerasan seksual di lingkungan pendidikan sehingga ketika ada potensi terjadinya kekerasan dapat dicegah.
“Seperti di Gorontalo, kami menduga guru dan murid punya hubungan, masa sekolah tidak tahu? Lalu kalau tahu langkah apa yang diambil? Ini kan yang tidak ada sehingga dampaknya seperti ini,“ ujar Satriwan.
Senada, Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti menyebut kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan yang terungkap ke publik seperti di Gorontalo dan wilayah lainnya seperti “fenomena gunung es”.
FSGI mencatat setidaknya terjadi 101 korban kekerasan seksual di satuan pendidikan dari Januari hingga Agustus 2024.
Kemudian dari Januari hingga Mei 2023, FSGI mendata ada 22 kasus kekerasan seksual dengan jumlah korban mencapai 202 anak di lingkungan pendidikan, dengan pelaku yaitu guru, pemimpin pondok pesantren, hingga guru.
“Berhadapan dengan orang yang dihormati, disegani, ditakuti, bahkan ada iming-iming apa pun menunjukkan sisi kerentanan anak. Ini yang KPAI lihat sebagai sisi kedaruratannya, yaitu relasi kuasa sedemikian besar memposisikan anak sangat rentan,” kata Ketua KPAI Ai Maryati Solihah.
“Sangat miris, berulang terjadi lagi di lingkup pendidikan yang harusnya menjadi tempat rumah kedua yang aman setelah di rumahnya,“ katanya.
Untuk itu, Maryati mengatakan perlu adanya penguatan implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) di dunia pendidikan—terutama di tempat-tempat yang dianggap “keramat“ seperti sekolah hingga tempat keagamaan.
Selain itu, Maryati juga menyoroti korban anak yang akan mengalami kerentanan berlapis, mulai dari dampak kekerasan seksual, fisik dan psikologis, hingga dampak sosial.
“Malu sekolah, di-bully, hidup sendiri dengan stigma, keluarga belum tentu bisa menerima. Ini akan dirasakan oleh anak seumur hidupnya. Makanya perlu rehabilitasi yang cepat dan komprehensif,“ katanya.
Kementerian Agama (Kemenag) yang menaungi satuan pendidikan agama telah menjatuhkan sanksi kepada oknum guru tersebut, tanpa merinci bentuk sanksi yang diberikan.
"Setelah kami BAP, untuk saat ini oknum guru tersebut kami beri sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku berdasarkan beberapa pertimbangan yang telah kita kaji secara bersama," kata Kepala Bagian Tata Usaha Kantor Kemenag Gorontalo Mahmud Y. Bobihu.
Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Madrasah Kemenag, Thobib Al Asyhar menyesalkan kejadian seraya memastikan pelaku akan mendapat saksi berat.
"Kami sedang proses, guru yang bersangkutan akan segera mendapat sanksi berat sesuai regulasi. Kami tidak mentolerir hal ini. Guru seharusnya melindungi peserta didiknya,” tegas Thobib Al Asyhar di Jakarta, Kamis (26/09).
“Kami akan memberikan sanksi berat bagi guru tersebut sebagai langkah untuk menegakkan disiplin dan memberi efek jera,” tegasnya.
Terkait siswi yang menjadi korban, Thobib minta kepala madrasah dan Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gorontalo untuk memberikan perhatian, baik secara psikologis maupun sosial.
"Kepala madrasah diharapkan segera mengambil langkah-langkah untuk melindungi peserta didiknya," tambahnya.
Sementara saat dikonfirmasi
BBC News Indonesia
terkait upaya evaluasi dan pencegahaan kekerasan seksual di institusi pendidikan agama, juru bicara Kemenag, Anna Hasbie, mengatakan “tindakan asusila melanggar disiplin pegawai negeri sipil (PNS) diatur dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS.”
Anna menjelaskan, pada pasal 3 huruf f diatur bahwa “PNS wajib menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku, ucapan, dan tindakan kepada setiap orang, baik di dalam maupun di luar kedinasan.“
“Sementara pasal 8 mengatur tentang hukuman disiplin, baik ringan, sedang, sampai berat. Untuk hukuman disiplin berat, terdiri atas: a) penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan; b) pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 (dua belas) bulan; dan c) pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS.“
Laporan tambahan oleh Sarjan Lahay di Gorontalo
Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Sentimen: negatif (100%)