Sentimen
Negatif (100%)
28 Sep 2024 : 14.24
Informasi Tambahan

Agama: Kristen

Grup Musik: APRIL

Hewan: Ayam, Babi

Kab/Kota: Gunung, Mataram, Jayapura, Wamena, Nabire

Kasus: pembunuhan, HAM

Tokoh Terkait
joko widodo

joko widodo

Moses

Moses

Egianus Kogoya

Egianus Kogoya

Christensen

Christensen

Nikolaus Kondomo

Nikolaus Kondomo

3 Cerita di Balik Hari-hari Jelang Pembebasan Pilot Susi Air Philip, Warga: Kau Harus Jadi Saksi Hidup Kami Regional

28 Sep 2024 : 14.24 Views 20

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Metropolitan

Cerita di Balik Hari-hari Jelang Pembebasan Pilot Susi Air Philip, Warga: Kau Harus Jadi Saksi Hidup Kami Editor KOMPAS.com - Berbagai pihak mengupayakan pembebasan eks pilot Susi Air asal Selandia Baru, Philip Mehrtens, yang disandera milisi pro-kemerdekaan Papua selama 1,5 tahun hingga akhirnya dibebaskan pada Sabtu (21/09) silam. Terjadi pertemuan di Port Moresby, Papua Nugini, hingga Singapura, yang melibatkan sejumlah delegasi dan juga mediator. Namun pihak yang memiliki kedekatan keluarga dengan Egianus Kogoya yang akhirnya melapangkan jalan Philip keluar Papua. Siapa saja yang terlibat dalam negosiasi? Apa saja kesepakatan yang mereka ambil? BBC News Indonesia berbincang dengan para pihak yang turut dalam pembebasan Philip Mehrtens. Seremoni bakar batu berlangsung, Sabtu (21/09), di Kampung Yuguru, Distrik Maibarok, Kabupaten Nduga. Seluruh penghuni Yuguru hadir, termasuk mereka yang mengungsi ke kampung itu akibat konflik bersenjata antara militer Indonesia dan kelompok milisi pro-kemerdekaan Papua. Namun, prosesi kultural warga pegunungan di Papua yang disebut antropolog sebagai penyambung solidaritas dan persekutuan itu digelar tidak seperti biasanya. Hari itu warga Yuguru berkumpul dan secara bersama-sama memasak daging, umbi-umbian, serta sayur-mayur untuk seseorang yang mungkin tidak akan pernah lagi datang ke kampung mereka: Philip Mehrtens. Pilot asal Selandia Baru itu yang telah 593 hari menjadi sandera kelompok bersenjata pro-kemerdekaan Papua, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB)—sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM). “Kami tangkap pilot Mehrtens bukan karena apa, tapi agar kami menjadi keluarga,” kata Sabilik Karunggu usai makan bersama usai. Sabilik adalah pria paruh baya yang memanggul status Ketua Klasis Gereja Kristen Injili di kampung itu. Dia adalah pengurus gereja. Selama beberapa bulan terakhir, Philip makan dan tidur—hidup bersama—keluarga Sabilik di pusat Yuguru. “Kami tangkap pilot ini bukan karena masalah lain, tapi karena kami mau merdeka,” ujar Sabilik dalam bahasa Nduga. Saat menuturkan itu, Philip berada di hadapan Sabilik—duduk di atas bangku, bersebelahan dengan Edison Gwijangge, mantan penjabat Bupati Nduga. Di belakang keduanya, warga Yuguru—termasuk anak-anak dan perempuan—duduk di atas tanah dengan rumput yang mengering. “Atas dasar itu, pilot Marthen ini kami jaga baik. Tidak ada luka. Tidak ada gangguan psikologis,” kata Sabilik. “Dia adalah manusia. Sebagai teman, dia harus menjadi saksi hidup kami di Selandia Baru,” ujar Sabilik. Sekitar tujuh menit setelah Sabilik memulai pidatonya, seluruh prosesi bakar batu dan perpisahan itu usai. Warga lantas berdiri dan mengelilingi Philip. Satu per satu, mereka menjabat tangan kanan Philip dengan erat. Di tangan kirinya, Philip mendekap dua ekor ayam yang diberikan warga. "Simbol kasih sayang mendalam” dalam budaya Nduga, kata seorang pemuda kelahiran Yuguru, Yordan Karunggu. Philip meneruskan langkahnya ke arah tanah lapang yang membukit. Di sana mesin helikopter Dimonim Air yang datang untuk menjemput Philip telah dipanaskan. Warga Yuguru, termasuk para kombatanTPNPB-OPM, melambaikan tangan mereka. Philip kemudian lepas landas, meninggalkan orang-orang yang menitipkan harapan kepadanya. Berangkat dari Wamena di Kabupaten Jayawijaya, Yordan harus lebih dulu singgah ke sebuah kampung di Distrik Kuyawage, Lanny Jaya. Dari situ, dia melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju Yuguru. Yordan kerap menghabiskan tiga malam sebelum tiba ke Yuguru. Waktu tempuh ini bisa berkali lipat jika dijalani mereka yang tak biasa melintasi hutan hujan tropis di pegunungan Papua. Kurang dari setahun sebelumnya, Yordan menamatkan pendidikan tinggi di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Dia menjadi satu dari sedikit anak Yuguru yang bisa mendapat pencapaian itu. Tak sekedar untuk melepas rindu, Yordan pulang ke Yuguru dengan tujuan lain. Bersama orang-orang muda Yuguru lainnya, Yordan menginisiasi apa yang mereka sebut sebagai sekolah rakyat. Mereka mengumpulkan donasi buku dari sejumlah kelompok literasi yang berbasis di daerah lain di Papua. Proses belajar mengajar mereka lakukan di sebuah pondok kecil terbuat dari kayu. Sabilik Karunggu, sebagai pengurus gereja dan orang tua yang dihormati di Yuguru, mendukung gerakan belajar bernama Sekolah Rakyat Nuwi Nindi ini. Ruang belajar itu dibentuk bukan semata sebagai solusi tidak beroperasinya sekolah-sekolah di hampir seluruh Nduga sejak 2018. Yordan berkata, mereka membuka ruang belajar untuk mewujudkan pemikiran filsuf Paulo Freire, bahwa “setiap orang harus mendidik diri agar bisa terbebas dari ketidakadilan”. “Hampir semua anak di Yuguru tidak sekolah, terutama sejak 2017,” kata Yordan. “Mereka tidak bisa baca-tulis. Padahal ada yang sudah berumur 14, bahkan 19 tahun,” ujarnya. Sejak integrasi Nugini Belanda ke Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang kontroversial pada 1969, konflik bersenjata serta eksesnya telah berkecamuk di Nduga. Sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM), sejak Pepera 1969, telah beberapa kali melakukan penyanderaan. Philip Mehrtens bukan pilot pertama yang mereka sandera. Pada 26 Maret 1984, milisi OPM di bawah pimpinan James Nyaro menyandera pilot asal Swiss yang bekerja untuk maskapai AMA, Werner Wyder, di dekat perbatasan Papua Nugini. James awalnya dikabarkan menuntut bayaran sebesar US$1,6 juta (setara Rp24,1 miliar dalam nilai tukar saat ini) untuk pembebasan Werner. Namun tuntutan itu berubah menjadi desakan agar pemerintah Swiss bersedia menjadi mediator bagi Indonesia dan OPM untuk membahas kemerdekakan Papua. Semua tuntutan James itu tak terwujud. OPM melepas Werner pada 8 April 1984, dalam kondisi sehat. Sebelum pergantian milenium, kelompok bersenjata pro-kemerdekaan Papua memusatkan aksi pada persoalan ketidakadilan akibat tambang emas yang dioperasikan Freeport-McMoran—kini PT. Freeport Indonesia. Atas persoalan itu pula, pada 8 Januari 1996, mereka menyandera 26 peneliti yang tergabung dalam Tim Ekspedisi Lorentz 1995. Peristiwa itu terjadi di Mapenduma, distrik yang sejak pemekaran tahun 2008 masuk wilayah Nduga. Penyanderaan dengan tuntutan kemerdekaan Papua itu dimotori Kelly Kwalik, mantan guru yang pada dekade 1970-an memutuskan untuk mengangkat senjata. Belakangan dia menjadi “pemimpin besar” OPM. Dalam penyanderaan tahun 1996 itu, Kelly disokong sejumlah figur lain di OPM, salah satunya Daniel Yudas Kogoya. Daniel adalah ayah kandung Egianus, pimpinan Komando Daerah III TPNPB yang menculik dan menyandera Philip Mehrtens. “Saya itu ambil sandera tapi selalu kembalikan mereka,” ujar Daniel kepada Mark Davies, jurnalis Australian Broadcasting Corporation yang menemuinya sekitar tahun 1999. “Saya tangkap, saya kembalikan. Kasih makan, pelihara, lalu kasih kembali,” kata Daniel. Operasi militer pembebasan sandera saat itu dipimpin Prabowo Subianto. Mantan Atase Militer di Kedutaan Inggris sekaligus eks perwira Pasukan Khusus Inggris, Ivor Helberg, turut menjadi penasehat dalam operasi ini. Babak akhir pembebasan para sandera itu berakhir dengan kegagalan perundingan yang dijembatani Palang Merah Internasional. Melalui operasi pembebasan bersenjata oleh Kopassus, sembilan peneliti—dua di antaranya warga Belanda dan empat warga Inggris—lepas dari penyanderaan. Mereka menyusul 15 kolega yang lebih dulu dilepaskan oleh OPM. Namun dua peneliti berkewarganegaraan Indonesia dari Universitas Nasional Jakarta tewas, yakni Navy Panekanan dan Yosias Lasamahu. Start berkata kepada jurnalis Mark Davies yang melaporkan untuk ABC Australia , keduanya tewas di tangan warga sipil yang mengamuk. Pemicunya, kata dia, operasi bersenjata TNI menewaskan warga yang tak terlibat dalam penyanderaan. Hingga saat ini, tidak pernah ada investigasi independen yang memverifikasi siapa pelaku pembunuhan Navy dan Yosias. Lebih dari itu, menurut dokumentasi Elsham yang disusun pegiat HAM, John Rumbiak, sejumlah warga sipil juga mengalami luka, bahkan tewas, ditembak tentara pada hari terakhir operasi pembebasan. Seluruh tudingan ini dibantah oleh para pihak yang terlibat dalam pembebasan sandera—para pejabat Palang Merah Indonesia, Ivor Helberg, dan juga militer Indonesia. Selain kematian, peristiwa penyanderaan itu juga memicu gelombang pengungsian warga Nduga. Dan pada Desember 2018—sekitar 22 tahun setelah penyanderaan Mapenduma—gelombang pengungsian dan kematian kembali terjadi di Nduga. Eskalasi konflik kala itu kembali melonjak setelah milisi di bawah komando Egianus Kogoya membunuh belasan orang yang mengerjakan proyek jalan Trans Papua untuk PT Istaka Karya di Distrik Yigi. Peristiwa pembunuhan itu ditanggapi pemerintah dengan pengerahan aparat hingga penyisiran berbagai kampung. Per Agustus 2019, jumlah pengungsi menurut perhitungan Pemerintah Kabupaten Nduga mencapai sekitar 37 ribu orang. Gelombang pengungsian warga Nduga terus terjadi, termasuk setelah TPNPB menangkap Philip di Distrik Paro, pada 7 Februari 2023. Sementara per September 2024, Human Rights Monitor mencatat, mayoritas pengungsi internal Papua akibat konflik bersenjata berasal dari Nduga. Jumlahnya sekitar 56 ribu orang. “Saya memberi salam dan bicara dengannya,” kata Yordan. “Bukan hanya saya, masyarakat juga bertemu dan bisa berbicara dengan pilot,” ujarnya. Philip, kata Yordan, saat itu terlihat santai. Dia melihat tidak terdapat bekas pukulan atau penyiksaan pada tubuh Philip. Pilot Susi Air itu juga tidak menunjukkan tanda gangguan psikologi. “Dia terlihat normal sekali,“ ujar Yordan. Berbeda dengan kepulangannya ke Yuguru pada Mei 2024, Agustus lalu Yordan melihat Philip kerap keluar dari rumah Sabilik Karunggu—pengurus gereja yang dituakan di kampung itu. Namun Philip tak pernah benar-benar sendiri saat berjalan di perkampungan itu. Yordan melihat setidaknya terdapat satu kombatan TPNPB yang selalu mengawalnya. Yuguru adalah satu dari sedikit kampung di Nduga yang tidak pernah kosong dalam beberapa tahun terakhir. Kampung ini menjadi salah satu titik pengungsian warga sipil dari wilayah lain di Nduga. Seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan yang nihil di Yuguru, tidak ada pos militer atau kantor polisi di kampung itu. Itu pula salah satu alasan bagaimana Philip bisa leluasa hidup bersama warga di sana. “Kami sudah biasa hidup tanpa negara,” kata Yordan. “Kami bisa berburu, mencari daging untuk makan. Kami bisa kerja ke kebun. “Kalau rajin bekerja, kami bisa bertahan hidup. Hanya orang yang tidak mau bekerja yang akan menderita di sini,“ tuturnya. Pada hari pertemuan Yordan dengan Philip, pimpinan TPNPB menggelar pertemuan di sebuah bukit, di atas perkampungan. “Mereka mau agar layanan pesawat kembali dibuka untuk Yuguru,” ujar Yordan, yang turut mengikuti pertemuan itu. “Mereka juga minta agar sekolah dan fasilitas kesehatan dijalankan. “Dan yang paling penting, mereka ingin agar beberapa anak Yuguru dikirim ke Selandia Baru untuk bersekolah,” kata Yordan. Selama Yordan berada di Yuguru, diskusi pembebasan Philip setidaknya digelar empat kali. Pertemuan semacam itu terjadi usai Egianus, pada 3 Agustus silam, mengumumkan bahwa TPNPB akan membebaskan Philip atas dasar kemanusiaan. Edison Gwijangge, mantan Penjabat Bupati Nduga, setidaknya sudah tiga kali bertemu Egianus saat rencana pembebasan Philip itu dipublikasikan. Perjumpaan mereka terjadi di Yuguru dan juga di Distrik Kuyawage, Lanny Jaya, yang bersebelahan dengan Nduga. Edison mengaku mendapat “mandat” untuk bernegosiasi dengan Egianus dari penjabat Gubernur Papua, Nikolaus Kondomo. Tugas itu, kata dia, berkaitan dengan jabatan Ketua Palang Merah Indonesia untuk wilayah Nduga yang diembannya. Sejak saat itulah, Edison memutuskan untuk terbang dengan helikopter sewaan menuju Yuguru. Namun pada awal Oktober 2023, Egianus mengancam akan menembak helikopter yang ditumpangi Edison jika dia benar-benar mendarat di Yuguru. Publik belum tahu jika Philip ternyata tinggal di kampung itu. “Pesawat yang kalian pakai masuk akan saya bakar dan pilot tetap akan kami sandera,” kata Egianus saat itu. Enam hari jelang Natal 2023, Edison akhirnya menginjakkan kaki di Yuguru, tanpa serangan dari TPNPB. Dia membawa beras dan bahan makanan lainnya untuk masyarakat. Pada akhir April 2024, Edison mengulangi kedatangan tersebut. Penerbangan Edison ke Yuguru menjadi semakin rutin, terutama setelah dia mengetahui keberadaan Philip di kampung itu. Ditangkap TPNPB di Distrik Paro, Philip lalu diajak berjalan kaki oleh kombatan TPNPB ke Yuguru. Philip juga sempat melintasi gunung dan lembah menuju Kuyawage—distrik di Lanny Jaya, tempat Edison bertemu Egianus. Suatu kali dalam kedatangannya ke Yuguru, Edison membawakan obat-obatan untuk Philip yang mengidap asma. “Pilot itu, sebagai tawanan, harus dibawah kendali lembaga independen, yang bisa urus pakaian, makan, obat-obatan,” kata Edison. Meski menyebut dirinya “independen”, Edison tetap menjalin strategi pembebasan Philip, setidaknya dengan pejabat militer dan kepolisian Indonesia. Februari 2024, Panglima Kodam Cenderawasih, Mayjen Izak Pangemanan dan Kapolda Papua, Mathias Fakhiri—yang sekarang menjadi calon gubernur Papua—mengeluarkan pernyataan senada. Mereka menyatakan, pembebasan Philip akan dilakukan melalui jalur negoisasi. Pemkab Nduga, dalam konteks ini Edison Gwijangge, menjadi ujung tombaknya. “Dalam setiap kali pertemuan, saya beri pemahaman kepada Egianus bahwa pilot ini warga sipil yang tidak punya kesalahan apa-apa,” kata Edison. “Pilot ini selama ini juga membantu kami masyarakat pegunungan. Jadi mereka tidak punya alasan apa pun untuk menahan pilot lama-lama,” tuturnya. Ketika Edison Gwijangge mulai rutin menyambangi Yuguru, upaya negosiasi lain juga berlangsung di tempat lain. Setidaknya ini yang diklaim Sebby Sambom, Juru Bicara TPNPB yang tinggal di Papua Nugini. Pada 5 April 2023, kata Sebby, timnya berjumpa dengan utusan pemerintah Selandia Baru di Port Moresby, Papua Nugini. Pertemuan itu diklaim Sebby terjadi berkat upaya Centre for Humanitarian Dialogue (HDC), organisasi swasta berbasis di Swiss yang menengahi penghentian konflik bersenjata. Namun pembicaraan tersebut tak berlanjut. Sebby berkata, pihaknya kemudian mengajukan fasilitator baru untuk menjembatani komunikasi mereka dengan Selandia Baru. Sebby membuat klaim, mereka meminta Peter Prove, Direktur Urusan Internasional di Dewan Gereja Dunia, melakukan upaya lobi-lobi tersebut. Shienny merupakan perwakilan HDC di Indonesia hingga tahun 2019. Dia turut dalam mengupayakan upaya dialog berbagai pihak dalam konflik Papua. Bersama HDC, Shienny turut mendukung Jaringan Damai Papua pimpinan Pater Neles Tebay yang mengupayakan dialog komprehensif Papua-Jakarta. Seorang pegiat HAM kawakan yang berbasis di Papua berkata mengetahui mediasi yang diupayakan Shienny. Dia berkata, Shienny “rajin berkomunikasi dengan Sebby Sambom untuk skenario pembebasan”. Shienny, sebagai mediator independen, menjembatani pertemuan delegasi TPNPB dengan empat perwakilan pemerintah Indonesia di Singapura, Juni lalu. Delegasi Indonesia berasal dari kepolisian, militer, Kemenko Polhukam, dan seorang staf ahli Presiden. Dalam wawancara via telepon, Shienny bilang bahwa pembebasan Philip tanpa kekerasan telah dijajaki dalam pertemuan itu. Kedua pihak, kata dia, ingin pembebasan itu terjadi paling lambat Oktober 2024. "Mereka (TPNPB) awalnya ingin menahan pilot sebagai jaminan Papua merdeka, tapi setelah beberapa kali diskusi, mereka sadar pilot tidak bisa menjadi alat tawar mereka," ujar Shienny. "Akhirnya mereka mengubah strategi. Mereka merasa bahwa pilot memang harus dibebaskan," tuturnya. Menurut Shienny, dialog antara TPNPB dan pemerintah Indonesia yang ditengahinya menghasilkan sejumlah komitmen. Milisi pro-kemerdekaan berjanji tidak akan melukai Philip. Di sisi lain, pemerintah menyatakan tidak akan melakukan operasi bersenjata untuk Philip. "Terbukti pilot keluar dari Nduga dengan keadaan sehat. Harus ada kredit untuk kedua belah pihak," ujarnya. Setelah mediasi pertama di Singapura, muncul usulan agar pertemuan lanjutan antara TPNPB dan delegasi Indonesia digelar di Bali. Sebby menyebut usulan itu “gila”. Sebagai orang yang dicap sebagai separatis oleh pemerintah Indonesia, Sebby yakin akan diciduk begitu menginjakkan kaki di Bali. “Saya tidak mungkin berani ke Bali. Itu konyol,” tuturnya. ”Masa saya bertemu musuh di kampung musuh. Itu tidak pernah terjadi sepanjang sejarah,” kata Sebby. Akhirnya Sebby memutuskan untuk tak beranjak dari pengasingan yang selama belasan tahun telah menjadi rumah barunya—di perbatasan Papua Nugini-Indonesia Mundur ke 5 Juli 2023, Presiden Joko Widodo tiba di Port Moresby. Dia bertemu Perdana Menteri Papua Nugini, James Marape. Dengan James, Jokowi membincangkan isu perbatasan. Mereka meresmikan pembukaan jalur perlintasan Skouw-Wutung. Terbentang 760 kilometer, perbatasan Papua Nugini-Indonesia telah menjadi isu sensitif sejak Pepera. Salah satu persoalan utamanya adalah gelombang pengungsian lintas generasi warga Papua ke Papua Nugini—termasuk yang dijalani Sebby. Tahun 1984 misalnya, ribuan orang Papua dari berbagai kabupaten melarikan diri dari operasi militer yang saat itu diklaim pemerintah untuk “menumpas OPM”. Kematian antropolog yang mendokumentasikan ragam budaya dan bahasa Papua, Arnold Clemens Ap, menjadi salah satu momen dalam Peristiwa 1984. Di Port Moresby pula, tim TPNPB sempat bertemu Juha Christensen, laki-laki asal Finlandia yang turut memediasi perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia. Sebby menyebut tatap muka itu difasilitasi oleh Benny Wenda—eksil Papua di Inggris yang mendirikan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Pertemuan tersebut terjadi di sebuah hotel bintang lima di Port Moresby. Namun tak lama setelah perjumpaan itu, Sebby menyebut Juha bertemu dengan Luhut Panjaitan, Menko Maritim dan Investasi, di Jakarta. Sejak saat itu, Sebby memutus komunikasi dengan Juha. Belakangan, foto-foto Juha bersama Egianus tersebar di internet. Begitu pun fotonya dengan Luhut. BBC berupaya memverifikasi cerita ini kepada Juha, namun hingga berita ini diterbitkan dia tidak kunjung memberikan tanggapan. Benny Wenda, dalam pernyataan tertulisnya, menyebut telah bekerja sama dengan Juha. “Terima kasih kepada Juha Christensen atas kerja keras Anda sebagai fasilitator untuk memastikan pembebasan ini. Senang bekerja sama dengan Anda dalam proses ini,” tulis Benny. Satu hari setelah Philip bebas dari sandera, nama Juha muncul dalam surat kabar ternama Finlandia, Helsingin Sanomat. Dalam berita itu, Juha disebut sebagai figur kunci dalam pembebasan Philip. “Kunjungan pertama Juha ke para gerilyawan itu terjadi April 2024. Dia berjalan ke lokasi rahasia selama tiga hari, sejauh 80 kilometer,” tulis Helsingin Sanomat. Juha membuat klaim, dia tiga kali bertemu TPNPB. Yang terakhir terjadi awal September lalu. Namun kepada surat kabar itu, Juha mengaku “hanya mengambil peran kecil” dalam koalisi pemerintah Indonesia dan kelompok sipil. “Dia dari jaringan lain,” kata Edison. “Egianus tolak dia. Ada orang pasang dia untuk tujuan yang tidak jelas,” ujar Edison. Menurut seorang pegiat HAM kawakan di Papua, misi mediasi yang diusung Juha gagal karena Egianus tidak mempercayainya. Dia bilang, Juha bekerja “secara terburu-buru”. Juha juga tidak memiliki modal sosial yang dimiliki Edison, yaitu hubungan keluarga dengan Egianus. Sosok yang disebut menjadi jembatan antara Edison dan Egianus adalah Yospian Wandikbo. Yospian merupakan menantu Edison. Dia juga berstatus saudara tiri Egianus. Fakta ini tidak hanya bergaung di berbagai kelompok di Jayapura dan Jakarta, tapi juga di tengah warga Yuguru. Yospian dipotret bersama Edison yang tengah bersalaman dengan Philip pada hari pembebasan pilot tersebut. Yospian juga berada di Bandara Moses Kilangin, Mimika , saat Philip disambut petinggi kepolisian dan militer. Yospian pun mengikuti Edison dalam pertemuan dengan Kapolri Jenderal Listyo Sigit di Jakarta, Rabu (25/09) lalu. Listyo menyebut mereka sebagai “tim negosiasi pembebasan sandera“. Edison berkata, berbagai upayanya bertemu dan meyakinkan Egianus merupakan bagian dari strategi pemerintah—termasuk kepolisian dan militer. “Pilot ini dibebaskan di bawah kawalan. Di bawah keterpaduan kerja,“ ujarnya. “Sebagai tim lapangan, kami tidak bekerja sendiri. Kami bekerja di bawah koordinasi mereka,“ kata Edison. Satu pekan hampir berlalu sejak Philip meninggalkan Yuguru dan orang-orang yang merawatnya selama penyanderaan. Namun satu hal masih mengganjal, setidaknya bagi Yordan Karunggu. Padahal, kata Yordan, masyarakat Yuguru telah sejak lama ingin Philip melepas dari sandera. “Warga sudah menjaga pilot dengan baik. Mereka kasih makan ubi, bunuh babi lalu makan bersama pilot,” ujar Yordan. “Mereka merasa kasihan, apalagi pilot selama ini sudah melayani masyarakat,” tuturnya. Presiden Jokowi tak menyebut warga Yuguru saat berbicara tentang pembebasan Philip. Demikian halnya Perdana Menteri Selandia Baru, Chirstopher Luxon. Kurang dari 30 menit sebelum Philip lepas landas meninggalkan Yuguru, Sabilik Karunggu berpidato mewakili orang-orang dari kampung itu. “Bapak pilot, jangan sembunyikan sesuatu yang kau lihat, kau dengar dan kami rasakan. Kau harus sampaikan keluh kesah kami ini semua kepada negaramu,” kata Sabilik. “Kau harus berbicara jujur, bahwa mereka (TPNPB) menangkapmu karena mereka mau merdeka." “Itulah buktinya, mereka tidak menyiksa, mengintimidasi, atau membunuhmu,” ujar Sabilik. Yospian duduk di sebelah Philip saat Sabilik mengutarakan pesan tersebut. Yospian menerjemahkan perkataan Sabilik yang tak bisa berbahasa Indonesia. Sejak tak lagi menyandang status sandera, Philip urung mewujudkan harapan Sabilik dan orang-orang Yuguru. Dalam surat tertulis kepada BBC, keluarga Philip bilang laki-laki berumur 38 tahun itu “membutuhkan waktu dan ruang untuk pulih”. “Philip telah melalui pengalaman tidak mengenakan yang berat dan begitu panjang,” tulis mereka. Kini babak demi babak penyanderaan Philip telah usai. Philip telah kembali ke negara dan keluarganya. Tidak seperti 2023, tahun ini Philip akan memiliki kesempatan merayakan ulang tahun putranya, Jacob. Adapun, orang-orang Yuguru juga kembali meneruskan kehidupan mereka, tanpa akses dasar kehidupan: listrik, air bersih, sekolah, dan fasilitas kesehatan. Konflik bersenjata masih menghantui orang-orang Nduga, termasuk masyarakat Yuguru. Daniel Start, warga Inggris yang disandera OPM di Nduga pada 1996 pernah bertutur bagaimana dia harus bersikap terhadap apa yang dia lihat dan dengar selama penyanderaan. “Operasi pembebasan [sandera] harus dilakukan dalam senyap,“ kata Daniel kepada Mark Davies. “Penting agar setiap detailnya tidak diketahui banyak orang, karena jika itu diungkap akan menghambat operasi pembebasan pada masa depan. “Itulah yang dikatakan kepada kami. Ada perjanjian tak tertulis: apapun yang kami ketahui selama kami di hutan tidak perlu dibicarakan,“ ujarnya. Belum ada yang tahu, apakah Philip akan menyampaikan pesan warga Yuguru yang dititipkan kepadanya, termasuk juga bagaimana dia akhirnya bebas. Momen terakhir Philip bicara mengenai warga Yuguru adalah pada hari dia bebas. “Orang-orang di sini menjaga saya dengan baik. Saya berterima kasih banyak,“ ujarnya. Liputan tambahan oleh wartawan Abeth You di Nabire   Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

Sentimen: negatif (100%)