Sentimen
Negatif (94%)
25 Sep 2024 : 13.20
Informasi Tambahan

Event: Pilkada Serentak

Tokoh Terkait

Kebijakan di Tengah Anomali Ekonomi dan Transisi Pemerintahan

25 Sep 2024 : 20.20 Views 2

Detik.com Detik.com Jenis Media: News

Jakarta -

Ada dua sinyall ekonomi yang mencemaskan di pengujung 2024. Pertama, terjadi deflasi empat bulan beruntun; kedua, manufaktur yang kontraksi di posisi 48,9. Ini bukan kondisi yang biasa. Deflasi secara implisit menggambarkan dinamika daya beli serta konsumsi domestik. Sementara indeks manufaktur yang kontraktif secara eksplisit menggambarkan penurunan produksi barang dan jasa


Dua indikator makro tersebut terkait dengan komponen fundamental Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Konsumsi rumah tangga sebagai bagian dari PDB berdasarkan pengeluaran dan sektor manufaktur sebagai bagian dari PDB berdasarkan lapangan usaha. Keduanya merupakan prime mover yang mempengaruhi dinamika ekonomi nasional.


Berulang-ulang kepada media, Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, deflasi terjadi karena kelebihan pasokan (over supply). Terutama akibat serbuan produk impor. Tapi sebaiknya, BPS perlu mengekstrapolasi data terkait indikator-indikator ekonomi lainnya, sehingga menemukan alasan sebenarnya kenapa terjadi deflasi beruntun disertai indeks manufaktur yang kontraksi.


Perlu ada data kredibel untuk mengidentifikasi, apakah deflasi yang terjadi selama empat bulan berturut-turut disebabkan oleh kelebihan pasokan barang atau memang karena penurunan daya beli masyarakat (purchasing power).


Dari sisi spending index masyarakat, misalnya, kita bisa melihat dinamika daya beli masyarakat. Pertama, Indeks Penjualan Riil (IPR); kedua, konsumsi rumah tangga. Dari data yang ada, spending index masyarakat mengalami perlambatan berdasarkan rilis Mandiri Spending Index (MSI). Konteksnya, jika harga barang menurun tetapi daya beli tidak meningkat, ini bisa berarti konsumen tidak membeli lebih banyak barang, mungkin karena pendapatan yang menurun atau ketidakpastian ekonomi.


Berdasarkan survei Bank Indonesia, secara bulanan IPR mengalami kontraksi 7,4% secara bulanan pada periode Agustus 2024. Indeks pengeluaran masyarakat berdasarkan MSI pun memberikan indikasi, di mana hingga minggu ketiga Agustus 2024 spending index masyarakat mencapai 280,6. Pada periode ini, rata-rata pertumbuhan mingguan MSI tercatat sebesar 0,86% Week-on-Week (WoW), lebih rendah dibanding pertumbuhan mingguan sepanjang Juli 2024 (1,72% WoW).


Jika kita segregasi data per data, sepertinya lebih banyak data yang mendeskripsikan terjadi penurunan daya beli ketimbang kelebihan pasokan barang. BPS perlu menyampaikan data apa adanya ke publik. Data yang presisi dan kredibel ini penting, agar pemerintah pun mengambil kebijakan yang tepat dan adaptif. Bukan kebijakan berdasarkan spekulasi dan data yang tidak presisi


Karena jika dinamika pelemahan daya beli ini persisten terjadi tanpa adanya suatu adaptasi kebijakan yang presisi pada pokok masalah, pertumbuhan ekonomi RI pada Triwulan III-2024 di bawah 5% bisa terjadi. Apalagi di tengah-tengah kebijakan ekonomi pemerintah yang cenderung transisional baik secara nasional maupun di daerah. Setali tiga uang dengan transmisi ketidakpastian global yang masih berlangsung.

Teori ekonomi transisi


Salah satu ekonom yang mengemukakan teori wait and see dalam kondisi transisional dan tidak pasti (uncertainty) adalah John Maynard Keynes. Dalam teori Keynes, ia menggambarkan bagaimana ketidakpastian pada masa depan dapat membuat pelaku ekonomi, baik individu atau bisnis, mengambil sikap wait and see.


Para pebisnis menahan diri untuk berinvestasi atau konsumsi yang besar sampai ada kejelasan lebih lanjut mengenai kebijakan pemerintah dan prospek ekonomi. Keynes menjelaskan, dalam situasi ketidakpastian, pelaku pasar enggan melakukan risk taking, yang akhirnya memperlambat pemulihan ekonomi.


Senada dengan Keynes, Milton Friedman dalam teori moneternya mengatakan, ekspektasi tentang inflasi dan kondisi ekonomi dapat mempengaruhi keputusan investasi dan konsumsi. Pelaku ekonomi sering menunggu kepastian lebih lanjut sebelum membuat keputusan besar. Dalam nota pemerintah 2025, penjabaran dari asumsi dasar pada postur APBN pun setali tiga uang --cenderung transisional.


Ada trade off antara alokasi anggaran untuk program strategis dan program yang bersifat transisi ke pemerintah berikutnya. Belum tampak secara eksplisit program yang bersifat executable yang tercermin dari belanja program dalam RAPBN 2025. Dari postur sementara, kebijakan dan anggaran hanya fokus pada mandatory dan belanja rutin lainnya, sementara pada pada item program produktif lainnya masih bersifat transisi. Kondisi transisi ini tidak hanya berdasarkan konstelasi politik nasional, tapi juga daerah, seiring transisi pemerintahan daerah pada momentum Pilkada 2024.


Robert Lucas tentang Teori Ekspektasi Rasional mengatakan, pelaku ekonomi akan membentuk ekspektasi berdasarkan informasi yang tersedia. Dalam masa ketidakpastian atau transisi, individu dan perusahaan mungkin menunda tindakan ekonomi karena mereka menunggu sinyal kebijakan. Richard Thaler pun senada dengan Lucas. Namun menurut Thaler, dalam situasi transisi, pelaku ekonomi sering menunda keputusan karena fenomena loss aversion (keengganan untuk merugi). Intinya, kepastian adalah opportunity, pun sebaliknya.


Jadi ketika Purchasing Manager Index (PMI) mengalami kontraksi (wait and see ala Keynes, Friedman, Lucas, atau Thaler tentang loss aversion. Ada kombinasi antara penurunan output atau produksi barang dan jasa akibat loss aversion-nya Richard Thaler dan demand shortage.


Di tengah-tengah masa transisi, kebijakan fiskal dan moneter yang terkoordinasi dapat membantu mengatasi penurunan dalam indeks manufaktur dan penurunan daya beli. Kebijakan fiskal harus fokus pada stimulus langsung dan insentif untuk mendorong permintaan agregat. Sementara kebijakan moneter secara makroprudensial harus berfokus pada meningkatkan likuiditas dan menurunkan biaya pinjaman dalam mengoptimalkan fungsi intermediasi lembaga keuangan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.


Saya meyakini, setelah beranjak ke pemerintahan baru (Prabowo) pasca 20 Oktober 2024, persepsi tentang ketidakpastian kebijakan akan melandai. Pelaku bisnis kembali optimis dan melakukan ekspansi bisnis. Hal ini didukung oleh transmisi global yang cenderung positif ke dalam ekonomi domestik, seturut The Federal Reserve (The Fed) AS yang kian memberikan sinyal dovish seiring inflasi AS yang kian bergerak menuju sasaran 2%. Namun dalam masa transisi ini, pemerintah perlu mengambil langkah transisi dengan dosis kebijakan yang tepat. Tentu berdasarkan data-data makro ekonomi yang kredibel dan presisi.

Abdul Munir Sara Tenaga Ahli Komisi XI DPR

(mmu/mmu)

Sentimen: negatif (94.1%)