Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Gunung
Kasus: covid-19
Tokoh Terkait
joko widodo
Pemerintah Didesak Setop Proyek Food Estate, Mengapa?
Bisnis.com Jenis Media: Ekonomi
Bisnis.com, JAKARTA - Organisasi masyarakat sipil, Fian Indonesia mendesak pemerintah untuk menghentikan proyek food estate di Sumatra Utara, Kalimantan Tengah, dan Papua.
Peneliti Fian Indonesia, Hana Saragih, menyampaikan, food estate bertentangan dengan agenda reforma agraria yang sejatinya merupakan realisasi dari pemenuhan hak atas pangan dan gizi.
“Food estate mempertahankan dan mendorong tingginya ketimpangan alokasi tanah sekaligus menggeser peran produsen pangan utama yaitu produsen pangan skala kecil sehingga mendorong pada pemiskinan,” kata Hana dalam keterangannya, dikutip Selasa (24/9/2024).
Program yang dijalankan atas nama ketahanan pangan itu dinilai memperparah konflik agraria. Sebab, kata Hana, prosesnya merampas hak atas tanah dan disertai dengan aksi intimidatif dari aparat negara.
Secara struktural, deforestasi dan upaya budidaya tanaman pangan yang monokultur dan skala besar mengubah sistem hidup masyarakat tempatan. Hana mencontohkan, Kementerian Pertanian (Kementan) secara khusus mengalokasikan anggaran sebesar Rp2,3 triliun pada 2023 di Papua untuk ekspansi food estate.
Sayangnya, hal tersebut justru memaksa transisi pola makan pada masyarakat Papua. Beberapa penelitian di Papua dan Papua Barat mengungkapkan bahwa food estate telah membuat sumber-sumber pangan yang didapat langsung dari hutan semakin menghilang dan sulit diperoleh seiring dengan ekspansi lahan.
“Hal tersebut menunjukkan kontradiksi kehadiran food estate di Papua yang justru berkontribusi secara nyata terhadap kemiskinan dan kelaparan,” ujarnya.
Faktanya, Hana mengungkapkan bahwa kondisi itu tidak hanya terjadi di Papua, tapi juga di lokasi lainnya seperti Sumatra Utara dan Kalimantan Tengah. Pada 2022, Fian dalam laporannya di Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara menemukan bahwa korporasi menjebak arah pembangunan masyarakat setempat dalam genggaman “tangan besi” mereka melalui pertanian kontrak.
Dalam skema tersebut, Hana mengungkapkan bahwa petani tidak diberikan salinan butir-butir isi kontrak. Melainkan, hanya sebuah surat pernyataan yang isinya ditentukan secara sepihak oleh perusahaan. Petani juga didikte melalui pemberian pinjaman input pertanian dari perusahaan.
Selain itu, mekanisme penentuan harga, mitigasi risiko, dan asuransi bagi petani juga tidak diketahui. Oleh karena itu, Fian Indonesia menilai pertanian kontrak adalah titik krusial dari tekanan proyek food estate di Sumatra Utara, bahkan sejak musim tanam pertama, dimana pertanian kontrak belum diterapkan.
Lalu, pada laporan di tahun yang sama, Fian Indonesia setidaknya mencatat dua duka cita yang ditimbulkan oleh program food estate di Kalimantan Tengah. Pertama, pembukaan lahan untuk kepentingan proyek food estate di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Gunung Mas telah berhasil menghancurkan sistem pangan lokal berbasis pertanian ladang gilir balik.
Kedua, merebaknya konsumsi makanan ultra-proses karena masyarakat tidak lagi memproduksi beras sendiri. “Mereka memilih untuk mengonsumsi mie instan dan penyedap rasa sintetis demi menghemat pengeluaran belanja serta waktu memasak,” ungkap Hana.
Proyek food estate di Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Keerom, Papua juga mendapat sorotan. Pemerintah melalui proyek ini mewajibkan masyarakat untuk menanam jagung tanpa memberi gambaran yang adil atas konsekuensi atau kontradiksi yang harus dihadapi, bahkan apa saja yang harus dikorbankan demi menuai mimpi tersebut.
Terhadap temuan-temuan ini, Fian Indonesia menyimpulkan bahwa proyek food estate secara terang-benderang melanggar hak atas pangan dan gizi masyarakat setempat. Fian Indonesia menilai, negara seharusnya melakukan pemantauan pelanggaran hak atas pangan dan gizi, serta melakukan evaluasi menyeluruh pada proyek yang melakukan pelanggaran terhadap hak tersebut.
Untuk itu, pihaknya mendesak pemerintah untuk segera menghentikan proyek food estate tersebut. “Segera menghentikan proyek food estate di Sumatra Utara, Kalimantan Tengah, dan Papua,” tegas Hana.
Sebelumnya, Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, merespons kabar yang menyebut proyek food estate yang digagas pemerintahan Presiden Jokowi gagal.
Dia menilai bahwa dalam pelaksanaannya program lumbung pangan (food estate) tentu membutuhkan evaluasi, tetapi bukan berarti kebijakan tersebut gagal dilakukan.
Hal tersebut disampaikannya kepada wartawan di gedung Kementerian Sekretariat Negara (Kemensesneg), Senin (22/1/2024) dalam menjawab tudingan kegagalan program food estate yang dibawa salah satu kontestan calon wakil presiden (cawapres) saat melakukan debat keempat.
“Dalam implementasinya tentu ada evaluasi, perbaikan, penyempurnaan itu terus berjalan supaya apa yang jadi cita-cita. Jadi tujuan kebijakan itu bisa tercapai,” kata Ari kepada wartawan.
Ari menjelaskan bahwa kebijakan food estate sebenarnya merupakan bentuk upaya pemerintah dalam merespons situasi yang tengah dihadapi berbagai Negara. Mengingat bahwa situasi perekonomian dunia saat ini sedang tidak baik-baik saja, salah satunya ada ancaman krisis pangan.
Menurutnya, usai dihadapkan gelombang pandemi Covid-19 seluruh dunia menghadapi ancaman krisis pangan. Sehingga banyak negara yang kemudian menjadi Negara gagal karena dia tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan termasuk juga harga pangan yang melambung tinggi di pasaran dunia.
Oleh sebab itu, Ari melanjutkan bahwa untuk merespons ancaman global tersebut maka harus ada terobosan dengan skala besar. Sehingga, menjadi alasan dari Kepala Negara mendorong kebijakan lumbung pangan.
“Tujuannya adalah menghasilkan produksi yang bisa memenuhi cadangan pangan pemeirntah, sehingga kemampuan kita untuk mandiri dari sisi pangan itu bisa tercukupi, tidak perlu impor, tidak perlu tergantung dari negara lain,” pungkas Ari.
Sentimen: negatif (100%)