Sentimen
Informasi Tambahan
BUMN: Berdikari, PT Krakatau Steel
Event: Rezim Orde Baru, Rezim Orde Lama
Kasus: korupsi, nepotisme
Tokoh Terkait
Belajar dari Kejatuhan Rezim Bung Karno dan Soeharto
Bisnis.com Jenis Media: Nasional
Bisnis.com, JAKARTA -- Sejarah selalu mencatat bahwa ketidakstabilan politik ditambah dengan kinerja buruk ekonomi berakhir dengan tumbangnya sebuah rezim.
Indonesia sejatinya pernah memiliki pengalaman traumatis terhadap krisis ekonomi dan hiperinflasi. Salah satunya terjadi pada dekade 1960-an. Saat itu Soekarno, Sukarno atau Bung Karno masih berkuasa dan menempatkan politik sebagai panglima.
Sukarno menancapkan kekuasaannya dengan semangat antikolonialisme. Setiap kebijakan baik politik, sosial, dan ekonomi pada waktu itu diarahkan untuk 'mengganyang' neokolonialisme dan imperialisme atau nekolim.
Intervensi pemerintah terhadap ekonomi begitu kuat. Setidaknya bank sentral dan tetek bengek-nya, masih melayani penguasa sebagai mesin pencetak uang.
Salah satu konsep ekonomi yang lahir era Sukarno adalah ekonomi berdikari. Berdikari lahir dari upaya Sukarno melawan hegemoni ekonomi politik kolonial yang merkantilis dan imperialistik.
Namun, kata Sukarno, berdikari sama sekali tidak anti kerja sama internasional, justru menurutnya konsep ini sangat terbuka bagi dunia internasional, terutama semua negara yang baru merdeka.
"Yang ditolak oleh Berdikari adalah ketergantungan kepada imperialis, bukan kerja sama yang sama-derajat dan saling menguntungkan!,' begitu kata Sukarno dalam naskah Pidato Nawaksara yang disampaikan di Sidang Umum MPRS tanggal 16 Juni 1966.
Sayangnya, ekonomi berdikari yang digaung-gaungkan Sukarno tak mampu berjalan mulus. Pasalnya, Sukarno justru sibuk menaikkan gengsi di level internasional dengan membangun monumen dan proyek-proyek mercusuar.
Alhasil, kas negara kosong. Bank sentral waktu itu sampai-sampai harus mencetak duit untuk menopang gengsi orde lama. Kebijakan ini kelak menjadi bumerang, karena inflasi meroket lebih dari 635 persen. Puncaknya, kinerja ekonomi Sukarno yang jeblok merembet ke persoalan politik. Sukarno akhirnya lengser digantikan Soeharto.
Meski demikian, politik berdikari ala Sukarno juga meninggalkan warisan yang bisa diacungi jempol. Keberadaan PT Berdikari (Persero) hingga PT Krakatau Steel yang lahir dari proyek baja Trikora, tak bisa dilepaskan dari mimpi-mimpi Sukarno untuk memperoleh kedaulatan ekonomi yang berdiri di atas kaki sendiri.
Kemunculan Mafia BerkeleyEntah sudah direncanakan atau secara kebutulan, kemunculan sosok Soeharto bisa dibilang tepat. Dia muncul ketika pengaruh Sukarno secara politik mulai merosot.
Dalam pandangan mesianistik, Soeharto bisa diposisikan oleh pendukungnya sebagai ratu adil, sang juru selamat dari kemelut sosial, ekonomi, dan politik waktu itu.
Ada perbedaan orientasi yang mencolok antara rezim Sukarno dan Soeharto. Jika era Sukarno, politik sebagai panglima. Pada zaman Orde Baru atau rezim daripadanya Soeharto, perbaikan dan pembaruan orientasi ekonomi mulai menjadi fokus utama.
Soeharto tidak sendiri untuk melakukan tugas besar itu. Dia didukung oleh orang-orang yang ‘mumpuni’. Selain tokoh intelijen, penggagas pondasi pemerintahan Orde Baru, Ali Moertopo, dibelakang cah Kemusuk itu juga ada kalangan ekonom lulusan Berkeley, Amerika Serikat.
David Ransom, aktivis dan penulis kiri asal Amerika Serikat dalam The Berkeley Mafia and the Indonesian Massacre menjuluki kelompok ekonom ini dengan istilah 'Mafia Bekeley'.
Dalam sejarah ekonomi Indonesia, 'Mafia Berkeley', salah satu tokohnya adalah Widjojo Nitisastro dkk. punya peran penting, bahkan hingga kini anak cucu didiknya dikenal sebagai arsitek utama ekonomi Indonesia.
Salah satu pengaruh sekaligus warisan kelompok Berkeley dalam kebijakan Orde Baru adalah mulai terbukanya keran investasi asing dan pembangunan yang lebih terstruktur.
Apabila pada era Sukarno ada Rencana Ekonomi Perdjoeangan, di era Soeharto mengenal istilah Rencana Pembangunan Lima Tahun atau repelita. Inflasi menjadi bagian paling diperhatikan oleh rezim daripadanya Soeharto.
Soe Hok Gie, aktivis angkatan 66 dalam tulisan yang diterbitkan sebuah surat kabar pada 16 Juli 1969 menaruh harapan besar pada rencana Soeharto dengan repelitanya.
Dia menulis, melalui rencana itu, Soeharto punya cita-cita yang tak kalah besar (dari Sukarno) untuk menyejahterakan masyarakat desa. "Tahun ini adalah tahun pertama pembangunan lima tahun, tapi kesan saya masyarakat masih acuh terhadap rencana besar ini," tulis Gie.
Adapun, Soeharto dalam setiap kesempatan selalu menekankan bahwa repelita merupakan acuan sekaligus pegangan untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur.
"Sehingga akhirnya nanti sesudah melampaui kesekian banyak repelita kita tiba pada tujuan akhir yang kita cita-citakan: masyarakat maju, adil dan makmur berdasarkan Pancasila," ucap Soeharto dalan pidato kenegaraan di DPR pada tahun 1972.
Kutukan MigasSelain ditopang oleh kalangan intelektual, stabilitas ekonomi rezim daripadanya Soeharto juga ditopang oleh booming minyak dan gas atau migas selama dekade 1970-an. Indonesia waktu itu memperoleh rejeki nomplok karena naiknya harga migas. Berkah yang kemudian berubah menjadi kutukan pada dekade selanjutnya.
Wakil Presiden era Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY, Boediono, dalam arsip pemberitaan Bisnis memberikan kesaksian yang cukup menohok tentang migas dan ekonomi Indonesia. Kesaksian itu disampaikan pada peringatan hari pajak di kantor Ditjen Pajak (DJP) Juli 2019 silam.
Boediono bercerita sebelum tahun 1983, komoditas minyak bumi dan gas alam (migas) benar-benar menjadi andalan. Migas adalah urat nadi bagi pengelolaan fiskal saat itu. Sedangkan, potensi penerimaan dari sektor nonmigas nyaris tak tergarap secara optimal.
Pemerintah, waktu itu, tak perlu bersusah payah untuk memenuhi target pendapatan. Istilahnya, tanpa perlu banyak effort, pendapatan dari migas mengucur sangat deras ke kantong negara.
“Penerimaan migas luar biasa, tanpa keringat,” kata Boediono mengisahkan situasi pada waktu itu.
Surplus penerimaan migas membuat kantong pemerintah semakin tebal.
Hasilnya, menurut data Bank Dunia, dari tahun 1971 – 1981 tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tidak pernah di bawah 5%. Tahun 1980, pertumbuhannya sempat tembus 10%.
Indonesia bahkan tercatat sebagai salah satu negara penghasil gas alam cair terbesar (LNG) di dunia pada 1981.
Wajar, jika dalam dokumen APBN 1981/1982, target penerimaan minyak bersih termasuk LNG dipatok naik 22,6 persen atau US$11,3 miliar, dibandingkan proyeksi penerimaan pada 1980/1981 senilai US$9,2 miliar.
Namun situasi rupanya cepat berubah. Badai datang lebih awal. Proyeksi pemerintah meleset. Resesi menghempas dunia yang berujung anjloknya harga minyak. Ekspor migas maupun nonmigas 1982/1983 hanya mencapai US$20,04 miliar atau turun 15,1%. Khusus migas realisasi ekspornya hanya US$16,12 miliar atau terkontraksi hampir US$3,3 miliar.
Bank Dunia kemudian mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 1982 anjlok sangat dalam. Hanya tumbuh 2,2%.
Bulan madu pemerintah dengan komoditas migas pun telah usai. ”Kita kena shock karena harga [migas] anjlok, APBN kena masalah, neraca pembayaran kena masalah."
Krisis Ekonomi dan Jatuhnya Orde BaruSetelah resesi global pada 1982, arah ekonomi Indonesia mulai sedikit bergeser. Sektor nonmigas yang sebelumnya menjadi anak tiri mulai diperhatikan.
Ekspor dan impor, reformasi pajak hingga investasi berbasis industri terus didorong. Tak heran hingga 1996 kondisi ekonomi Indonesia relatif stabil. Pertumbuhan ekonomi rata-rata bisa di atas 6 persen.
Thee Kian Wie, ekonom senior dalam The Soeharto Era & After: Stability, Development and Crisis 1966 – 2000 menulis bahwa perkembangan positif tersebut tak lepas dari peran tim ekonomi Orde Baru. Pertumbuhan sektor manufaktur menjadi salah satu yang paling cepat di kawasan.
Pada tahun 1995, World Bank bahkan mencatat bahwa manufaktur Indonesia masuk tujuh kekuatan terbesar di antara negara-negara berkembang. Pertumbuhan manufaktur ini menunjukkan bahwa transformasi struktur perekonomian Indonesia mulai berjalan.
Sebagai perbandingan jika pada 1969 peran manufaktur hanya 9,2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), pada 1995 kontribusi manufaktur ke PDB melesat ke angka 24,2 persen. Sebaliknya kontribusi sektor pertanian yang semula 49,3 persen pada 1969 hanya tersisa 17,2 persen pada 1995.
Namun demikian, perubahan struktur perekonomian ini tidak menjadi jaminan, stabilitas ekonomi Indonesia tidak bisa menahan tensi politik dari gerakan anti-Soeharto yang mulai memanas pada tahun 1996-an. Salah satu perisitiwa yang cukup menohok rezim Orde Baru yaitu penyerangan kantor PDI Pro Mega pada tanggal 27 Juli 1996.
Dokumen APBN 1996/1997 secara tidak langsung mengonfirmasi bahwa peningkatan tensi politik ikut menjalar ke aktivitas ekonomi. Pada periode tersebut, pemerintah menghadapi overheated economy atau suhu ekonomi yang memanas. Inflasi meroket 8,86 persen pada 1995/1996.
Sementara itu, defisit transaksi berjalan juga membengkak menjadi US$6,9 miliar dari sebelumnya yang hanya sekitar US$3 miliar. Kondisi ini semakin parah pada periode-periode setelahnya, apalagi munculnya krisis finansial secara global.
Seperti banyak diulas oleh para ekonom hingga akademisi, krisis finansial pada 1997 benar-benar menunjukkan bahwa struktur ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru cukup rapuh. Pemerintah sampai harus ngutang ke IMF buat stabilisasi ekonomi.
Sementara bagi "The Old General", untuk pertama kalinya, dia harus menghadapi tantangan yang cukup serius bagi kelangsungan kekuasaannya yang sudah berumur tiga dasawarsa.
Persoalan merosotnya kinerja ekonomi ibarat membuka kotak pandora. Masalah lainnya, terutama praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang dipraktikan orde daripada Soeharto dan kroni-kroninya mulai mengemuka ke publik.
Puncaknya krisis ekonomi terjadi cukup dalam, inflasi tembus di angka 77,6 persen, ekonomi minus 13,7 persen, kerusuhan sosial, demonstrasi dimana-mana dan Soeharto lengser keprabon setelah 32 tahun berkuasa.
Thee Kian Wie kembali menyinggung bahwa krisis finansial di Asia & terhempasnya ekonomi Indonesia akibat imbas krisis itu menunjukkan betapa pentingnya good governance, yang ironisnya pernah dianggap tidak relevan oleh para ekonom.
"Indonesia memiliki sistem hukum yang lemah dan ketinggalan zaman, tidak efisien, birokrasi yang korup serta tidak adanya demokrasi,” tulis dia dalam artikel yang sama.
Sentimen: negatif (99.9%)