Sentimen
19 Agu 2024 : 08.53
Informasi Tambahan
Event: Rezim Orde Baru
Institusi: Universitas Jember
Kab/Kota: Palangkaraya, Jember
Kasus: korupsi, nepotisme, KKN
Tokoh Terkait
9 Sang Saka Berkibar di IKN dan Robohnya Surau Kami Nasional
Kompas.com Jenis Media: Regional
19 Agu 2024 : 08.53
Sang Saka Berkibar di IKN dan Robohnya Surau Kami
Antropolog, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember
SAYA
turut bangga melihat Sang Saka Merah Putih berkibar di lapangan Istana Negara Ibu Kota Nusantara (
IKN
), Kalimantan Timur. Tepat pada Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 Republik Indonesia (RI), 17 Agustus 2024.
Di ujung masa jabatannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melunasi janjinya untuk menggelar upacara HUT ke-79 RI di IKN.
Saya menyaksikan dari Youtube, Jokowi turun dari mimbar kehormatan, berjalan menuju meja Sang Saka.
Diambilnya bendera kebangsaan Indonesia itu, diberikannya kepada Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka). Beberapa saat kemudian Sang Saka berkibar di lapangan Istana Negara IKN.
Sebuah peristiwa bersejarah. Sebagai gagasan, pemindahan ibu kota negara sudah dicetuskan oleh Presiden Soekarno sejak 1957. Saat itu Soekarno memilih Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Melalui Presiden Jokowi, gagasan tersebut nyata. Dasar hukumnya dibuat, pembangunannya dimulai.
Tentu saja IKN masih compang-camping. Masih jauh dari standar ibu kota negara. Namun, buat saya, IKN bisa dimaknai simbol masa depan Indonesia.
"Upacara tahun ini perdana di Ibu Kota Nusantara, simbol transisi menuju Indonesia yang memiliki lebih Indonesiasentris. Mari kita bawa kemajuan ke setiap sudut Tanah Air," kata Jokowi (
Kompas.com
, 18/08/2024).
Saya sependapat. IKN menawarkan perspektif dan pendekatan baru menuju apa yang oleh W.R. Soepratman disebut “Indonesia Raya”. IKN menantang imajinasi, kreasi dan keteguhan hati pemimpin Indonesia, baik pemimpin hasil Pemilu 2024 maupun setelahnya.
IKN tentu saja masih membutuhkan modal besar, kekuasaan dan semangat besar. Juga butuh dukungan politik besar pula, baik dari politik formal maupun publik pada umumnya. Jalannya masih panjang.
Namun, saya melihat sesuatu yang memprihatinkan, kontradiktif. Kebutuhan IKN masih serba besar, tapi perilaku para penyelenggara (pemimpin) negara memperlihatkan gejala krisis keteladanan bernegara.
Di HUT ke-79 ini wajah kita memperlihatkan guratan paradoks. Satu sisi membanggakan: IKN menjanjikan “ke-Raya-an”. Sisi lain memprihatinkan: krisis keteladanan bernegara bersiap mengubur “ke-Raya-an” itu.
Pada 1956, terbit cerpen berjudul “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis.
Diterbitkan oleh Penerbit Nusantara (Bukittinggi), dan sejak 1986 diterbitkan ulang oleh Gramedia Pustaka Utama. Cerpen A.A. Navis itu terasa baru terbit Agustus 2024. Surau tua di suatu kampung “roboh” akibat penjaganya bunuh diri. Dua hal yang ironis, paradoks. Surau adalah tempat beribadah kepada Tuhan. Namun, penjaganya mengakhiri hidup dengan cara yang dilarang Tuhan. Sebab-musababnya pun ironis, paradoks. Penjaga surau adalah pengabdi Tuhan. Hidupnya hanya di surau untuk Tuhan. Namun, ia kehilangan keyakinan. Keyakinannya goyah, terpengaruh omongan bahwa dirinya tak akan masuk surga. Tuhan tak menyukai orang yang hanya mengurus diri sendiri tanpa mau tahu kesulitan orang lain di dunia. Tuhan membenci perbuatan orang yang tak mau mengambil risiko untuk keselamatan dan kebahagiaan orang lain. Bunuh dirilah penjaga surau. “Roboh”-lah surau tua itu. Belakangan ini kita juga menyaksikan banyak lembaga pemerintahan “roboh”. Kita ambil beberapa saja. Tiga lembaga pemerintahan produk reformasi “roboh” dalam waktu hampir bersamaan. Lembaga itu adalah Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Saya yakin bukan kebetulan dan “roboh” tiba-tiba. Ada relasi sistemik yang membuatnya “roboh” dalam waktu hampir bersamaan. MK dibentuk untuk memastikan undang-undang negara tidak melenceng dari Undang-Undang Dasar, tak memuat tendensi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal ini penting, mengingat undang-undang sebagai instrumen kebijakan rentan diboncengi KKN. KPK dibuat untuk menjaga negara dari rongrongan KKN. KKN inilah penyebab rakyat tak kunjung menikmati kesejahteraan. Padahal, proklamasi kemerdekaan diperjuangkan sebagai jalan menuju kesejahteraan rakyat. Bung Karno menyebutnya “jembatan emas”. KPU didesain untuk memastikan pemilu berlangsung bebas, jujur, adil, demokratis. Pemilu diterima sebagai pilar demokrasi, maka harus dipastikan caranya tak mereduksi kedaulatan rakyat. Pemilu Orde Baru dinilai penuh rekayasa yang mereduksi kedaulatan rakyat. Namun, ironis dan tragis. Ketiga lembaga anak kandung reformasi itu “roboh”. Penyebabnya serupa: krisis keteladanan bernegara para penjaganya. Di MK, Anwar Usman melakukan pelanggaran etik berat. Ia ikut mengadili norma yang menguntungkan keponakannya, Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo. Ia dicopot dari jabatan Ketua MK. Tindakan Anwar dinilai menabrak aturan dan etika. Implikasinya sangat mendalam, berujung pada carut-marut, terutama Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Pengabsahan hasil Pilpres 2024 akhirnya dilakukan melalui putusan MK. Namun, putusan MK pun tidak bulat. Tiga dari delapan hakim MK menyatakan berbeda pendapat ( dissenting opinion ). Residu Pilpres 2024 sangat mendalam bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. KPK “roboh”. Ketuanya, Firli Bahuri, diberhentikan. Ia diduga memeras mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, yang menjadi tersangka. Bagaimana bisa pucuk pimpinan KPK melakukan pemerasan yang semestinya diberantasnya? KPU “roboh” juga. Hasyim Asy'ari dipecat dari jabatan Ketua KPU. Ia dinilai melanggar etika terkait tindakan asusila terhadap seorang perempuan anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Den Haag, Belanda. Pelanggaran etik Hasyim bukan yang pertama sejak menjabat Ketua KPU pada 2022. Sudah beberapa kali ia dijatuhi sanksi oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Kualitas moral Hasyim, saya kira, berpengaruh pula terhadap kualitas Pemilu 2024. Banyak lembaga pemerintahan “roboh”. Penjaganya miskin keteladanan bernegara, tapi sangat “kreatif” memikirkan dan berbuat untuk diri sendiri. Tak peduli orang lain. Kekuasaan dikelola semau-maunya. KKN dinormalisasi. Keserakahan dimaklumkan. “Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia kaummu, bersaudara semua, tapi engkau tak memedulikan mereka sedikit pun,” jelas malaikat menjawab pertanyaan Haji Saleh yang diceritakan Ajo Sidi kepada penjaga surau dalam “Robohnya Surau Kami”. Boleh jadi ada penyadaran, tapi tak punya daya transformasi. Penjaga surau membunuh diri sendiri, sementara penyelenggara (pemimpin) negara diberhentikan dari jabatannya dan masuk penjara. Lantas, siapa yang menjamin Sang Saka Merah Putih berkibar di IKN pada HUT ke-100, 17 Agustus 2045, ketika penyelenggara negara krisis keteladanan? Keteladanan bernegara dalam konteks Indonesia adalah kesadaran transformatif terhadap Pancasila sebagai dasar negara. Bukan nilai-nilai normatifnya saja yang harus melandasi praktik bernegara, tapi juga “semangat dan suasana kebatinan” sejak fase pembuahan, perumusan dan pengesahan Pancasila (Latif, 2011). Kesadaran transformatif itu dapat dilihat dari perspektif penyelenggara negara dan rakyat. Dari sudut penyelenggara negara, Pancasila merupakan paradigma bagi proses pembuatan kebijakan dan keputusan politik untuk kesejahteraan rakyat. Pancasila ditransformasikan menjadi kebijakan, program, regulasi, dan etika bernegara. Dari sisi rakyat, Pancasila dapat difungsikan sebagai ideologi kritik. Rakyat menggunakannya sebagai kerangka evaluasi terhadap kebijakan, program, regulasi dan perilaku penyelenggara negara. Di sanalah titik temu kesadaran transformatif antara penyelenggara negara dan rakyat. Acuannya sama (Pancasila), arah tujuannya pun sama (kesejahteraan rakyat). Namun, yang amat penting tapi cenderung dilupakan, yakni “semangat (dan suasana kebatinan)” saat Pancasila dikonstruksikan. Hal ini ditegaskan pula pada bagian Penjelasan UUD 1945 dengan sebutan “semangat penyelenggara negara”. Aspek semangat cenderung diabaikan. Mungkin juga dianggap tak pernah ada, tak pernah dipahami oleh penyelenggara negara. Semangat yang dimaksud adalah semangat untuk bergotong royong, bukan semangat individualisme. Semangat bersedia mengambil risiko untuk kesejahteraan rakyat, bukan semangat untuk kesejahteraan sendiri. Semangat penyelenggara negara tak kalah penting dibandingkan bunyi pasal-pasal dan program. Semangat akan menuntun perilaku penyelenggara negara. Sayang sekali, UUD 1945 hasil amandemen tak lagi mencantumkan bagian Penjelasan UUD 1945. Saya curiga, jangan-jangan krisis keteladanan bernegara yang terus mendera para penyelenggara negara di antaranya karena tak ada lagi tuntutan di dalam Konstitusi. Karena teksnya hilang, tak ada pengetahuan yang diwariskan. Tak ada bahan yang terus-menerus mengingat-ingatkan perihal semangat bergotong-royong itu. Yang muncul lalu semangat semau-maunya sendiri dalam mengelola kekuasaan. Semangat mengotak-atik aturan demi kepentingan sendiri. Semangat saling menggertak dan menyandera. Semangat mencari untung dan selamat sendiri. Semangat yang serba bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara. Saya kira di sanalah tantangan berat pemerintahan baru nanti. Tanpa kesadaran transformatif para penyelenggara negara, berat bagi Sang Saka Merah Putih berkibar terus di IKN. Dan, kesadaran transformatif itu harus diteladani dari pemimpin tertinggi. Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Diterbitkan oleh Penerbit Nusantara (Bukittinggi), dan sejak 1986 diterbitkan ulang oleh Gramedia Pustaka Utama. Cerpen A.A. Navis itu terasa baru terbit Agustus 2024. Surau tua di suatu kampung “roboh” akibat penjaganya bunuh diri. Dua hal yang ironis, paradoks. Surau adalah tempat beribadah kepada Tuhan. Namun, penjaganya mengakhiri hidup dengan cara yang dilarang Tuhan. Sebab-musababnya pun ironis, paradoks. Penjaga surau adalah pengabdi Tuhan. Hidupnya hanya di surau untuk Tuhan. Namun, ia kehilangan keyakinan. Keyakinannya goyah, terpengaruh omongan bahwa dirinya tak akan masuk surga. Tuhan tak menyukai orang yang hanya mengurus diri sendiri tanpa mau tahu kesulitan orang lain di dunia. Tuhan membenci perbuatan orang yang tak mau mengambil risiko untuk keselamatan dan kebahagiaan orang lain. Bunuh dirilah penjaga surau. “Roboh”-lah surau tua itu. Belakangan ini kita juga menyaksikan banyak lembaga pemerintahan “roboh”. Kita ambil beberapa saja. Tiga lembaga pemerintahan produk reformasi “roboh” dalam waktu hampir bersamaan. Lembaga itu adalah Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Saya yakin bukan kebetulan dan “roboh” tiba-tiba. Ada relasi sistemik yang membuatnya “roboh” dalam waktu hampir bersamaan. MK dibentuk untuk memastikan undang-undang negara tidak melenceng dari Undang-Undang Dasar, tak memuat tendensi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal ini penting, mengingat undang-undang sebagai instrumen kebijakan rentan diboncengi KKN. KPK dibuat untuk menjaga negara dari rongrongan KKN. KKN inilah penyebab rakyat tak kunjung menikmati kesejahteraan. Padahal, proklamasi kemerdekaan diperjuangkan sebagai jalan menuju kesejahteraan rakyat. Bung Karno menyebutnya “jembatan emas”. KPU didesain untuk memastikan pemilu berlangsung bebas, jujur, adil, demokratis. Pemilu diterima sebagai pilar demokrasi, maka harus dipastikan caranya tak mereduksi kedaulatan rakyat. Pemilu Orde Baru dinilai penuh rekayasa yang mereduksi kedaulatan rakyat. Namun, ironis dan tragis. Ketiga lembaga anak kandung reformasi itu “roboh”. Penyebabnya serupa: krisis keteladanan bernegara para penjaganya. Di MK, Anwar Usman melakukan pelanggaran etik berat. Ia ikut mengadili norma yang menguntungkan keponakannya, Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo. Ia dicopot dari jabatan Ketua MK. Tindakan Anwar dinilai menabrak aturan dan etika. Implikasinya sangat mendalam, berujung pada carut-marut, terutama Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Pengabsahan hasil Pilpres 2024 akhirnya dilakukan melalui putusan MK. Namun, putusan MK pun tidak bulat. Tiga dari delapan hakim MK menyatakan berbeda pendapat ( dissenting opinion ). Residu Pilpres 2024 sangat mendalam bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. KPK “roboh”. Ketuanya, Firli Bahuri, diberhentikan. Ia diduga memeras mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, yang menjadi tersangka. Bagaimana bisa pucuk pimpinan KPK melakukan pemerasan yang semestinya diberantasnya? KPU “roboh” juga. Hasyim Asy'ari dipecat dari jabatan Ketua KPU. Ia dinilai melanggar etika terkait tindakan asusila terhadap seorang perempuan anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Den Haag, Belanda. Pelanggaran etik Hasyim bukan yang pertama sejak menjabat Ketua KPU pada 2022. Sudah beberapa kali ia dijatuhi sanksi oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Kualitas moral Hasyim, saya kira, berpengaruh pula terhadap kualitas Pemilu 2024. Banyak lembaga pemerintahan “roboh”. Penjaganya miskin keteladanan bernegara, tapi sangat “kreatif” memikirkan dan berbuat untuk diri sendiri. Tak peduli orang lain. Kekuasaan dikelola semau-maunya. KKN dinormalisasi. Keserakahan dimaklumkan. “Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia kaummu, bersaudara semua, tapi engkau tak memedulikan mereka sedikit pun,” jelas malaikat menjawab pertanyaan Haji Saleh yang diceritakan Ajo Sidi kepada penjaga surau dalam “Robohnya Surau Kami”. Boleh jadi ada penyadaran, tapi tak punya daya transformasi. Penjaga surau membunuh diri sendiri, sementara penyelenggara (pemimpin) negara diberhentikan dari jabatannya dan masuk penjara. Lantas, siapa yang menjamin Sang Saka Merah Putih berkibar di IKN pada HUT ke-100, 17 Agustus 2045, ketika penyelenggara negara krisis keteladanan? Keteladanan bernegara dalam konteks Indonesia adalah kesadaran transformatif terhadap Pancasila sebagai dasar negara. Bukan nilai-nilai normatifnya saja yang harus melandasi praktik bernegara, tapi juga “semangat dan suasana kebatinan” sejak fase pembuahan, perumusan dan pengesahan Pancasila (Latif, 2011). Kesadaran transformatif itu dapat dilihat dari perspektif penyelenggara negara dan rakyat. Dari sudut penyelenggara negara, Pancasila merupakan paradigma bagi proses pembuatan kebijakan dan keputusan politik untuk kesejahteraan rakyat. Pancasila ditransformasikan menjadi kebijakan, program, regulasi, dan etika bernegara. Dari sisi rakyat, Pancasila dapat difungsikan sebagai ideologi kritik. Rakyat menggunakannya sebagai kerangka evaluasi terhadap kebijakan, program, regulasi dan perilaku penyelenggara negara. Di sanalah titik temu kesadaran transformatif antara penyelenggara negara dan rakyat. Acuannya sama (Pancasila), arah tujuannya pun sama (kesejahteraan rakyat). Namun, yang amat penting tapi cenderung dilupakan, yakni “semangat (dan suasana kebatinan)” saat Pancasila dikonstruksikan. Hal ini ditegaskan pula pada bagian Penjelasan UUD 1945 dengan sebutan “semangat penyelenggara negara”. Aspek semangat cenderung diabaikan. Mungkin juga dianggap tak pernah ada, tak pernah dipahami oleh penyelenggara negara. Semangat yang dimaksud adalah semangat untuk bergotong royong, bukan semangat individualisme. Semangat bersedia mengambil risiko untuk kesejahteraan rakyat, bukan semangat untuk kesejahteraan sendiri. Semangat penyelenggara negara tak kalah penting dibandingkan bunyi pasal-pasal dan program. Semangat akan menuntun perilaku penyelenggara negara. Sayang sekali, UUD 1945 hasil amandemen tak lagi mencantumkan bagian Penjelasan UUD 1945. Saya curiga, jangan-jangan krisis keteladanan bernegara yang terus mendera para penyelenggara negara di antaranya karena tak ada lagi tuntutan di dalam Konstitusi. Karena teksnya hilang, tak ada pengetahuan yang diwariskan. Tak ada bahan yang terus-menerus mengingat-ingatkan perihal semangat bergotong-royong itu. Yang muncul lalu semangat semau-maunya sendiri dalam mengelola kekuasaan. Semangat mengotak-atik aturan demi kepentingan sendiri. Semangat saling menggertak dan menyandera. Semangat mencari untung dan selamat sendiri. Semangat yang serba bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara. Saya kira di sanalah tantangan berat pemerintahan baru nanti. Tanpa kesadaran transformatif para penyelenggara negara, berat bagi Sang Saka Merah Putih berkibar terus di IKN. Dan, kesadaran transformatif itu harus diteladani dari pemimpin tertinggi. Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Sentimen: positif (99.2%)