Sentimen
Negatif (100%)
17 Agu 2024 : 08.00
Informasi Tambahan

Kab/Kota: bandung, Bekasi, Bogor, Depok, Surabaya, Semarang, Paris

Kasus: kebakaran, covid-19

Tokoh Terkait
joko widodo

joko widodo

Erma Yulihastin

Erma Yulihastin

Pidato Jokowi Singgung Perubahan Iklim dan Transformasi Hijau

Detik.com Detik.com Jenis Media: Tekno

17 Agu 2024 : 08.00
Jakarta -

Dalam pidato kenegaraan, Presiden Joko Widodo menyinggung perubahan iklim dan bencana alam yang kian sering terjadi.

"Sebagai bangsa yang tangguh, Indonesia mampu menghadapi tantangan yang sangat berat selama 10 tahun terakhir, mulai dari pandemi COVID-19, gejolak geopolitik global, perang dagang dan berbagai ancaman krisis, serta perubahan iklim yang menimbulkan banyak bencana," ucap Jokowi saat membuka pidatonya di Sidang Tahunan MPR 2024, di kompleks parlemen, Jakarta, Jumat (16/8/2024).

"Alhamdulillah, walau diterpa banyak tantangan dan ketidakpastian, kondisi politik dan ekonomi kita tetap stabil, bahkan mampu tumbuh secara berkelanjutan," sambungnya.

Selain kalimat yang dengan jelas menyebut soal iklim, masih terkait topik tersebut, dari delapan strategi jangka menengah yang diarahkan untuk mengakselerasi transformasi ekonomi menuju pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, salah satunya terkait dengan ekonomi hijau.

"Penguatan hilirisasi dan transformasi hijau untuk meningkatkan aktivitas ekonomi yang bernilai tambah tinggi, yang rendah emisi, dan berorientasi ekspor," ujarnya.

Sebenarnya, bagaimana kondisi alam terkait dengan perubahan iklim dan Bumi yang makin memanas ini?

Fakta Perubahan Iklim

Sejumlah pakar mengungkap data-data konkret mengenai efek pemanasan global yang dipicu oleh perubahan iklim yang berdampak langsung secara perlahan kepada manusia.

Bencana alam makin sering

Studi Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) 2021 menunjukkan cuaca ekstrem, krisis iklim, dan peristiwa terkait air menyebabkan 11.778 bencana antara 1970-2021.

"Dari laporan tersebut, negara maju mengalami lebih dari 60 persen kerugian ekonomi akibat cuaca, namun sebagian besar kerugian tersebut nilainya di bawah 0,1 PDB negara tersebut," kata Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati dalam sebuah diskusi yang tayang secara langsung di YouTube, Senin (1/4).

Makin banyaknya bencana alam akibat pemanasan global itu bisa dilihat salah satunya lewat data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Sepanjang 2023, ada 4.847 bencana yang menyebabkan 32.739 rumah dan 811 fasilitas umum rusak.

Saat itu, sebagian besarnya merupakan bencana hidrometeorologi. Sebanyak 1.135 kejadian bencana ekstrem, 1.114 bencana banjir, 568 kejadian tanah longsor, dan 31 kejadian gelombang pasang dan abrasi.

Bencana jenis ini menyebabkan 217 orang meninggal dunia, 5.678 orang luka-luka, dan 33 orang hilang, 28.348 rumah, dan 640 fasilitas umum rusak sepanjang tahun lalu.

Bencana hidrometeorologi sendiri adalah bencana yang diakibatkan oleh aktivitas cuaca seperti siklus hidrologi, curah hujan, temperatur, angin, dan kelembapan.

Bentuknya berupa hujan lebat, kekeringan, banjir, badai, kebakaran hutan, longsor, angin topan, hingga gelombang panas.

Para ahli menyebut bencana hidrometeorologi itu makin sering terjadi akibat cuaca ekstrem yang makin intens imbas perubahan iklim.

Contohnya, menurut pakar klimatologi dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin, adalah fenomena pemicu kekeringan El Nino yang makin sering datang.

Suhu makin panas

Menurut kajian WMO, peningkatan suhu sejak 2015 hingga 2023 mencapai 1,45 derajat Celsius.

Suhu pada 2023 terpaut 0,05 dari ambang batas peningkatan suhu permukaan bumi yang diwanti-wanti sejumlah negara di dunia dalam Paris Agreement pada 2015.

"Ternyata suhu global naik 1,45 derajat Celsius. Tinggal 0,05 derajat Celsius yang diizinkan naik tahun ini," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, beberapa waktu lalu.

Efek konkretnya, sebagai contoh, adalah peningkatan suhu wilayah perkotaan (Urban Heat Island/UHI) di Indonesia yang masuk jajaran elite dalam perhitungan nilai Land Surface Temperature (LST) global dalam 30 tahun terakhir.

Fenomena ini, kata dia, dipicu oleh struktur geometris kota yang rumit, sedikitnya vegetasi, efek rumah kaca yang terkait pemanasan global, hingga perubahan tutupan lahan.

Kota-kota besar yang makin panas itu antara lain Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi, Medan, Semarang, Surabaya, Makassar, dan Bandung.

Penelitian itu mengungkap Semarang mencatatkan nilai LST tertinggi, yakni 39,4 C pada 2019, dan Surabaya pada 2021 dengan nilai LST 38,5 C.

Daratan tenggelam

BMKG mengungkap pengamatan satelit menunjukkan tingkat kenaikan permukaan air laut global meningkat lebih dari dua kali lipat sejak 2002.

Saat itu, kenaikan permukaan laut rata-rata berkisar 2,14 mm per tahun. Namun, pada periode 2013 sampai 2022, kenaikan permukaan laut meningkatkan signifikan, yakni 4,72 mm per tahun.

"Kenaikan [permukaan air laut] dua kali lipat menjadi 4,72 milimeter per tahun dibandingkan tahun 2002," kata Dwikorita, dalam peresmian menara Gas Rumah Kaca (GRK) di Jambi, Kamis (18/7).

Kenaikan permukaan laut, kata Dwikorita, akan menyempitkan daratan hingga menenggelamkan pulau kecil. "Bayangkan pulau-pulau kecil akan tenggelam dan daratan semakin sempit karena ditutup air laut," ujarnya.

Kerugian ekonomi

Dwikorita menyebut bencana yang terjadi di negara maju kurang berpengaruh terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mereka atau relatif kecil dibandingkan bencana yang terjadi di negara berkembang atau belum maju.

Berdasarkan kajian WMO, 7% bencana menyebabkan kerugian lebih dari 5% dari PDB dan mencapai hingga 30% buat negara kepulauan kecil.

Selain itu, 20% bencana menyebabkan kerugian lebih dari 5% PDB, bahkan ada yang melebihi 100%.

"Itu efeknya lebih dahsyat, 50 kali lipat, dibandingkan kalau bencana itu di negara maju, bahkan bisa lebih. Artinya betapa rentannya negara yang belum maju dan berkembang, meski bencana tidak sedahsyat di negara maju," ujar Dwikorita.

"Tapi kerugiannya bisa puluhan kali lipat, 50 kali lipat atau bahkan 300 kali lipat dampaknya terhadap PDB di negara berkembang dibanding negara maju. Ini yang dikatakan ketidakadilan," lanjut dia.

Menurut Dwikorita, ini menunjukkan keadilan terhadap iklim dan air belum terwujud.

"Masing-masing negara punya kepentingan, jadi mereka akan melakukan kesepakatan sesuai dengan kebutuhan negara mereka. Ada perbedaan geografis, kondisi iklim, topografi antara satu negara dengan negara yang lain, sehingga variabilitas dan kualitas ketersediaan air juga berbeda," tuturnya.

Krisis pangan dan air

Deputi Bidang Klimatologi BMKG Ardhasena Sopaheluwakan mengatakan rekor-rekor suhu dunia membuat air makin langka.

"Perubahan iklim memberikan tekanan tambahan pada sumber daya air yang sudah semakin langka dan menghasilkan apa yang dikenal sebagai water hotspot," jelas dia, dalam siaran pers BMKG.

Alhasil, banyak negara terancam kekeringan dalam beberapa dekade ke depan. Saat ketahanan air melemah, dampak seriusnya bisa melanda ketahanan pangan dan energi.

Merujuk data Bappenas, perubahan iklim berpotensi menurunkan produksi padi Indonesia sebesar 1,13 juta ton dan 1,89 juta ton. Kemudian, lahan pertanian seluas 2.256 hektar sawah juga terancam kekeringan.

Sementara, angka prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan Prevalence of Undernourishment (PoU) pada 2022 meningkat menjadi 10,21% dari 8,49% pada 2021.

Menurut Dwikorita, apabila situasi ini tidak mendapat perhatian serius, maka ramalan Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mengenai krisis pangan global dan bencana kelaparan pada tahun 2050 bisa menjadi kenyataan.

Apabila kondisi ini terus berlanjut, BMKG menyebut hal ini akan memicu konflik yang berimplikasi terhadap stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan.

"Jumlah penduduk terus meningkat sehingga di waktu bersamaan kebutuhan air juga ikut meningkat. Apabila ini [air] tidak dikelola dengan baik maka dampak buruknya akan sangat serius," tutur Dwikorita.

*) Artikel ini sebelumnya sudah tayang di CNN Indonesia dengan judul '1 Kalimat Jokowi Soal Iklim saat RI Kian 'Terbakar' dan Tenggelam'.


(rns/rns)

Sentimen: negatif (100%)