Sentimen
1 Agu 2024 : 06.04
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Surabaya
Kasus: kecelakaan, pembunuhan, penganiayaan
Tokoh Terkait
9 Vonis Janggal Membebaskan Ronald Tannur Regional
1 Agu 2024 : 13.04
Views 3
Kompas.com Jenis Media: Regional
Vonis Janggal Membebaskan Ronald Tannur
Advokad di Kantor Hukum Gloria Tamba & Partners
“
MEMBEBASKAN
Terdakwa oleh karena itu dari seluruh dakwaan Penuntut Umum... ”, demikian salah satu isi amar Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 454/Pid.B/2024/PN.Sby tanggal 24 Juli 2024, yang Penulis peroleh dari laman website Direktori Putusan Mahkamah Agung RI.
Putusan Majelis Hakim yang diketuai oleh Erintuah Damanik tersebut, sontak memantik polemik dan kemarahan masyarakat.
Bagaimana tidak, keadilan yang cukup lama ditunggu oleh masyarakat yang mengikuti proses kasus ini, khususnya keluarga korban almh.
Dini Sera Afrianti
, seolah sirna seketika.
Padahal, dakwaan yang diajukan oleh jaksa (penuntut umum) sudah cukup berlapis, dengan membuat formulasi dakwaan kombinasi (secara alternatif dan kumulatif), yaitu Pasal 338 KUHP (pembunuhan), atau Pasal 351 ayat (3) KUHP (penganiayaan yang mengakibatkan kematian), atau Pasal 359 KUHP (kealpaan yang menyebabkan kematian) dan Pasal 351 ayat (1) KUHP (penganiayaan).
Namun, seluruh pasal dakwaan tersebut dinyatakan tidak terbukti oleh Majelis Hakim.
Dalam pertimbangan hukumnya, keterangan dokter spesialis forensik pada Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo bahwa kematian korban diakibatkan “luka robek majemuk pada organ hati akibat kekerasan tumpul sehingga terjadi perdarahan”, sama sekali tidak meyakinkan Majelis Hakim bahwa kematian korban tersebut sebagai akibat dari perbuatan terdakwa yang mengendarai mobil hingga mengakibatkan terlindasnya korban.
Majelis Hakim berpendapat “...dari hasil rekaman CCTV tersebut menunjukkan posisi mobil Terdakwa dari posisi terparkir, bergerak, dan kemudian berbelok ke kanan, lalu jalan lurus dan berhenti, sedangkan keberadaan posisi diri Korban Dini Sera Afrianti berada di sebelah kiri di luar dari alur kendaraan yang dikendarai Terdakwa”.
Untuk mendukung pertimbangan hukumnya tersebut, Majelis Hakim mendasarkan pada pendapat satu-satunya ahli yang dihadirkan oleh pihak terdakwa, yaitu Eddy Suzendi, ahli keselamatan berkendara atau kecelakaan lalu lintas.
Eddy menjelaskan “ketika seseorang duduk di luar mobil sebelah kiri ..., dan ketika kendaraan tersebut berbelok dia akan menerima gaya sentrivugal, yaitu gaya dimana melingkar ada dorongan kearah keluar, dipastikan akan keluar dari kurva... apabila dalam keadaan tidak terikat atau dalam keadaan bebas, maka dia akan terbuang karena pasti akan terpental. Apabila dia tidak menempel, maka tidak akan ada gesekan aksi”.
Pada hakikatnya, bagian pertimbangan hukum merupakan nyawa dari putusan pengadilan, atau biasanya disebut juga sebagai mahkotanya putusan.
Pertimbangan hukum yang keliru, sudah pasti akan menghasilkan putusan keliru - untuk tidak mengatakan putusan sesat.
Kekeliruan dalam bagian pertimbangan hukum bisa disebabkan oleh kekeliruan mengenai uraian fakta maupun kekeliruan mengenai penerapan aturan hukum.
Dalam perkara ini, sangat sulit menghindarkan adanya dugaan kejanggalan dalam Putusan Pengadilan Negeri Surabaya tersebut.
Terlebih lagi dalam Putusan setebal 102 halaman tersebut, sebenarnya terdapat 21 orang yang diperiksa, yaitu 15 orang saksi dan 3 orang ahli dari pihak jaksa (penuntut umum), seorang saksi dan seorang ahli dari pihak terdakwa, dan juga terdakwa sendiri.
Namun, dalam bagian uraian pertimbangan hukum, secara kasat mata terlihat bahwa keterangan para saksi dan pendapat para ahli tidak dinilai secara berimbang oleh Majelis Hakim, karena seolah “hanya” menitikberatkan pada keterangan terdakwa dan juga pendapat ahli yang dihadirkan oleh pihak terdakwa.
Padahal berdasarkan fakta persidangan (khususnya rekaman CCTV), telah terungkap fakta bahwa pada saat mobil terdakwa terparkir, di mana saat itu korban sedang duduk di luar mobil sebelah kiri dan hal tersebut diketahui
Ronald Tannur
, terdakwa masuk ke dalam mobil, kemudian mobil maju dan belok ke kanan, dan berhenti pada saat korban tergeletak di belakang mobil sebelah kiri dengan posisi tertidur.
Selanjutnya selang beberapa menit kemudian terdakwa turun dan menghampiri korban.
Hal ini juga sebagaimana keterangan Ronald Tannur sendiri yang menyatakan bahwa setelah terdakwa turun dari lantai atas untuk meminta CCTV, terdakwa berencana pulang, sedangkan korban sedang bersandar dekat kendaraan terdakwa.
Saat itu Ronald Tannur melihat dengan jelas keberadaan korban, yaitu pada bagian kiri, dan sebelum terdakwa naik ke ruang kemudi (kursi supir), terdakwa melewati korban, dan menegur korban mengapa di sana.
Ronald Tannur akhirnya sempat mengajak korban pulang, tetapi korban tidak menjawab.
Pada saat terdakwa berada di dalam mobil, terdakwa sempat membuka kaca sedikit dengan maksud mau mengajak pulang, lalu terdakwa menyalakan mobil, melihat dari spion dan klakson, terdakwa berbelok ke kanan menuju arah keluar basement.
Putusan Majelis Hakim yang membebaskan Ronald Tannur dari seluruh dakwaan jaksa (penuntut umum) telah mengesampingkan sejumlah fakta yang sangat krusial dan justru termuat di dalam Putusan itu sendiri, yakni:
Pertama, keberangkatan korban adalah bersama-sama dengan terdakwa ke Blackhole KTV Club Lenmarc.
Kedua, pernyataan terdakwa kepada pihak
security
yang awalnya menyatakan tidak kenal dengan korban pada saat korban sudah tergeletak tidak berdaya di areal carpark mobil basement Mall Lenmarc.
Kedua, perbuatan terdakwa di depan pihak
security
yang awalnya ingin meninggalkan korban dengan alasan rumah terdakwa jauh.
Keempat, perbuatan terdakwa yang awalnya meminta pihak
security
untuk memesan taksi kepada korban, padahal saat itu kondisi korban sudah tidak berdaya.
Kelima, perbuatan terdakwa yang tidak segera membawa korban yang sudah tidak berdaya ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pengobatan, melainkan membawa korban dan sempat meninggalkan korban di Lobby Apartmen Orchad Tanglin Lantai GF dalam keadaan di atas kursi roda dan tidak sadarkan diri.
Keenam, perbedaan keterangan terdakwa yang sangat bertolak belakang yang awalnya menyatakan “merasakan sesuatu terjadi pada mobilnya” sehingga terdakwa turun dan melihat korban sudah tergeletak di tengah jalan (sebagaimana termuat dalam uraian surat dakwaan jaksa/penuntut umum), namun di dalam persidangan keterangan terdakwa tersebut berubah drastis dengan menyatakan “terdakwa meyakini tidak mendengar suara apapun saat mengendarai mobilnya, terdakwa baru mengetahui korban tergeletak pada saat terdakwa akan memakai
seatbelt
lalu terdakwa melihat dari spion tengah dan berhenti”.
Belum lagi sejumlah fakta lainnya pada saat terjadinya peristiwa tersebut, yaitu tidak ada orang lain yang saat itu berkonflik dengan korban di lokasi kejadian, dan juga tidak ada mobil lain yang saat itu melintas di lokasi kejadian yang telah atau berpotensi melindas korban.
Penulis yakin apabila Majelis Hakim memiliki niat untuk mendalami seluruh fakta krusial tersebut dengan cara melakukan klarifikasi kepada Ronald Tannur, maka seharusnya perkara tersebut tidak berujung pada vonis bebas terhadap terdakwa.
Majelis hakim justru dengan mudahnya menerima perubahan keterangan terdakwa, bahkan menjadikannya sebagai bagian dari pertimbangan hukum.
Sejumlah fakta krusial tersebut telah tergambar adanya perbuatan dan atau niat jahat dari Ronald Tannur terhadap korban, terlepas dari apakah terjadinya kematian korban tersebut dikehendaki atau tidak dikehendaki oleh terdakwa.
Dengan adanya putusan bebas terhadap terdakwa, maka upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung yang ditempuh oleh jaksa (penuntut umum) merupakan suatu keharusan.
Sebagai puncak tertinggi lembaga peradilan di Indonesia, Mahkamah Agung perlu segera mengevaluasi Putusan Pengadilan Negeri Surabaya tersebut yang terindikasi telah salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, khususnya prinsip-prinsip hukum pembuktian.
Apabila nantinya Putusan Pengadilan Negeri Surabaya tersebut terbukti melanggar hukum dan dibatalkan oleh Mahkamah Agung, maka perlu segera dijatuhkan sanksi hukum yang tegas terhadap para hakim di Pengadilan Negeri Surabaya tersebut.
Sebagai benteng terakhir bagi masyarakat untuk memperoleh keadilan, Mahkamah Agung harus mempunyai inisiatif dan berperan aktif mengungkap kebenaran materil dalam perkara ini, sekaligus memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan yang saat ini sudah berada pada titik terendah.
Jangan sampai cemooh masyarakat yang selama ini sering terdengar, yaitu “tidak perlu tahu hukum, yang penting kenal hakim”, semakin nyata adanya.
Untuk mencegah hal tersebut, maka Putusan yang benar dan adil serta sesuai dengan fakta-fakta persidangan adalah satu-satunya solusinya.
Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Sentimen: negatif (100%)