Sengkarut Profesor Non-Akademisi Nasional 1 Agustus 2024
Kompas.com
Jenis Media: Nasional
Sengkarut Profesor Non-Akademisi Dosen FKIP Universitas Terbuka CIVITAS academica perguruan tinggi (PT) saat ini terpecah dalam tiga pandangan terkait penggunaan atau pencantuman “ profesor ” sebagai jabatan akademik pada nama pemiliknya. Dua pandangan menyatakan bahwa jabatan akademik profesor tidak perlu dicantumkan kecuali berkenaan dengan hal-hal yang bersifat akademik, dengan alasan berbeda, yaitu “sakralisasi” dan “desakralisasi”. “Sakralisasi” karena profesor merupakan jabatan akademik tertinggi (bukan gelar akademik) yang berada di puncak hierarki jabatan akademik. Status ini sama halnya puncak gunung yang diyakini sebagai tempat paling sakral dan suci dalam beberapa ajaran agama, tempat para dewa bersemayam. Puncak gunung juga diyakini merupakan pusat kekuatan dan tempat sakral yang menghubungkan manusia dengan dewa atau yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Sebagai puncak jabatan akademik, demikian pula halnya dengan puncak gunung, tidak setiap akademisi dan penganut agama bisa mencapainya. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada, tidak ada satupun yang “mewajibkan/mengharuskan” pencantuman profesor sebagai jabatan akademik mengiringi nama yang bersangkutan. Artinya, profesor sebagai jabatan akademik boleh dan sah dicantumkan, tetapi boleh dan sah juga tidak dicantumkan. UU hanya menyatakan bahwa profesor sebagai jabatan akademik hanya boleh digunakan atau dicantumkan “selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi.” Jika yang bersangkutan sudah tidak aktif lagi mengajar di PT, maka mereka tidak diperkenankan menggunakannya lagi. Hal ini juga berlaku untuk jabatan-jabatan akademik lain seperti tenaga pengajar, asisten ahli, lektor, lektor kepala dan atau yang dalam Permenristekdikti No. 164/M/KPT/2019 disebut lecturer, assistant professor, associate professor , dan professor ( full professor ). Ketentuan ini berbeda bagi profesor kehormatan (Permendikbudristek No. 38/2021). Pencantuman profesor kehormatan wajib menyertakan nama perguruan tinggi yang menetapkan profesor kehormatan. Walaupun dalam praktik, hal ini diabaikan. “Desakralisasi” karena profesor bukan “status sosial” yang perlu dikejar dengan segala cara untuk kemudian dipamerkan ke ruang publik sebagai kebanggaan. Menempatkan profesor sebagai status sosial telah melahirkan tradisi penultusan yang hanya ada, dan bertumbuh kembang di dalam masyarakat dan budaya feudal yang akan semakin meneguhkan kesenjangan diantara civitas academica (Yusuf, 2024). Pemegang jabatan profesor bukan orang yang “bebas” dari kritik dan kesalahan atau “maksum”. Semua kebenaran, termasuk yang bersumber dari profesor bersifat nisbi, dan terbuka untuk dikritisi melalui “kebebasan akademik”. Walaupun profesor memiliki otonomi keilmuan dan wibawa ilmiah, semuanya harus disampaikan secara bertanggung jawab dan selalu terbuka pula untuk dikritisi (Wahid, 2024). Kontroversi tentang profesor ini mengemuka, karena sejumlah pemegang jabatan akademik profesor terbukti melakukan “the fake professorship scandal”. Mereka memperoleh jabatan akademiknya melalui cara-cara yang melanggar etika dan integritas akademik. Mulai dari praktik plagiarisme, kepengarangan ( authorship ) tidak sah, kong-kalikong dengan editor jurnal, tim asesor angka kredit, bahkan dengan pejabat di selingkung Kemendikbudristek, atau memperoleh jabatan profesor kehormatan karena kedekatannya dengan pimpinan PT (Farisi, 2024). Semua praktik yang melanggar tatanan akademik dan integritas ilmiah yang selalu dijunjung tinggi oleh komunitas akademisi telah menggerus kredibilitas akademisi berikut kebijakan pemerintah seputar penilaian akademis di mata publik. Karena kasus tersebut, beberapa di antaranya dicabut jabatan akademiknya oleh Mendikbudristek. Seperti yang terjadi pada Profesor TI dari Universitas Malahayati Lampung ( Kompas.id , 01/11/2023). Terbaru, Mendikbudristek juga mencabut status 11 Profesor dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) ( BBC News , 11/07/2024). Selain lemahnya faktor pengawasan, evaluasi dan kendali, serta “permainan mafia” dalam proses pengajuan profesor, baik di tingkat internal perguruan tinggi dan kementerian, sengkarut profesor juga karena kontroversi produk yuridis-formal yang mengaturnya. Peraturan perundang-undangan yang pertama kali mengatur tentang jabatan akademik profesor terdapat di dalam UU No. 22/1961 tentang Perguruan Tinggi. Ketentuan ini lebih lanjut diatur di dalam SK Menteri Pedidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Nomor 72 tahun 1962. Menurut UU dan SK tersebut, profesor merupakan pengakuan dan penghormatan tertinggi pada seorang pengajar “biasa” (tetap) dan “luar biasa (tidak tetap)” di perguruan tinggi. Syarat untuk dapat diangkat menjadi profesor adalah: 1) memiliki spesialisai bidang ilmu; 2) menulis karya ilmiah dalam buku, majalah, jurnal, disertasi; 3) memiliki pengalaman mengajar; 4) bermoral dan berintegritas tinggi; dan 5) berjiwa Pancasila (Lailiyah, dkk. 2023). Penambahan syarat profesor terdapat di dalam UU No. 12/2012 dan ditindaklanjuti melalui Permendikbud No. 40/2012, yaitu memungkinkan seseorang yang memiliki “keahlian dengan kompetensi atau prestasi luar biasa” untuk diangkat menjadi profesor tidak tetap. Ketentuan ini menggunakan “analog” ketentuan pasal 46 ayat (3) UU No. 14/2005, yang sejatinya hanya diperuntukkan sebagai syarat untuk pengangkatan dosen luar biasa atau tidak tetap, bukan untuk pengangkatan profesor tidak tetap. Keahlian dan prestasi luar biasa dijelaskan lebih lanjut di dalam Permendikbud No. 88/2013, yang merupakan perubahan pertama Permendikbud No. 40/2012. Dinyatakan bahwa dosen tidak tetap yang memiliki keahlian, kompetensi atau prestasi luar biasa adalah mereka yang memiliki karya yang bersifat “pengetahuan tacit” yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi pengetahuan eksplisit di perguruan tinggi dan bermanfaat untuk kesejahteraan umat manusia. Istilah “profesor tidak tetap” kemudian diubah menjadi “profesor kehormatan” di dalam Permendikbudristek No. 38/2021. Profesor kehormatan dapat diberikan kepada setiap orang dari kalangan “non-akademik” (politisi, birokrat, artis, dll.) yang memiliki kompetensi luar biasa. Di sinilah pangkal terjadinya sengkarut pengangkatan profesor, yang bisa diberikan kepada siapa saja di luar akademisi dan peneliti untuk menjadi profesor. Permendikbud tersebut juga menghapus atau menghilangkan syarat “dosen yang masih aktif mengajar” dan “memiliki pengalaman kerja sebagai dosen” PT sebagaimana ditetapkan di dalam UU No. 20/2003, UU No. 14/2005, dan UU No. 12/2012. Permendikbudristek No. 38/2021, di satu sisi bisa menjadikan (menyulap) seorang non-akademisi menjadi akademisi dan memiliki jabatan akademik tertinggi sebagai professor kehormatan di dunia akademik. Di sisi lain, Permen tidak mengatur secara jelas dan spesifik kewajiban regular dan khusus pemegang profesor kehormatan. Permen hanya menyatakan bahwa yang bersangkutan harus memiliki “kinerja dan kontribusi dalam melaksanakan tridarma” pada PT yang mengusulkannya, yang dievaluasi secara berkala dan berkelanjutan oleh menteri. Persyaratan yang sangat terbuka dan multi tafsir, serta perlakuan yang sangat berbeda antara profesor karier dan profesor kehormatan ini telah memicu protes dari civitas academica dan terutama komunitas profesor PT. Apalagi, pengangkatan profesor kehormatan dari kalangan non-akademisi ditengarai bersifat transaksional, menjadi ajang “selling dignity”, instrumen balas budi, ajang membangun jaringan, serta perjanjian politik karena yang bersangkutan telah menyumbangkan uang dalam jumlah besar kepada perguruan tinggi pemberi jabatan profesor kehormatan. Bukan karena yang bersangkutan benar-benar dianggap berjasa dan atau berkarya luar biasa bagi ilmu pengetahuan dan umat manusia. Praktik pengangkatan profesor kehormatan semakin menambah sengkarut jabatan profesor, dan semakin menggerus kepercayaan publik atas kredibilitas akademisi dan PT sebagai pengawal integritas dan marwah tradisi akademik agung yang selama ini dijunjung tinggi. Hebatnya lagi, ketentuan profesor kehormatan ini memperoleh pengakuan dan legitimasi kuat melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 20/PUU-XIX/2021, dan hingga saat ini tidak belum ada satupun insan atau komunitas Pendidikan yang mengajukan judicial review terhadap Permen-permen yang tidak sesuai atau bertentangan dengan UU. Tidak adanya peninjauan kembali atas berbagai ketentuan pengangkatan profesor kehormatan secara internal dari Kemendikbudristek, dan judicial review oleh pihak eksternal jelas akan menimbulkan beragam anomali dan dampak destruktif di tengah-tengah masyarakat. Pada akhirnya masyarakat akademik dan PT yang akan menanggung bebannya. Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Sentimen: positif (99.9%)