Sentimen
Positif (88%)
1 Agu 2024 : 00.16
Informasi Tambahan

Hewan: Sapi

Institusi: ITB, UNPAD

Kab/Kota: bandung, Semarang, Yogyakarta, Solo, Sleman

Partai Terkait

MYCL Sulap Jamur Jadi Fesyen, Mendunia Pasarkan Bahan Tekstil 'Hijau' Didanai Bank DBS Indonesia

1 Agu 2024 : 00.16 Views 3

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Ekonomi

PIKIRAN RAKYAT - Jamur kerap diasosiasikan dengan 'bahan makanan' atau 'sumber penyakit' oleh orang Indonesia. Namun, apa jadinya jika jamur ternyata bisa disulap menjadi jaket, sepatu, bangku, hingga material rumah. Mungkinkah demikian?

Faktanya, jamur dapat menjelma berbagai rupa di tangan Mycotech Lab (MYCL), startup hijau Indonesia yang berhasil menjadi pionir pengembangan jamur sebagai bisnis menguntungkan serta berasas keberlanjutan lingkungan.

Dengan dana hibah dua kali berturut-turut dari Bank DBS Indonesia, MYCL sudah memasarkan produk unik dan satu-satunya di dunia ini secara global.

Produk unggulan MYCL di antaranya adalah Mylea, yakni komposit padat biodegradable dari hasil pemanfaatan jamur miselium (mycelium). 

Di bidang industri tekstil dan pakaian, MYCL memproduksi bahan seperti kulit. Masih terbuat dari jamur, bahan ini punya tekstur permukaan khas dan kualitas yang bisa diadu dengan kulit sapi apalagi kulit sintetis.

Kemudian untuk memenuhi kebutuhan furnitur berstandar desain modern, MYCL punya Bio Binderless Board, yaitu papan pengikat non-perekat yang berkelanjutan dari produk sampingan Mylea.

Semua produk tersebut dibuat dari jamur dan limbah pertanian, dengan proses yang ramah lingkungan dan jejak karbon yang nyaris nihil.

Trust your Spark

Dalam rangkaian perayaan HUT ke-35-nya, Bank DBS Indonesia meluncurkan kampanye ‘Trust Your Spark’, salah satunya lewat kunjungan ke rumah produksi MYCL ke Cisarua, Kabupaten Bandung, Jabar, Rabu, 24 Juli 2024 lalu.

Sebagai wujud nyata dari pilar keberlanjutannya yang ketiga, yakni Impact Beyond Banking, Bank DBS Indonesia melalui DBS Foundation Business for Impact Grant Award, memberikan dana hibah kepada social enterprise (SE) terpilih untuk memperluas jangkauan dan dampak keberlanjutannya pada aspek Environmental, Social, dan Governance (ESG).

Setiap SE yang mendapatkan dana hibah Bank DBS haruslah memiliki ‘spark’ yang menjadi pendorong menjawab berbagai tantangan sosial dan lingkungan di Indonesia, sekaligus mendukung Social Development Goals (SDG) yang dicanangkan oleh PBB.

Masalah seperti pengelolaan sampah, sustainable fashion, pemberdayaan perempuan, peningkatan kesadaran akan polusi udara merupakan beberapa fokus dari para SE. MYCL menjadi salah satu bagian dari keping jawab terhadap persoalan lingkungan yang dimaksud.

Berawal dari Growbox

Co-Founder yang juga menjabat sebagai Chief Financial Office, Annisa Wibi Ismarlanti menjelaskan, keempat founder bertemu jaman mereka masih kuliah. Selain dirinya, ada CEO MYCL, Adi Reza, Chief of Production Officer MYCL, Robbi Zidna Ilman, serta Chief Innovation Officer MYCL, Arekha Bentangan.

Ketiga lulusan ITB dan Annisa sebagai satu-satunya anak Unpad itu memulai perjalanan panjang MYCL dari Growbox, penyedia layanan creative agriculture yang berdiri sejak Januari 2013 lalu.

Produk andalan mereka ialah Edible Growing Mushroom Kit, yang berarti media tanam jamur rumahan yang mudah dan efektif.

Annisa mengatakan, ia memang sudah berteman dengan Adi dan Robbi lebih dulu sebelum bertemu Arekha. Robbi yang punya passion dalam barang terobosan menjadi ide pemantik awal produk segala jamur.

Namun, ide dapat terealisasi setelah mengajak Arekha bergabung. Sebab, imbuh Annisa, latar pendidikan Arekha sebagai lulusan bioteknologi menjadi kepingan puzzle terakhir sebelum mereka tancap gas.

"Arekha join sekitar tahun 2008. Kita ketemu dia (Arekha) pas masih set-up awal-awal (ide). Kita mau bikin sesuatu dari jamur tapi nggak ada orang yang ngerti," ucap Annisa.

Ide Usaha Saat Ngetrip ke Jogja

Unik, Annisa menjelaskan bahwa mereka mulanya terinspirasi saat menikmati hidangan di salah satu restoran di Yogyakarta. Jejamuran namanya.

Merupakan tempat makan spesialis olahan jamur yang berlokasi di Jalan Pandowoharjo, Niron, Pandowoharjo, Kapanewon Sleman, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

Tak hanya restoran keluarga, Jejamuran juga menjadi tempat budidaya jamur, serta jual beli souvenir dari jamur.

"Jadi Waktu itu, aku, Adi, Robbi pas lulus bukannya cari kerja malah pengen jalan-jalan. Akhirnya road trip ke Jogja-Solo-Semarang. Makan di Jejamuran. Kan kita lihat media tanam lucu-lucu," ujar dia.

"Bagus nih, tapi kalau kita jualan media tanpa didesain gitu, orang mana ada yang mau. Alhasil temen-temen mendesain experience-nya, packaging-nya, jadilah Growbox," katanya mengenang.

Annisa lantas mengutip perkataan Mycologist Paul Stamets, 'mushroom can save the world', bahwa jamur bisa menyelamatkan dunia.

"Ternyata setelah diulik potensinya memang banyak," ucap dia.

Tekan emisi dan Susutkan Limbah secara Drastis

CEO dan Chief Innovation Officer MYCL, Arekha Bentangan menguraikan, pengolahan Mylea dimulai dari limbah pertanian, khususnya yang mengandung selulosa. Kandungan ini dapat ditemukan dalam serbuk kayu, tandan kosong, dan sekam jagung, yang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk limbah.

Benih jamur yang berfungsi mengikat bahan baku serbuk limbah pertanian sehingga menjadi Mylea. Dok. Pikiran Rakyat/St. Aisah

Serbuk limbah itu lalu dicampur dengan benih jamur jenis Bacillus mycota, yang setelahnya akan tumbuh hingga membentuk miselium serupa serabut. Serabut ini nantinya berfungsi sebagai pengikat serbuk limbah menjadi kesatuan dan jadilah lembaran kain sintetis.

Jika dibandingkan dengan kain berbahan kulit sapi, Mylea mencatatkan kekuatan tekuk yang sama hingga mencapai angka 100.000 kali. Bahkan, dalam tensile strength test alias tes tarik hingga robek, Mylea mencapai angka lebih tinggi daripada kulit sapi.

“Hasil kekuatan tarik hingga robek kain Mylea mencapai 13,6 megapascal (Mpa). Angka itu lebih tinggi ketimbang kain berbahan kulit sapi yang hanya mencapai 12 Mpa,” ujar Arekha.

Dengan penggunaan limbah pertanian sebagai bahan dasar, tentu kain sintetis Mylea jauh lebih ramah lingkungan. Dari keterangan Arekha, Emisi karbon yang dihasilkan dalam pengolahan Mylea hanya 22,1 kg CO2e per meter persegi.

Sementara, kain kulit sapi bisa menghasilkan emisi karbon hingga 110 kg CO2e per meter persegi, meliputi pemeliharaan sapi hingga sekitar dua tahun hingga siap untuk dikuliti.

“Pembuatan kulit berbahan jamur hanya membutuhkan waktu sekitar 60 hari. Artinya, produk ini bisa menekan emisi hingga lima kali lipat (dari pada proses produksi kain berbahan kulit sapi),” ucap dia.

Produksi MYCL secara otomatis berdampak besar pada pengelolaan limbah, sebab setiap tahunnya, mereka dapat mengolah 500.000 kilogram limbah pertanian untuk dijadikan bahan baku. Artinya, limbah akhir menyusut sebesar 73.974 kilogram per tahun dan emisi karbon berkurang sebesar 64.184,88 ton CO2e.

Keunggulan itulah yang menjadi magnet konsumen internasional terhadap Mylea. Arekha mengaku bahwa saat ini dominasi pembeli MYCL memang berasal dari luar, seperti Singapura, Korea, Jepang, hingga Jerman.

“Perkembangan usaha itu membuat kami berhasil memberdayakan lebih dari 40 warga sekitar untuk membantu menjalankan operasional bisnis. Kami juga bekerja sama dengan puluhan kelompok tani untuk penyediaan limbah pertanian,” kata Arekha, mengungkap penyerapan tenaga kerja dari kesuksesan MYCL. ****

Sentimen: positif (88.9%)