Sentimen
Negatif (100%)
29 Jul 2024 : 23.31
Informasi Tambahan

Agama: Islam, Katolik, Kristen

Kab/Kota: New York, Washington, Roma

Kasus: Teroris, penganiayaan

Menggali Batasan Rasial di Amerika

29 Jul 2024 : 23.31 Views 5

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Internasional

PIKIRAN RAKYAT -  Selama 20 tahun terakhir, muslim di Amerika Serikat secara sistematis mengalami diskriminasi rasial atau istilah yang mengacu kepada diskriminasi terhadap seseorang atau sekelompok orang atas dasar ras mereka dan kebebasan mereka dibatasi.

Serangan 11 September atau Peristiwa Selasa Kelabu, yang juga disebut Serangan 9/11 atau hanya 9/11, adalah serangkaian empat serangan bunuh diri yang telah diatur terhadap beberapa target di New York City dan Washington, D.C. pada 11 September 2001.

Dilansir Aljazeera, setiap peringatan serangan 9/11 muncul perdebatan tentang keseimbangan antara keamanan dan kebebasan di Amerika Serikat. Yang sering terlupakan adalah peran ras dalam membatasi kebebasan sipil bagi minoritas agama. Saat ini, Muslim yang menjadi target. Seabad yang lalu, orang Yahudi dan Katolik yang menjadi sasaran.

Proses diskriminasi ini selalu sama. Pertama, minoritas difitnah di media dan oleh pejabat publik sebagai kelompok yang tidak setia. Kemudian, mereka digambarkan sebagai ancaman bagi cara hidup orang Amerika (Protestan Anglo-Saxon). Akhirnya, agama mereka dilabeli sebagai ideologi politik yang berbahaya, bukan sebagai agama.

Selama dua puluh tahun terakhir, media di Amerika sering menggambarkan Muslim sebagai teroris. Jarang sekali media menunjukkan bagaimana banyak dokter, guru, pemilik bisnis, pengacara, dan pekerja Muslim lainnya memberikan kontribusi positif bagi masyarakat Amerika. Sebuah penelitian di University of Alabama pada tahun 2018 menunjukkan bahwa antara tahun 2006 hingga 2015, berita tentang terorisme oleh Muslim muncul 357 persen lebih banyak dibandingkan berita tentang terorisme oleh non-Muslim di Amerika.

Politisi telah mendukung fitnah media ini dengan memberlakukan pengawasan ketat, deportasi, dan penuntutan terhadap komunitas Muslim. Pemerintahan Bush dengan National Security Entry-Exit System (NSEERS) dan pemerintahan Obama dengan program Countering Violent Extremism (CEV) sama-sama mengirim pesan kepada rakyat Amerika bahwa Muslim adalah ancaman keamanan dalam negeri.

Donald Trump juga mendukung pandangan ini selama kampanye presidennya, dengan menyatakan bahwa Islam membenci Amerika dan menyerukan kewaspadaan terhadap orang-orang Muslim yang masuk ke negara ini. Setelah menjadi presiden pada Januari 2017, Trump melarang masuknya warga dari beberapa negara Muslim.

Dukungan terhadap diskriminasi ini bertentangan dengan nilai kebebasan beragama yang dijunjung tinggi di Amerika. Akan tetapi, jika kita melihat minoritas agama sebagai kelompok ras, perlakuan buruk terhadap mereka sejalan dengan sejarah panjang diskriminasi terhadap warga kulit hitam, penduduk asli Amerika, dan minoritas ras lainnya di Amerika.

Dalam buku The Racial Muslim: When Racism Quashes Religious Freedom, menjelaskan bahwa rasisme tidak hanya didasarkan pada penampilan fisik, tetapi juga pada identitas agama. Warna kulit, tekstur rambut, fitur wajah, dan asal negara seseorang mempengaruhi di mana mereka berada dalam hierarki rasial. Akan tetapi, di Amerika Serikat, keterkaitan agama Kristen Protestan dengan kulit putih telah membuat pengikut agama non-Protestan mengalami diskriminasi rasial. Semakin jauh suatu kelompok dari identitas kulit putih dan Protestan, semakin sedikit hak istimewa yang mereka miliki.

Misalnya, ketika jutaan imigran dari Eropa Selatan dan Timur tiba di Amerika antara tahun 1880 dan 1924, meskipun mereka secara hukum dianggap kulit putih, identitas agama mereka sebagai Yahudi dan Katolik membuat mereka dipandang lebih rendah ketimbang orang kulit putih Protestan Eropa Utara. Mereka hanya dianggap lebih baik daripada orang kulit hitam, penduduk asli Amerika, dan orang Asia, tetapi tetap lebih rendah dari orang Protestan Eropa Utara.

ilustrasi kebersamaan freepik

Pada tahun 1920-an, kelompok Klu Klux Klan atau kelompok teroris supremasi kulit putih ekstrem di Amerika Serikat (AS) yang berdiri pada tanggal 24 Desember 1865. Kelompok ini berkeyakinan bahwa ras kulit putih adalah ras yang terbaik, yang kuat mengutuk umat Katolik karena memiliki sekolah parokial, pastor kelahiran asing, dan pelayanan dalam bahasa asing. Mereka melihat ini sebagai ancaman terhadap identitas nasional Anglo-Protestan. Bahkan, hanya dengan mempraktikkan agama mereka, umat Katolik sudah dicurigai oleh kaum Protestan sebagai persekongkolan untuk menghilangkan kebebasan individu.

Kaum nativis kulit putih menuduh bahwa ajaran Gereja Katolik Roma tidak sesuai dengan prinsip-prinsip liberalisme tentang pemerintahan sendiri, karena itu dianggap sebagai ancaman bagi demokrasi Amerika. Teori konspirasi ini mirip dengan kampanye anti-Syariah yang muncul setelah peristiwa 9/11 yang menargetkan Muslim.

Anti-Semitisme atau berarti prasangka atau kebencian terhadap Yahudi, juga sangat umum pada waktu itu, seperti halnya Islamofobia saat ini. Media pada awal 1900-an menggambarkan orang Yahudi dengan cara yang sangat negatif, menyebut mereka tertutup, separatis, parasit, suka memaksa, tidak jujur. Ketika populasi Yahudi meningkat menjadi lebih dari tiga juta pada tahun 1920 (sebagian besar dari Eropa Timur), kaum nativis Protestan kulit putih menggunakan rasisme berbasis teologi dengan mengklaim bahwa orang Yahudi adalah orang Mongol dan Khazar yang di-Yahudi-kan yang berasal dari Turki.

Dikutip Aljazeera, penggambaran hiperbolis di media tentang orang Yahudi dengan ciri-ciri fisik yang dilebih-lebihkan seperti mata melotot, bibir sensual yang menonjol, hidung bengkok, dan rahang mirip binatang adalah hal yang umum pada paruh pertama abad ke-20. Pada tahun 1938, diskriminasi dan rasisme terhadap orang Yahudi menyebabkan hampir 54 persen orang Amerika percaya bahwa orang Yahudi harus disalahkan atas penganiayaan yang mereka alami di Eropa.

Hampir delapan dekade kemudian, tepatnya tahun 2017, hasil sigi Pew Research menyebutkan bahwa sebanyak 50 persen orang Amerika percaya bahwa Islam bukanlah bagian dari arus utama Amerika, dan hanya 48 persen yang menyatakan perasaan hangat terhadap Muslim.

Identitas rasial Muslim sangat kontras dengan asosiasi orang Amerika terhadap agama Kristen yang diasosiasikan dengan perdamaian, peradaban, amal, dan pengampunan, meskipun sejarah agama tersebut juga diwarnai

dengan kekerasan. Bahwa agama Kristen diperlakukan sebagai sesuatu yang normal dan Islam dianggap berbahaya muncul dari pengkategorian ulang Islam dari agama yang terinspirasi secara ilahi menjadi ideologi politik yang penuh kekerasan.

Dalam debat tahunan tentang keamanan dan kebebasan ini, mari kita hadapi bagaimana rasialisasi agama merugikan umat Islam secara khusus dan mengikis kebebasan beragama secara umum. Hanya dengan begitu kita bisa mengakhiri Islamofobia di Amerika. (NH)***

Sentimen: negatif (100%)