Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Pilkada Serentak, Ramadhan
Tokoh Terkait
Bukan Lembaga Banding Putusan MA, MK Diminta Tolak Uji Materi Batas Usia Cagub
Beritasatu.com Jenis Media: Nasional
Jakarta, Beritasatu.com - Ketua Umum Forum Doktor Abdul Chair Ramadhan menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) bukanlah lembaga banding atas putusan Mahkamah Agung (MA). Hal ini disampaikan Abdul merespons langkah dua mahasiswa fakultas hukum, yakni A Fahrur Rozi dan Anthony Lee yang mengajukan uji materi batas usia calon gubernur dan calon wakil gubernur yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada ke MK.
Uji materi ini dilakukan setalah MA mengoreksi ketentuan batas usia kepala daerah menjadi paling rendah 30 tahun untuk cagub-cawagub dan 25 tahun untuk calon bupati-wakil bupati atau calon wali kota-wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.
Menurut Abdul, permohonan yang diajukan tersebut mengandung penilaian bahwa putusan MA telah salah dalam menafsirkan batas usia untuk calon kepala daerah.
"Karena itu, pokok gugatan (uji materi batas usia calon kepala daerah) yang menunjuk pada 'pengembalian tafsir syarat usia calon kepala daerah' adalah jelas dimaksudkan untuk membatalkan putusan MA itu sendiri dan sekaligus penetapan KPU tentang pasangan calon. Ujungnya adalah ‘mencegat’ seorang calon agar tidak dapat berkompetisi dalam pilkada," ujarnya kepada wartawan, Kamis (25/7/2024).
Menurut Abdul, permohonan uji materi tersebut telah menempatkan MK sebagai peradilan banding atas putusan MA. Padahal, kata dia, baik MK dan MA memiliki kompetensi yang berbeda, walaupun sama-sama pelaku kekuasaan kehakiman, tetapi berbeda kewenangan khususnya dalam hal pengujian peraturan perundang-undangan.
Disebutkan, MA melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Sementara itu, kewenangan MK dalam pengujian peraturan perundang-undangan, hanya terbatas terhadap pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.
"Pembatasan itu diadakan guna memenuhi asas kepastian hukum dan keadilan. Jelaslah bahwa MK bukanlah lembaga banding terhadap putusan MA," tandas Abdul.
Abdul pun mempertanyakan intensi permohonan dua mahasiswa fakultas hukum itu. Menurut dia, patut diduga langkah kedua mahasiswa ini untuk membatalkan atau mencegah salah satu kandidat calon kepala daerah karena putusan MK berlaku bagi semua orang (erga omnes), tidak bagi seseorang pribadi.
"Pencegatan yang dilakukan melalui permohonan uji materi kepada MK bukan menunjuk pada norma undang-undang, akan tetapi didasarkan pada rasa sentimen belaka guna membatalkan hak konstitusional seseorang agar tidak dapat maju sebagai calon kepala daerah," tegas Abdul.
Terkait hal itu, kata Abdul, permohonan tersebut aneh dan tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan kepastian dan keadilan hukum. Menurut dia, lain halnya jika permohonan itu tidak menyentuh putusan MA tersebut.
"Seharusnya permohonan tentang batas usia calon kepala daerah tidak ditujukan pada masa sekarang, melainkan untuk masa yang akan datang. Itu baru benar dan tepat sasaran, siapa pun pasti membenarkannya," ungkapnya.
Abdul menegaskan hukum mempunyai dalil bahwa menyamakan dua hal yang berbeda adalah tindakan tidak benar dan tidak adil. Menurut dia, pengujian di MK dan MA jelas-jelas berbeda ruang lingkupnya dan masing-masingnya tidak dapat membatalkan.
"Oleh karena itu, permohonan menyangkut perihal batas usia calon kepala daerah sebagaimana telah diputus oleh MA harus ditolak, sebab bertentangan dengan kepastian hukum dan keadilan," pungkas Abdul.
Diketahui, MK telah menggelar sidang uji materi batas usia calon kepala daerah. Perkara dengan Nomor 70/PUU-XXII/2024 menguji materi Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada diajukan oleh dua mahasiswa fakultas hukum, yakni A Fahrur Rozi dan Anthony Lee.
Sebelumnya, MA dalam putusannya mengoreksi ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU Nomor 9 Tahun 2020. Dinyatakan bahwa Pasal 4 ayat (1) huruf d Nomor 9 Tahun 2020 harus dimaknai “berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih”.
Dalam permohonannya, pemohon menilai terdapat pertentangan antara substansi pada Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada setelah adanya putusan MA Nomor 23P/HUM/2024. Kemudian dalam tuntutannya, pemohon meminta agar MK mengembalikan tafsir syarat usia calon kepala daerah ke pascaputusan MA, yaitu ditetapkan semenjak KPU menetapkan pasangan calon. MK juga diminta agar menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sentimen: negatif (99.7%)