Sentimen
Positif (87%)
15 Jul 2024 : 09.00
Tokoh Terkait

Kesatuan Apoteker: Harga Obat di Indonesia Mahal karena Gratifikasi untuk Oknum Dokter

15 Jul 2024 : 09.00 Views 3

Beritasatu.com Beritasatu.com Jenis Media: Nasional

Jakarta, Beritasatu.com - Kesatuan Aksi Memperjuangkan Profesi Apoteker Kuat (KAMPAK) menyebut faktor utama yang membuat harga obat mahal di Indonesia karena adanya biaya-biaya gratifikasi untuk para oknum dokter. Hal ini sudah bukan menjadi rahasia umum lagi dan pelakunya terlalu banyak.

Koordinator KAMPAK Merry Patrilinilla Chresna menegaskan oknum dokter inilah yang berwenang menulis resep dan memilihkan obat untuk pasien dan menjadi beban biaya yang ditanggung oleh pihak pasien atau konsumen.

"Jadi bentuk-bentuk gratifikasi itu bisa uang, barang, tiket perjalanan wisata (terkadang dibungkus seminar) ke luar negeri, dan lainnya," katanya kepada Beritasatu.com, Minggu (14/7/2024).

Selain ulah oknum dokter, Merry yang juga seorang apoteker menjelaskan harga obat di Indonesia bisa lima hingga enam kali lebih mahal dibanding negara lain di Asia karena faktor biaya iklan atau promosi obat yang dibebankan kepada konsumen.

Ia mengaku sebenarnya mahalnya harga obat merupakan masalah klasik yang sudah menjadi rahasia umum di kalangan farmasi maupun dunia kesehatan. Hanya saja inti persoalan selama ini menjadi seperti tabu untuk diekspos dan kemungkinan juga karena takut.

"Sebetulnya Menkes Budi Gunadi Sadikin juga dahulu pernah membuka hal ini ke publik. Namun, tampaknya mendapat sorotan dan mungkin juga tekanan, sehingga sekarang beliau tampak tidak berani lagi membuka hal itu ke publik," ungkapnya.

Merry menjelaskan bahwa masalah klasik ini bisa selesai atau normal kalau bisa menghapus mata rantainya, yakni gratifikasi oknum dokter.

"Ini karena pihak yang dihadapi adalah orang-orang yang jumlahnya banyak bertindak sebagai pemimpin (leader) dalam terapi dan sudah menikmati banyak keuntungan atau fasilitas dari pabrikan obat lewat sales-sales obat," beber Merry.

Ia menambahkan gratifikasi yang diberikan sangat besar dan mayoritas diberikan kepada oknum-oknum dokter spesialis. Jadi notabene pasien spesialis lebih menjangkau obat mahal, dibanding pasien dokter umum.

"Jadi saya berharap ini harus ada yang berani memulai membongkar ini semua karena sudah menjadi lingkaran hitam yang sangat lama eksis," harap dia.

"Apabila ke depan nanti pemerintah serius berniat baik untuk kemandirian bahan baku obat lokal, mohon diwaspadai dari pihak-pihak rente impor. Ini dimungkinkan menjaga kenikmatan dari proses impor dengan bagi-bagi fulus pula kepada pihak-pihak yang punya kewenangan terkait obat," kata Merry. 

Sentimen: positif (87.7%)