Sentimen
Positif (99%)
11 Jul 2024 : 10.40
Tokoh Terkait

DMO Gas 60% Plus HGBT Jadi Sentimen Negatif Investasi Hulu Migas

11 Jul 2024 : 17.40 Views 2

Bisnis.com Bisnis.com Jenis Media: Ekonomi

Bisnis.com, JAKARTA —  Indonesia Gas Society (IGS) meminta pemerintah cermat terkait dengan rencana penerapan wajib pasok domestik atau domestic market obligation (DMO) gas bumi sebesar 60% untuk industri dalam negeri. 

Chairman IGS Aris Mulya Azof mengatakan, kebijakan DMO 60% yang dibarengi dengan ketetapan harga khusus lewat skema harga gas bumi tertentu (HGBT) bakal berimplikasi negatif pada rencana investasi jangka panjang industri hulu minyak dan gas (migas) domestik. 

“Hal tersebut tentunya akan berimplikasi terhadap rencana investasi di hulu migas yang pada akhirnya akan berpengaruh kepada peningkatan produksi migas,” kata Aris saat dihubungi Bisnis, Rabu (10/7/2024). 

Aris berpendapat pemerintah mesti mempertimbangkan kebijakan yang mendukung investasi jangka panjang dalam sektor hulu migas, termasuk memberikan insentif fiskal yang menarik dan memastikan kepastian hukum yang stabil.

Dengan demikian, kata dia, produksi gas Indonesia dapat meningkat kembali untuk memenuhi kebutuhan domestik dan potensi ekspor, serta memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

“Seperti kita ketahui bersama, daya beli konsumen di sektor hilir masih belum sesuai dengan tingkat keekonomian investasi hulu sehingga dikeluarkanlah kebijakan HGBT,” kata dia. 

Seperti diberitakan sebelumnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyetujui rencana kewajiban pasok domestik atau DMO gas bumi sebesar 60% untuk kebutuhan industri manufaktur dan kelistrikan domestik. 

Selain itu, harga wajib pasok gas domestik itu juga nantinya bakal dibarengi dengan ketetapan harga kebijakan HGBT yang lebih rigid, mulai dari sisi kepala sumur (wellhead) sampai dengan di titik serah (plant gate) dengan industri pengguna. 

Aturan itu tertuang dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Gas Bumi untuk Kebutuhan dalam Negeri. Rancangan aturan itu didorong Kementerian Perindustrian sejak 2 tahun terakhir.  

Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menuturkan, rancangan beleid setingkat peraturan pemerintah itu telah disetujui Jokowi dalam rapat terbatas terkait dengan HGBT di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (8/7/2024) kemarin. 

“Berita baik bagi kita semua, Bapak Presiden dalam ratas kemarin menyetujui pembentukan RPP Gas Bumi untuk kebutuhan domestik,” kata Agus dalam acara peluncuran PP No.20 Tahun 2024 Tentang Perwilayahan Industri, Selasa (9/7/2024). 

Menurut Agus, selama ini kewajiban pasok atau ketersediaan gas untuk industri manufaktur tidak diatur secara tegas.  

Konsekuensinya, pasokan gas untuk industri dari lapangan kelolaan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) tidak berkelanjutan dan belakangan harga gas justru naik hampir dua kali lipat dari amanat HGBT di level awal US$6 per MMBtu.  

“Kalau kita lihat sekarang dalam neraca dari total produksi gas nasional, sekarang yang diperuntukkan atau yang dialokasikan untuk manufaktur dan termasuk pupuk baru 40%, ini terjadi secara alamiah seperti itu belum ada regulasi,” kata Agus. 

Di sisi lain, Agus menambahkan, pemerintah turut membuka opsi impor gas untuk memenuhi keperluan industri manufaktur domestik. Dia menegaskan, nantinya beleid itu bakal membuka lebar kompetisi harga antara gas produksi di dalam negeri dengan harga impor.  

Dia menilai aturan ini terbilang krusial di tengah proyeksi peningkatan kebutuhan gas domestik untuk industri manufaktur. Dia memperkirakan kebutuhan gas untuk industri naik dua kali lipat pada 2030 mendatang jika dibandingkan dengan neraca tahun ini.  

“RPP Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri ini juga mendorong sektor hulu gas bisa sehat, ada kompetisi, tidak lagi monopoli,” kata dia.  

Sementara itu, SKK Migas mencatat adanya pertumbuhan realisasi lifting gas bumi untuk keperluan domestik pada periode Januai-Mei 2024 sebesar 3.719 billion british thermal unit per day (BBtud) atau mengambil porsi 70% dari total produksi nasional. 

Realisasi itu lebih tinggi jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya di level 3.718 BBtud atau 68% dari total produksi nasional.

Sentimen: positif (99.1%)