Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: ISESS
Mengapa PDIP Hingga PKB Melirik Anies untuk Diusung di Pilgub Jakarta?
CNBCindonesia.com Jenis Media: News
Jakarta, CNBC Indonesia - Anies Rasyid Baswedan merupakan salah satu sosok yang menjadi magnet jelang pendaftaran bakal calon gubernur dan bakal calon wakil gubernur peserta Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Khusus Jakarta periode 2024-2029 yang akan dibuka 27 Agustus-29 Agustus mendatang.
Sejumlah partai politik pun telah mendukung dan berminat mendukung gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 itu untuk bertarung dalam pesta demokrasi nanti. Secara resmi, Dewan Pimpinan Tingkat Pusat Partai Keadilan Sejahtera telah memutuskan mengusung Anies bersama Wakil Ketua Majelis Syuro M. Sohibul Iman.
Dewan Pimpinan Wilayah Partai Kebangkitan Bangsa Daerah Khusus Jakarta pun telah menyatakan dukungannya. Kendati Dewan Pimpinan Pusat PKB masih belum menyampaikan keputusan resmi partai.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Puan Maharani pun menilai Anies sebagai sosok yang menarik untuk diusung dalam Pilgub Jakarta 2024. Potensi duet Anies dengan eks Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal TNI (Purn.) Andika Perkasa pun mengemuka.
Terbaru, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia Kaesang Pangarep membuka peluang berkoalisi dengan PKS. Merespons hal itu, Juru Bicara PKS Ahmad Mabruri bilang kalau partai yang hendak berkoalisi dengan PKS harus mendukung duet Anies-Sohibul.
Lalu, mengapa banyak partai yang mendekat untuk mendukung Anies dalam Pilgub Jakarta 2024? Padahal jika menilik hasil survei, beberapa kali elektabilitas Anies justru kalah dari bakal calon gubernur DKJ yang digadang-gadang akan diusung Koalisi Indonesia Maju, yaitu Ridwan Kamil.
Musfi Romdoni selaku analis sosial-politik Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) mengatakan, fakta itu menunjukkan Anies sebenarnya tidak terlalu moncer.
"Ini kan situasi yang menarik," ujar Musfi kepada CNBC Indonesia, Minggu (7/7/2024).
Kendati demikian, dia memiliki tiga alasan yang membuat Anies menjadi magnet partai jelang pendaftaran peserta Pilgub Jakarta 2024. Pertama, beberapa partai memiliki survei internal yang mungkin hasilnya berbeda dengan berbagai lembaga survei swasta.
"Bisa jadi survei internal partai menunjukkan elektabilitas Anies begitu tinggi," kata Musfi.
Kedua, lanjut dia, ini sebenarnya masalah persepsi. Seperti yang tertangkap survei, elektabilitas Anies mungkin tidak unggul jauh, tapi banyak pihak sudah terlanjur percaya kalau Anies pasti menang.
Artinya, menurut Musfi, berbagai elite partai memiliki keyakinan kalau pemenangnya pasti Anies.
"Jika alasan kedua yang terjadi, maka itu patut diwaspadai. Dalam perang ada strategi pengecoh di mana musuh sengaja menunjukkan dirinya lemah agar kita jadi lengah. Jika kubu Anies merasa di atas angin, mereka akan terpaku pada "persepsi keunggulan", sehingga tidak berusaha mempertahankan dan meningkatkan elektabilitas yang ada," ujar Musfi.
Dia menjelaskan, kasus semacam itu terjadi di Pilgub Jakarta 2017. Karena merasa di atas angin, kubu cagub ketika itu, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), tidak percaya kalau jagoannya akan kalah.
"Begitu pula Ahok, karena percaya akan menang, Ahok tidak memperbaiki strategi komunikasinya," kata Musfi.
Ia mencontohkan kasus lain pada Pilpres 2024. Karena status sebagai petahana, kubu capres Megawati Soekarnoputri merasa di atas angin, sehingga membuat kubu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dapat melakukan berbagai manuver pemenangan.
Ketiga, lanjut Musfi, banyaknya partai mendekat bukan berarti kubu Anies otomatis akan menguat. PDIP dan PKB ingin mengusung jagoannya, yang artinya mereka ingin memecah Anies-Sohibul.
"Mendekatnya PDIP dan PKB justru berpotensi menurunkan soliditas dukungan terhadap Anies. Begitu pula dengan PSI yang selama ini mengusung narasi kontra PKS dan kontra Anies," ujar Musfi.
Lebih lanjut, dia bilang, mendekatnya partai-partai seperti PDIP, PKB, dan PSI berpotensi membuat kalkulasi koalisi menjadi lebih panjang dan kompleks. Jika nantinya menjadi solid tentu bagus.
"Tapi bagaimana jika partai-partai itu membuat soliditas menurun? Ini yang saya maksud dengan bergabungnya partai baru tidak sama dengan penguatan koalisi," kata Musfi.
(miq/miq)
Sentimen: netral (47.1%)