Sentimen
Negatif (100%)
4 Jul 2024 : 14.35
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Washington, Tiongkok, Beijing

Tokoh Terkait

Heboh Fenomena Decoupling dan Friendshoring, China Teriak!

4 Jul 2024 : 14.35 Views 3

CNBCindonesia.com CNBCindonesia.com Jenis Media: News

Jakarta, CNBC Indonesia - Fenomena decoupling dan friendshoring tengah menjadi sorotan, khususnya China yang merasa dirugikan dengan adanya praktik tersebut.

Adapun decoupling mengacu pada praktik memisahkan atau mengurangi ketergantungan pada rantai pasok global. Akibatnya, suatu negara akan cenderung membangun atau memperkuat sumberdaya, produksi, atau distribusi secara lokal atau regional yang bertujuan untuk mengurangi risiko gangguan pasokan dan respons terhadap perubahan pasar.

Sementara itu, friendshoring mencerminkan kecenderungan beberapa negara untuk mengurangi ketergantungan pada negara-negara yang dianggap sebagai potensial ancaman atau pesaing.

Terbaru, China tiba-tiba menyerukan agar negara-negara dunia menentang upaya decoupling. Ini terkait pemisahan yang sedang dilakukan Barat ke China, salah satunya dengan memindahkan pabrik-pabrik dari negara itu.

Pernyataan disampaikan langsung Perdana Menteri (PM) Li Qiang di depan forum internasional pekan lalu, yang dimuat sejumlah media asing. China sendiri memang kini bersitegang secara ekonomi dengan Amerika Serikat (AS) dan Eropa, salah satunya soal penggenaan tarif impor kendaraan listrik Beijing.

"Kita harus membuka pikiran kita secara luas, bekerja sama secara erat, meninggalkan formasi kamp, (dan) menentang decoupling," kata Li Qiang, pemimpin kedua tertinggi China, yang ditugaskan Presiden Xi Jinping mengelola urusan ekonomi, dikutip AFP.

Menurut Li, saat ini industri di China memang berkembang pesat. Ini karena keunggulan komparatif Tiongkok yang Unik.

Dia mendesak "stabilitas dan kelancaran operasi" rantai pasokan. Termasuk "liberalisasi dan fasilitasi perdagangan dan investasi".

Sebenarnya kekhawatiran decoupling dari China oleh negara Barat muncul setelah selama beberapa tahun terakhir kedua belah pihak berbenturan dalam sejumlah masalah. Di antaranya perdagangan dan teknologi.

Bulan lalu misalnya, AS menaikkan tarif impor senilai US$18 miliar dari negara tersebut, menargetkan sektor-sektor strategis seperti kendaraan listrik, baterai, baja dan mineral penting. Hal ini sebuah langkah yang diperingatkan oleh Beijing akan "sangat mempengaruhi hubungan antara kedua negara adidaya tersebut".

China juga menghadapi pengawasan ketat dari Uni Eropa (UE). Di mana negara itu bersiap mengenakan tarif hingga 38% pada kendaraan listriknya pada tanggal 4 Juli dengan alasan kekhawatiran atas persaingan tidak sehat yang disebabkan oleh besarnya subsidi negara.

Bea masuk tersebut akan bersifat sementara hingga bulan November. Namun nantinya akan diberlakukan secara penuh.

UE mengatakan "subsidi yang tidak adil" yang dilakukan Beijing terhadap industri kendaraan listrik mengancam produsen kendaraan listrik di Eropa. Komentar itu juga jadi alasan yang sama diberlakukan tarif tinggi impor mobil listrik China di AS, di mana Washington menuduh Beijing berusaha "membanjiri" pasar Amerika dengan kendaraan listrik, panel surya, dan barang-barang lainnya yang disubsidi secara besar-besaran.

"Kendaraan listrik, baterai litium, dan panel surya China pertama-tama menjamin permintaan domestik," tegas Li lagi.

"(Lalu kemudian) sekaligus memperkaya pasokan di pasar internasional, mengurangi tekanan inflasi di dunia dan memberikan kontribusi positif China terhadap respons global terhadap perubahan iklim," tambahnya.

Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Perdagangan Kasan mengatakan Indonesia perlu menggali peluang perdagangan dari kedua fenomena yang diperkirakan masih akan terus berlangsung.

"Decoupling dan friendshoring muncul dengan konteks global yang penuh tantangan. Namun, perubahan pola perdagangan global tersebut dapat menawarkan sejumlah peluang, untuk memperkuat ketahanan ekonomi nasional," tuturnya.


(luc/luc)

Sentimen: negatif (100%)