Sentimen
Positif (96%)
4 Jun 2022 : 12.54
Informasi Tambahan

Institusi: ITB

Kab/Kota: bandung

Tokoh Terkait
Erma Yulihastin

Erma Yulihastin

Cerita Klimatolog RI dan Indonesia Sebagai Miniatur Iklim Dunia

CNNindonesia.com CNNindonesia.com Jenis Media: Tekno

4 Jun 2022 : 12.54
Jakarta, CNN Indonesia --

Semenjak kebijakan Work From Anywhere (WFA) mulai dicanangkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin hanya datang sekali sepekan ke kantornya di Jl. Dr. Djunjunan 133, Bandung yang berjarak sekitar 2 kilometer dari tempat tinggalnya.

Perempuan yang akan genap berusia 43 pada 4 Juli ini menjadi periset di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) sejak 2008, berselang enam tahun dari wisuda sarjananya di jurusan Geofisika dan Meteorologi Institut Teknologi Bandung (ITB).

Ketertarikan Erma pada bidang iklim sebetulnya baru tumbuh saat ia bergabung di Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim-LAPAN. Sebelumnya, ia sendiri lebih fokus pada bidang konsentrasi ilmu Oseanografi.

"Ketika saya memilih bidang [iklim] itu, saya banyak membaca, banyak mempelajari lagi, karena sudah sangat lama dari lulus hingga menjadi peneliti," kata Erma kepada CNNIndonesia.com lewat sambungan telepon, Jumat (3/6).

"Dari penggalian itu, saya mengambil satu intisari pengetahuan bahwa dunia ini sedang menghadapi satu kejadian yang sangat fenomenal bernama perubahan iklim," lanjutnya.

Miniatur Iklim Dunia

Selain karena alasan tersebut, wanita yang melanjutkan pendidikan magisternya juga di ITB ini menyebut Indonesia adalah sebuah wilayah yang sangat menarik untuk bidang klimatologi.

Banyak negara berinvestasi dengan menyimpan berbagai macam alat di wilayah Indonesia untuk kepentingan penelitian iklim. Pasalnya, Indonesia bisa disebut sebagai miniatur iklim dunia.

"Orang luar negeri berdatangan ke sini, ilmuwan luar negeri ke sini untuk membawakan apapun, untuk taruh alat, untuk investasi riset," papar Erma.

"Benua Maritim Indonesia ini miniatur iklim dunia, jadi kalau kita bisa memecahkan cuaca dan iklim di Indonesia, maka kita sudah bisa mengetahui bagaimana cara iklim bekerja di seluruh dunia," imbuhnya.

Menurut Erma hal itu mungkin terjadi karena lokasi Benua Maritim Indonesia sangat sentral. Selain itu, wilayah atmosfer kita disebut sebagai penghasil awan hujan terbesar di dunia, bersama dengan wilayah Brasil.

Beragam Bidang Penelitian

Bidang penelitian Erma sendiri mencakup beberapa hal yang berkaitan dengan laut dan atmosfer, di antaranya monsun, ENSO (El Niño-Southern Oscillation) yang terdiri dari El Nino dan La Nina, serta Intertropical Convergence Zone (ITCZ).

"Penelitian saya sendiri sejak awal kaitannya dengan komponen laut dan atmosfer yang saling berinteraksi, kita sebutnya interaksi laut atmosfer," jelas periset yang mendapatkan gelar doktoralnya pada 2020 ini.

Selain sederet topik tersebut, Erma juga meneliti berbagai fenomena iklim. Saat ini misalnya, Erma mengaku mengerjakan penelitian badai vortex di Samudera Hindia sebelah selatan Jawa.

Selama berkarir menjadi periset iklim (klimatologis), perempuan yang juga menjabat sebagai Peneliti Ahli Madya di Pusat Riset Iklim dan Atmosfer, Organisasi Riset Kebumian dan Maritim-BRIN ini menyebut hasil penelitian disertasinya menjadi salah satu penelitian yang paling berkesan.

Menurutnya, penelitian disertasi itu dianggap dapat memberikan dampak besar, baik untuk ilmu pengetahuan maupun untuk masyarakat. Dalam disertasinya berjudul  "Variasi Fase Siklus Diurnal Curah Hujan di Pesisir Utara Jawa Barat dan Kaitannya dengan Fenomena CENS (Atmosfer)-Cold Tongue (Laut)" Erma menemukan bagaimana hujan dini hari di daratan berkaitan dengan fenomena cuaca ekstrem yang terjadi.

Cuaca ekstrem

Berbicara mengenai cuaca ekstrem, periset yang telah menelurkan enam jurnal penelitian internasional ini juga menyinggung fenomena cuaca ekstrem dan peningkatan suhu di beberapa wilayah Indonesia beberapa waktu lalu yang bahkan ia proyeksikan dapat berlanjut hingga beberapa bulan ke depan.

Erma menyebut apa yang terjadi pada 2022 merupakan pengulangan dari 2010. Pada 2010, wilayah Pulau Jawa disebut "kehilangan" musim kemarau yang merupakan satu dari dua musim yang terjadi di Indonesia.

"Tahun ini adalah tahun yang istimewa karena kita mengulangi tahun 2010, 2010 adalah momen di mana musim kemarau hilang dari pulau jawa," tutur Erma.

Hal ini dapat terjadi dikarenakan sejumlah faktor, seperti La Nina, Indian Ocean Dipole (IOD) negatif, serta Pacific Decadal Oscillation (PDO) atau yang juga dikenal dengan La Nina dengan periode panjang.

"Kita memasuki kemarau dengan angin timuran, tapi sifatnya tetap basah, apalagi di barat Indonesia. Barat Indonesia itu sektornya Sumatera dan Jawa," papar Erma.

Kemudian, faktor tersebut ditambah dengan adanya anomali suhu temperatur di udara ketinggian dua meter yang menyatakan wilayah Jawa mengalami rata-rata anomali positif.

"Artinya, ada kenaikan suhu antara 0,5 sampai 1 derajat di wilayah selatan Jawa," terang Erma.

Dengan demikian, kemarau 2022 disebut Erma akan diwarnai dengan dua fenomena, yakni kemungkinan cuaca ekstrem yang disebabkan La Nina, IOD negatif, dan PDO, serta cuaca panas yang disebabkan anomali suhu.

Tantangan periset

Berkarir sebagai peneliti tentu memiliki beragam tantangan baik dari internal maupun eksternal. Bagi perempuan yang tengah diproses menjadi peneliti ahli utama ini, tantangan yang beberapa kali ditemuinya adalah demotivasi atau jenuh.

Erma berusaha menyelesaikan tantangan itu dengan membuat grup diskusi. Tujuannya, ia ingin sesama peneliti saling berbagi dan memotivasi. 

Selain itu, ia ingin para peneliti senior ikut membantu para peneliti muda. Pasalnya, Erma merasa tidak punya pembimbing saat baru menjadi peneliti. 

Lebih lanjut, Erma juga merasa para peneliti masih minim dukungan dana dari pemerintah. 

Infografis-Iklim-Berubah. (Foto: rengga)

Salah satu yang paling terasa adalah hilangnya dukungan untuk dana publikasi. Erma menyebut ia dan rekan-rekannya bahkan harus iuran untuk memenuhi dana publikasi tersebut.

"Iuran, kita sekarang sistemnya iuran. Jadi kita bagi-bagi, sama teman-teman kita," tutur periset yang tengah diproses untuk menjadi peneliti ahli utama ini.

"Kita dituntut untuk publikasi untuk peneliti madya minimal 3 jurnal internasional, tapi kita di setiap proposal riset tidak disediakan dana publikasi," imbuhnya.

Erma amat menyayangkan surutnya dukungan kepada para periset. Pasalnya, hal semacam ini mungkin bisa menurunkan motivasi sejumlah periset.

"Bisa membuat demotivasi juga buat periset," katanya.

Meski tidak memberikan dana publikasi, pemerintah melalui BRIN memberikan tunjangan kinerja bagi para periset. Tunjangan tersebut disesuaikan dengan pencapaian yang masing-masing periset dapatkan setiap tahun.

(lom/lth)

Sentimen: positif (96.8%)