Sentimen
Negatif (100%)
28 Jun 2024 : 18.05
Informasi Tambahan

Grup Musik: APRIL

Kab/Kota: Tangerang, Bekasi, Depok, Kairo

Kasus: covid-19, penembakan, pengangguran, PHK

Tokoh Terkait

Rupiah Melemah dan Memori Krisis 1998

29 Jun 2024 : 01.05 Views 2

CNNindonesia.com CNNindonesia.com Jenis Media: Nasional

Jakarta, CNN Indonesia --

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terus anjlok beberapa waktu belakangan. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka bisa berdampak pada gejolak sosial dan politik.

Di awal Pemerintahan Jokowi pada 2014, rupiah sempat berada di level sekitar Rp12 ribu. Kini, di ujung Pemerintahan Jokowi, rupiah sudah jatuh makin dalam, menyentuh Rp16.420 per dolar AS pada Kamis (27/6).

Rupiah bahkan serapuh empat tahun lalu atau saat pandemi Covid-19. Nilai tukar rupiah menyentuh level Rp16.376 per dolar AS pada 4 April 2020.

Indonesia punya cerita tersendiri soal anjloknya nilai tukar rupiah. Pada 1998, pelemahan nilai tukar rupiah menyeret Indonesia pada krisis ekonomi, hingga merembet pada krisis politik.

Ekonom Thee Kian Wie dalam buku Dari Krisis ke Krisis menjelaskan krisis ekonomi yang terjadi pada 1997-1998, sama sekali tidak terduga. Berbeda dengan krisis ekonomi Indonesia pada 1960, yang sudah banyak diramal karena adanya pengabaian terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi.

Di masa 1990-an itu, ekonomi Indonesia dilaporkan tumbuh pesat dengan laju pertumbuhan rata-rata 7,6 persen per tahun.

"Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan berkelanjutan selama tiga dasawarsa sejak akhir 1960-an berhasil menekan tingkat kemiskinan, suatu kinerja yang belum pernah ada presedennya," ungkap Thee.

Thee menyampaikan krisis keuangan dan ekonomi di Indonesia pada 1997-1998 itu disebabkan berbagai faktor.

Pada 1996 di Thailand, kepercayaan investor asing tergerus oleh penurunan tajam pertumbuhan ekspor serta membesarnya defisit transaksi berjalan.

Hal itu menyebabkan aliran modal dan spekulasi terhadap mata uang baht karena orang meramalkan akan dilakukan devaluasi untuk mengerem merosotnya pertumbuhan ekspor.

Begitu ramalan muncul dan modal portofolio hengkang ke luar negeri, proses krisis mengalami peningkatan momentum.

"Sejak pertengahan 1996, hingga paruh pertama 1997, Bank Sentral Thailand mencoba mempertahankan nilai baht terhadap serangan para spekulan. Untuk tujuan ini, Bank Sentral mengintervensi pasar mata uang dengan mengeluarkan lebih dari 23,4 miliar dolar dari cadangan totalnya yang sekitar 39 miliar dolar," kata Thee.

Setelah upaya itu gagal, pada Juli 1997, Bank Sentral Thailand terpaksa mengambangkan nilai baht. Melalui efek penularan, krisis nilai mata uang Thailand menyebar ke negara ASEAN lainnya, termasuk Malaysia, Filipina dan Indonesia.

Thee menjelaskan hanya tiga pekan setelah baht diambangkan, nilai tukar rupiah mengalami tekanan kuat ketika para investor dan kreditor asing berebut menghindari Indonesia dengan memindahkan modal mereka ke luar negeri.

Demikian juga dengan perusahaan-perusahaan Indonesia sendiri.

"Akibatnya rupiah terus terdepresiasi dengan pesat meskipun Bank Indonesia berusaha mengintervensi pasar dengan menjual dolar," tulis dia.

Selama kurun waktu Desember 1997 sampai Januari 1998, nilai rupiah terus menurun. Surat perjanjian kedua dengan IMF yang diteken Presiden Soeharto pada Januari 1998 gagal mengembalikan kepercayaan pasar terhadap rupiah.

Pada pertengahan Januari 1998, rupiah jatuh menjadi Rp17 ribu per dolar AS, hanya sepertujuh dari nilai sebelum krisis.

Thee berpendapat ketidakmampuan pemerintah dalam menangani krisis ekonomi kemudian menimbulkan krisis politik yang parah.

Krisis merembet jadi kerusuhan

Ester Indahyani Jusuf dkk dalam buku Kerusuhan Mei 1998: Fakta, Data dan Analisa menjelaskan krisis ekonomi membuat berbagai pabrik tutup akibat mahalnya bahan dan suku cadang impor. Pemutusan hubungan kerja (PHK) pun tak terhindarkan.

Kondisi ini diperburuk dengan El Nino yang membuat banyak panen gagal. Pengangguran yang kemudian memilih pulang kampung dihadapkan pada kondisi petani-petani yang gagal panen.

Pada sisi lain, akibat terjadinya kenaikan harga pada hampir semua barang dan terganggunya jalur dan proses perdagangan, barang-barang kebutuhan masyarakat, khususnya sembako menjadi semakin langka di pasaran.

"Masyarakat mulai resah dan panik terhadap kelangkaan barang-barang kebutuhan... situasi panik makin menjadi dan masyarakat khususnya orang kaya mulai melakukan aksi borong sembako," tulis Ester.

Aksi-aksi mahasiswa dan pemuda mulai meningkat. Pada Januari 1998, aksi dilakukan berbagai kelompok mahasiswa di berbagai kota. Isu yang dibawa terkait ekonomi.

Aksi meningkat di Februari baik dari jumlah massa dan kota. Di Maret dan April aksi terus meluas, seiring dengan tuntutan yang dibawa.

"Tuntutan-tuntutan aksi yang diawali mengangkat isu sosial-ekonomi, seperti menolak kenaikan harga, kenaikan harga listrik, BBM dan lainnya telah berkembang kepada tuntutan yang lebih politis seperti tuntutan pergantian kabinet, sidang istimewa hingga tuntutan menurunkan Soeharto dari jabatannya sebagai Presiden," tulis Ester.

Di tengah situasi itu, Soeharto pada 9 Mei meninggalkan Indonesia untuk menghadiri KTT G-15 di Kairo, Mesir.

Ia sempat menyampaikan pernyataan kepada pers sebelum meninggalkan Tanah Air.

Saat itu, ia menyampaikan keyakinannya, rakyat Indonesia memiliki kesadaran pentingnya menjaga stabilitas nasional. Atas keyakinan itu, ia berani meninggalkan Indonesia.

Terhadap masalah politik, ia menyebutkan bahwa pemerintah juga telah bertekad untuk melaksanakan reformasi dan pembaruan dalam bidang politik.

Tetapi hal itu harus dilaksanakan secara konstitusional dan menyerahkannya kepada DPR sesuai fungsi kerja.

"Pemerintah dengan kabinet yang telah ia susun akan siap membantu DPR dalam melakukan reformasi. Ia menyatakan bahwa reformasi akan mulai dilaksanakan setelah Sidang Umum MPR 2003," tulis Ester.

Beberapa hari setelah Soeharto pergi, terjadi penembakan terhadap mahasiswa Trisakti. Empat di antaranya meninggal dunia. Kerusuhan meletus di berbagai kota, khususnya Jakarta.

Sepanjang 13-15 Mei 1998 tercatat kerusuhan terjadi di 111 lokasi di Jakarta, Tangerang, Depok dan Bekasi.

Peristiwa kerusuhan secara umum dibagi dalam tiga bentuk tindakan yaitu perusakan, pembakaran dan penjarahan. Tidak pada semua tempat, tindakan perusakan selalu disertai penjarahan atau pembakaran.

Data lain yang dipaparkan dalam buku Politik Huru-Hara Mei 1998 karya Fadli Zon, mencatat lebih dari 80 aksi mahasiswa dilakukan sepanjang Februari hingga awal Mei 1998 di berbagai kota di Indonesia.

Soeharto yang saat itu ada di Kairo, mengetahui kabar adanya mahasiswa Trisakti meninggal dari putrinya Siti Hardijanti Hastuti Rukmana atau Tutut.

Fadli menyampaikan setelah kerusuhan di Jakarta, demonstrasi terus terjadi. Gedung DPR diduduki dan dikuasai mahasiswa.

Di level politik yang lebih tinggi, sejumlah Menteri Kabinet Pembangunan VII mengundurkan diri dan dua fraksi penting di DPR, meminta Presiden Soeharto mengundurkan diri.

Soeharto akhirnya mundur tak lama setelah kepulangannya dari Mesir pada 15 Mei. Ia saat itu mempercepat waktu kepulangannya.

Kamis, 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB, ditemani Wakil Presiden B.J Habibie dan para ajudan, Soeharto membaca naskah pidato di Istana Merdeka, Jakarta.

"Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari Kamis 21 Mei 1998," kata Soeharto seperti dikisahkan James Luhulima dalam buku Hari-Hari Terpanjang Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto dan beberapa peristiwa terkait.

Di masa itu, James menyatakan kesuksesan ekonomi selama lebih dari 30 tahun menjadi semacam legitimasi bagi Soeharto untuk terus memerintah, berubah menjadi krisis ekonomi yang berkepanjangan.

"Ketidakmampuan mengatasi krisis ekonomi itu menjadikan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah runtuh," tulis James.

Sementara, Ester menyampaikan kerusuhan yang terjadi pada 13 hingga 15 Mei, khususnya di Jakarta, pada akhirnya memberikan dampak yang berarti terhadap sendi kehidupan sosial, ekonomi dan keamanan secara umum.

"Kerusakan yang begitu besar dan korban yang mengenaskan menjadi gambaran betapa getirnya peristiwa tersebut. Pada sisi lain, dampak dari kerusuhan tersebut ternyata memberikan celah bagi terjadinya proses perubahan politik (yang berkaitan dengan perubahan ekonomi dan sosial) di Indonesia," tulis Ester.

Baca halaman berikutnya: Bagaimana kondisi saat ini?

Sentimen: negatif (100%)