Sentimen
Negatif (87%)
27 Jun 2024 : 14.31
Informasi Tambahan

Kasus: serangan siber

Server PDNS Diretas, Guru Besar IT Bicara Pentingnya Budaya Berhati-hati Menjaga Sistem Keamanan

27 Jun 2024 : 21.31 Views 3

Tribunnews.com Tribunnews.com Jenis Media: Nasional

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Server Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengalami serangan siber Ransomware sejak Kamis (20/6/2024) lalu.

Sehingga down dan mengganggu layanan publik di berbagai instansi yang terjadi hingga kini.

Menanggapi hal ini, Guru Besar bidang  Information Teknologi (IT) Prof. Marsudi Wahyudi Kisworo mengatakan bahwa di dunia keamanan komputer tidak ada sistem yang dijamin keamanannya. 

Namun, dia mengingatkan pentingnya security awareness culture.

"Dalam dunia keamanan komputer, di dunia ini tidak ada sistem yang dijamin pasti aman, yang ada adalah sistem yang sudah diretas dan sistem yang belum diretas. Di negara-negara maju pun konon setiap 3-5 detik terjadi percobaan peretasan," kata Prof Marsudi, Rabu (26/6/2024).

Hal itu, lanjutnya, sama saja dengan sebuah rumah. Secanggih apapun pengamanan rumah, tidak ada yang mau menjamin bahwa rumah seseorang tidak akan kemalingan, kerampokan, atau kejatuhan meteor.

"Makanya dalam keamanan, yang paling penting adalah security awareness culture alias budaya berhati-hati," terang dia.

Selain itu, Guru Besar pertama di bidang IT di Indonesia ini menegaskan bahwa di jagat pengamanan komputer, harus selalu mematuhi tata kelola keamanan (security governance) yang baik.

"Misalnya menerapkan berbagai standar keamanan komputer yang ada, dapat mengurangi kemungkinan terjadinya pelanggaran keamanan, paling tidak mengurangi dampak jika terjadi pelanggaran keamanan. Sama kan dengan pengamanan fisik seperti mengamankan rumah atau mobil," paparnya.

"Security governance meliputi analisa risiko apa saja yang bisa terjadi, meliputi skenario pelanggaran keamanan, aktor, probabilitas, dan dampaknya," sambungnya.

Dia menambahkan, dilakukan penanganan risiko mulai dari peralatan misalnya untuk deter, defend, dan detect, sampai ke prosedur yang harus dijalankan ketika terjadi pelanggaran keamanan misalnya peosedur tanggap darurat sampai ke pemulihan.

Rektor Universitas Pancasila ini juga memaparkan, lembaga-lembaga yang bonafide pasti punya security plan yang komprehensif, bahkan mungkin mengikuti standar-standar yang lazim. 

"Kalau melihat kejadian dengan PDN, dan beberapa kasus sebelumnya yang pernah saya tangani, tidak adanya security plan yang baik itulah penyebab ketika terjadi pelanggaran maka tidak dapat ditangani dengan baik," ungkapnya.

Dewan Pengarah BRIN ini juga mencontohkan, yang paling sering terjadi adalah tidak adanya skenario ketika terjadi peretasan dan tidak punya disaster recovery plan bahkan tidak punya business continuity plan.

"Jangankan itu, banyak lembaga baik pemerintah maupun swasta di Indonesia, cyber risk assessment saja nggak punya, baru kelabakan ketika sudah dijebol," pungkasnya.
 

Sentimen: negatif (87.7%)